Semangat Kartini dan Literasi Kesehatan Perempuan Indonesia Kini

4 hours ago 1

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Lebih dari seabad setelah kepergiannya, Kartini tetap dikenang sebagai pelita emansipasi perempuan Indonesia. Namun, di balik pesan dan suara lantangnya yang dituangkan lewat surat-surat progresif dimasa itu, ada ironi sejarah yang nyaris tak pernah disingkap yaitu fakta bahwa Kartini wafat empat hari setelah melahirkan anak pertamanya, karena komplikasi nifas.

Fakta bahwa seorang Kartini pun tidak terlepas dari risiko yang terus menghantui ibu-ibu Indonesia hingga hari ini adalah wujud dari kronisnya masalah kesehatan ibu di tanah air, sejak sebelum kemerdekaan. Emansipasi yang diperjuangkannya belum sepenuhnya menyentuh akar yang paling dasar yaitu tubuh perempuan itu sendiri.

Kartini mungkin tidak pernah menulis kata "literasi kesehatan" atau "gizi ibu-anak" dalam suratnya. Tapi semangat perjuangannya untuk mendidik, memberdayakan, dan membebaskan perempuan adalah inti dari upaya literasi kesehatan perempuan hari ini. Sebab di abad ke-21 ini, ketidaktahuan masih membunuh lebih banyak perempuan dibanding peluru. Ia membunuh pelan-pelan, lewat anemia yang tak disadari, lewat kehamilan yang tak direncanakan, lewat anak-anak yang gagal tumbuh karena ibu mereka tidak pernah diberi pengetahuan dan pilihan.

Kita bisa menyimak begitu banyak situasi dan kondisi yang terjadi diberbagai pelosok tanah air, yang menjadikan perempuan dan ibu sebagai pihak yang selalu tidak beruntung. Terlalu banyak cerita dan pemberitaan tentang ibu yang hamil tanpa asupan nutrisi yang baik, ibu melahirkan dengan kondisi kurang gizi kronis, pre-eklamsia atau tekanan darah tinggi selama kehamilan yang tentu mengancam jiwa dan semuanya berisiko melahirkan anak yang juga tidak memiliki kesehatan optimal.

Kisah-kisah seperti ini bisa dibuktikan dengan survei dan penelitian epidemiologis, dan merupakan realitas berjuta keluarga di Indonesia. Data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2023 mencatat bahwa 21,5% anak Indonesia mengalami stunting-gagal tumbuh karena kurang gizi kronis bahkan sebagian besar karena lahir dari kualitas kehamilan yang tidak baik status gizi ibunya.

Sementara Riskesdas 2018 menunjukkan 48,9% remaja putri dan 37,1% ibu hamil mengalami anemia, yang memperbesar risiko kematian saat persalinan dan melahirkan anak dengan berat badan lahir rendah. Angka-angka ini seakan menjadi cerita tak tuntas bagi harapan Kartini: bahwa perempuan Indonesia hingga Indonesia merdeka ternyata belum bisa hidup, belajar, dan melahirkan tanpa ancaman kematian atau kelemahan yang diwariskan.


Hak Literasi Perempuan

Masalahnya bukan hanya pada kemiskinan ekonomi, tetapi salah satu akar masalahnya justru pada kemiskinan informasi yang berkualitas. Banyak perempuan Indonesia yang belum mampu membedakan mana mitos dan mana fakta soal makanan, kesehatan reproduksi, atau kehamilan. Di era informasi ini, pengetahuan kesehatan ironisnya masih menjadi hak istimewa kelas menengah kota. Di desa-desa, literasi gizi dan kesehatan reproduksi masih dibisiki lewat mitos, bukan didampingi oleh edukasi berbasis hak dan sains.

Sebuah studi dari UNICEF Indonesia (2021) menunjukkan bahwa hanya 53% ibu memiliki pemahaman cukup tentang pemberian makan bayi dan anak (PMBA). Sementara penelitian Pusat Kajian Gizi FKUI (2022) menunjukkan bahwa sebagian besar program edukasi gizi dan kesehatan keluarga masih bersifat jangka pendek, tidak berkelanjutan, dan jarang melibatkan laki-laki dalam perubahan perilaku keluarga.

Pertanyaannya adalah untuk siapa literasi itu hadir? Jika ibu yang buta huruf tetap dibiarkan, dan keluarga hanya diberi brosur bukan dialog, lalu siapa yang sedang kita selamatkan? Ini adalah tanggungjawab kita bersama, bukan hanya pemerintah!

Emansipasi Kesehatan

Yang diperjuangkan Kartini intinya adalah melawan sistem yang menempatkan perempuan sebagai objek. Maka perjuangan literasi kesehatan hari ini adalah upaya menempatkan perempuan sebagai subjek penting, perempuan yang tahu tentang tubuhnya, bisa merencanakan kehamilan, memahami gizi anaknya, dan berdaya dalam pengambilan keputusan.

Emansipasi masa kini tidak hanya terjadi di sekolah tinggi atau parlemen. Ia juga terjadi saat ibu hamil tahu bahwa tablet tambah darah harus diminum rutin. Ia terjadi saat keluarga memahami bahwa menyusui bukan hanya tugas ibu, tapi tanggung jawab bersama. Ia terjadi saat anak perempuan diajarkan sejak kecil bahwa menstruasi bukan kutukan, melainkan bagian dari proses biologis yang harus dipahami dan dihormati.

Di sinilah negara dan masyarakat punya pekerjaan rumah besar. Literasi kesehatan ibu dan keluarga harus masuk ke dalam kurikulum, program Posyandu, pengajian ibu-ibu, hingga media sosial. Kita tidak bisa lagi membiarkan sistem yang mengandalkan pengorbanan ibu tanpa memberinya pemahaman dan ruang untuk membuat keputusan.

Menyalakan Ulang Kesadaran

Bila bisa berandai-andai, jika Kartini hidup hari ini, ia mungkin akan menulis surat-surat baru kepada para kepala desa, kepala dinas kesehatan, hingga kepala rumah tangga. Surat-surat yang menuntut agar tubuh perempuan tak lagi ditentukan oleh adat yang bertentangan dengan ilmu kesehatan, melainkan oleh pengetahuan yang memerdekakan.

Kartini mengajari kita bahwa perubahan besar lahir dari keberanian kecil yaitu menulis surat, bertanya, membaca, bertindak. Maka hari ini, keberanian itu hadir saat ibu bertanya pada bidan, saat remaja perempuan mengikuti kelas kesehatan reproduksi, atau saat suami juga merasa wajib dan terpanggil untuk belajar tentang ASI eksklusif.

Literasi kesehatan bukan sekadar kampanye Kementerian Kesehatan saja. Ia adalah perjuangan filosofis untuk mengembalikan martabat perempuan sebagai penjaga kehidupan. Dalam semangat Kartini, literasi itu bukanlah pilihan, tapi hak yang harus dijamin negara dan dijaga bersama.

Tubuh perempuan adalah tempat tumbuhnya peradaban. Dari tubuh itu, anak-anak dilahirkan, disusui, dan dibesarkan. Jika tubuh itu lemah karena ketidaktahuan, maka masa depan bangsa pun ikut melemah. Maka hari ini, literasi kesehatan adalah ladang perjuangan baru.

Dan perjuangan itu, seperti yang diajarkan Kartini, dimulai dengan sikap yang sederhana namun penuh makna, mau membaca, bertanya, dan belajar. Inilah Kartini masa kini, bukan sekadar simbol, tapi kesadaran terhadap kesehatan yang terus hidup dan menuntut diwujudkan.


(rah/rah)

Read Entire Article
Kabar Sehat | Legenda | Hari Raya | Pemilu |