SPMB dan Bayang-bayang Kesenjangan Pendidikan

2 days ago 4

loading...

Muhammad Fauzinuddin Faiz. Foto/Istimewa

Muhammad Fauzinuddin Faiz
Wakil Sekretaris Lembaga Perguruan Tinggi NU PWNU Jawa Timur & Dosen UIN KHAS Jember

SEKOLAH favorit kembali menjadi incaran. Orang tua bersiap memasukkan anaknya ke bimbingan belajar terbaik, bahkan sejak jenjang sekolah dasar. Siswa-siswa dari keluarga mampu berlomba mengumpulkan sertifikat prestasi agar bisa mengamankan tempat di sekolah unggulan. Sementara itu, di sudut lain, ada anak-anak yang hanya bisa bergantung pada sekolah di dekat rumahnya—tanpa les privat, tanpa sertifikat akademik yang mentereng, tanpa akses ke sumber belajar tambahan. Mereka hanya berharap cukup pintar untuk bisa bersaing.

Dunia pendidikan yang dulu mencoba menghapus kasta sekolah unggulan, kini berisiko kembali terjebak dalam stratifikasi. Kebijakan zonasi yang dimaksudkan untuk memberikan pemerataan akses pendidikan mulai bergeser. Kini, jalur prestasi diperbesar melalui mekanisme Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB), yang pada praktiknya bisa membuka ruang bagi kompetisi yang tidak setara. Jika tidak dikelola dengan baik, sistem ini bukan hanya akan menghidupkan kembali dominasi sekolah-sekolah tertentu, tetapi juga semakin mempersempit kesempatan bagi mereka yang berasal dari keluarga tanpa privilese akademik.

Ketimpangan Akses dan Kembalinya Sekolah Unggulan

Era sekolah unggulan sedang kembali. Seleksi prestasi semakin diperbesar, tetapi apakah aksesnya semakin adil? Sistem zonasi yang dulu diterapkan untuk pemerataan pendidikan kini terancam kehilangan fungsinya. Dengan dinaikkannya kuota jalur prestasi—30% untuk SMA dan 25% untuk SMP—, ketimpangan bisa kembali hadir.

Sekolah-sekolah favorit yang mulai kehilangan status eksklusifnya kini berpotensi kembali menjadi destinasi utama. Anak-anak dari keluarga mampu yang memiliki akses lebih besar terhadap les privat dan berbagai fasilitas akademik lainnya tentu memiliki peluang lebih besar. Sementara itu, mereka yang hanya bergantung pada sekolah negeri dengan fasilitas terbatas harus menghadapi kenyataan: kompetisi akademik tidak hanya tentang kecerdasan, tetapi juga tentang siapa yang memiliki lebih banyak sumber daya.

Dampaknya lebih luas dari sekadar persaingan masuk sekolah. Ketimpangan ini tidak hanya menciptakan "sekolah unggulan", tetapi juga "sekolah buangan". Sekolah-sekolah yang kehilangan banyak siswa berprestasi akan semakin sulit mempertahankan kualitas pengajarannya. Sementara itu, sekolah favorit semakin eksklusif, dihuni oleh kelompok yang sejak awal memiliki keunggulan akademik dan sosial-ekonomi.

Baca Juga

Mendikdasmen Abdul Muti Resmi Umumkan Sistem Penerimaan Murid Baru, Terdiri dari 4 Pilar

Lebih dari sekadar soal masuk sekolah favorit, sistem ini juga berpotensi memperdalam ketidakadilan dalam akses pendidikan. Seleksi berbasis prestasi tidak bisa dilepaskan dari realitas sosial-ekonomi. Anak-anak dari keluarga mapan memiliki ekosistem belajar yang lebih mendukung: les tambahan, perangkat belajar yang memadai, serta dukungan orang tua yang lebih sadar akan pentingnya persiapan akademik sejak dini. Sementara itu, anak-anak dari keluarga kurang mampu sering kali harus berbagi waktu antara belajar dan membantu ekonomi keluarga. Jika persaingan didasarkan pada prestasi tanpa mempertimbangkan akses yang tidak setara, maka hasilnya bukan meritokrasi murni, melainkan reproduksi ketimpangan sosial.

Jika kesenjangan ini terus berlanjut, Indonesia bukan hanya akan kehilangan semangat pemerataan pendidikan, tetapi juga menciptakan generasi yang semakin terbelah: mereka yang mendapat pendidikan terbaik, dan mereka yang tertinggal dalam sistem. Sekolah unggulan tidak hanya tentang kualitas, tetapi juga tentang siapa yang bisa masuk ke dalamnya.

Menjaga Keseimbangan antara Seleksi dan Pemerataan

Meninggalkan sistem seleksi berbasis prestasi bukanlah solusi. Namun, ketika seleksi diperluas tanpa mempertimbangkan akses yang tidak setara, pendidikan bisa menjadi arena eksklusif bagi mereka yang sudah memiliki keunggulan sejak awal. SPMB tidak boleh menjadi alat yang semakin memperlebar kesenjangan.

Zonasi harus tetap menjadi prinsip utama dalam penerimaan siswa baru. Jika kuota jalur prestasi diperbesar tanpa batasan, siswa yang tidak memiliki akses ke bimbingan belajar akan semakin sulit mendapatkan sekolah yang layak. Jerman telah membuktikan bahwa sistem pendidikan yang merata mampu mencegah kesenjangan sekolah unggulan dan non-unggulan. Jika pemerintah tidak menjaga keseimbangan ini, sekolah favorit hanya akan menjadi milik mereka yang memiliki modal lebih, sementara yang lain menerima kualitas seadanya.

Namun, mempertahankan zonasi saja tidak cukup. Afirmasi bagi siswa dari keluarga kurang mampu harus diperjelas dan diperkuat. Jika seleksi berbasis prestasi diperluas, maka harus ada kuota khusus bagi siswa prasejahtera yang memiliki potensi akademik tetapi tidak memiliki akses ke fasilitas belajar tambahan. Finlandia tidak hanya memberikan kuota afirmatif, tetapi juga menyediakan bimbingan akademik gratis dan bantuan belajar bagi siswa miskin. Indonesia bisa menerapkan kebijakan serupa, seperti program bimbingan belajar berbasis sekolah negeri bagi siswa kurang mampu. Tanpa kebijakan afirmatif yang konkret, seleksi berbasis prestasi hanya akan menjadi ajang kompetisi yang tidak setara.

Read Entire Article
Kabar Sehat | Legenda | Hari Raya | Pemilu |