Startup Tak Terkenal Mendadak Jadi Sorotan, Disuntik Rp 2,4 Triliun

7 hours ago 1

Jakarta, CNBC Indonesia - Startup teknologi pertahanan asal Amerika Serikat, Govini, mendadak jadi sorotan setelah berhasil menembus pendapatan berulang tahunan (annual recurring revenue/ARR) lebih dari US$100 juta (Rp1,6 triliun). Tak hanya itu, perusahaan ini juga baru mendapat suntikan dana segar senilai US$150 juta atau sekitar Rp2,4 triliun dari Bain Capital.

Govini selama ini dikenal sebagai pemain baru yang menantang raksasa industri seperti Palantir, Boeing, Lockheed Martin, dan Northrop Grumman. Namun, dengan lonjakan pendapatan dan dukungan investor besar, startup ini mulai menunjukkan tajinya di industri pertahanan global.

"Kami tumbuh lebih dari 100% dalam tiga tahun terakhir, dan saya memperkirakan tahun depan kami akan terus tumbuh dengan laju yang sama," ujar CEO Govini, Tara Murphy Dougherty, dikutip dari CNBC Internasional, Selasa (14/10/2025).

"Pasar ini sangat besar, dan kami punya ruang tumbuh yang panjang dan menarik," imbuhnya.

Dana segar dari Bain Capital akan digunakan untuk memperluas tim dan memperkaya lini produk perusahaan. Langkah ini dilakukan untuk menjawab meningkatnya permintaan terhadap sistem keamanan dan modernisasi militer di tengah ketegangan geopolitik dunia.

Startup yang berbasis di Arlington, Virginia ini sebelumnya telah mengantongi sejumlah kontrak besar, termasuk kesepakatan senilai lebih dari US$900 juta dengan pemerintah Amerika Serikat dan proyek dengan Departemen Pertahanan.

Govini dikenal lewat perangkat lunak berbasis kecerdasan buatan (AI) bernama Ark, yang dirancang untuk membantu militer mengelola rantai pasok dan siklus hidup produk pertahanan secara lebih efisien. Menurut Dougherty, sistem akuisisi yang efektif dapat menjadi keunggulan strategis bagi Amerika Serikat di masa depan.

"Jika Amerika bisa membenahi sistem pengadaan militernya, itu bisa menjadi keunggulan yang menentukan," kata Dougherty.

Meski begitu, ia memperingatkan adanya potensi hambatan akibat ancaman penutupan pemerintahan (government shutdown) yang bisa berdampak besar pada kontrak pertahanan, khususnya di lingkungan Angkatan Laut.

Dougherty juga menyoroti dominasi China dalam kapasitas pembangunan kapal dan penguasaan logam tanah jarang (rare earths) yang menjadi komponen penting dalam industri pertahanan.

"Krisis logam tanah jarang yang sedang kita hadapi ini sangat serius," ujarnya.

Data mereka menunjukkan bahwa banyak program keamanan nasional bergantung pada bahan mentah tersebut.


(fab/fab)
[Gambas:Video CNBC]

Next Article Dulu Tak Dikenal, Kini Startup Ini Dihargai Nyaris Rp 500 Triliun

Read Entire Article
Kabar Sehat | Legenda | Hari Raya | Pemilu |