Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Tidak tanggung-tanggung, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melakukan pencabutan izin usaha (CIU) terhadap 20 Bank Perkreditan Rayat/Syariah (BPR/S) di tahun 2024. Jumlah itu mungkin sudah di batas atas rata-rata jumlah bank jatuh setiap tahunnya yang ditetapkan di angka enam hingga tujuh BPR/S yang ditutup. Bahkan angka tersebut melampaui rata-rata penutupan bank BPR/S selama 18 tahun terakhir.
Meskipun dilakukan oleh OJK dalam rangka mencegah terjadinya dampak negatif yang lebih luas, pencabutan izin BPR/S berdampak bagi nasabah yang memiliki simpanan berpotensi mengalami kerugian jika simpanan mereka melebihi jaminan LPS. Sementara, BPR/S lainnya yang keuangannya tergantung dengan BPR/S yang ditutup (sistemik) dapat menyebabkan ketidakpastian.
Berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 28 Tahun 2023 tentang Penetapan Status dan Tindak Lanjut Pengawasan Bank Perekonomian Rakyat dan Bank Perekonomian Rakyat Syariah bahwa sebelum dilakukan Cabut Izin Usaha (CIU) BPR/S terlebih dahulu masuk ke dalam status pengawasan bank dalam resolusi. Dalam tahap ini, BPR/S wajib mengatasi permasalahan batas maksimum pemberian kredit, kualitas kredit, permodalan, likuiditas, dan lainnya.
Dengan demikian, OJK telah memberikan waktu yang cukup kepada Direksi BPR/S termasuk Kuasa Pemilik Modal untuk melakukan upaya penyehatan. Namun, sampai dengan batas waktu yang sudah ditentukan tersebut Manajemen BPR/S masih belum dapat memenuhi sehingga OJK mengambil langkah tegas agar kerugian, khususnya Masyarakat, tidak bertambah besar.
Pentingnya Tata Kelola dan Manajemen Risiko
Mencermati pencabutan izin usaha sejumlah BPR/S oleh OJK, terlihat adanya pola permasalahan yang berulang. Berdasarkan pengumuman pencabutan izin dari OJK, contoh permasalahan yang dihadapi oleh beberapa BPR/S yang izinnya dicabut, misalnya BPR/S inisial PB.
Izin BPR/S ini dicabut karena kondisi keuangan yang terus memburuk dan ketidakmampuan dewan direksi dan dewan komisaris untuk melakukan penyehatan meskipun telah diberikan waktu oleh OJK. Selain itu, BPR/S ini dinilai mengalami masalah dalam pengelolaan yang tidak sesuai dengan prinsip kehati-hatian dan gagal meningkatkan rasio permodalan.
Selain itu, BPR/S inisial UMKM, OJK mencabut izin karena gagal mempertahankan tingkat kesehatan yang baik, tidak berhasil memenuhi kewajiban keuangan, serta tidak mampu meningkatkan modal sesuai ketentuan yang berlaku.
Misalnya lagi, BPR/S inisial CD, permasalahan yang dihadapi adalah ketidakmampuan dalam mengelola risiko kredit dan likuiditas, sehingga menyebabkan penurunan kesehatan keuangan secara signifikan. Terakhir BPR/S inisial SMS, izin dicabut karena adanya praktek pengelolaan yang tidak sesuai dengan peraturan (Good Corporate Governance), termasuk manipulasi data keuangan, dan pelanggaran terhadap ketentuan permodalan yang berlaku.
Penyebab pencabutan izin BPR/S di tahun 2024 masih cenderung sama dengan kondisi yang ditemukan di tahun-tahun sebelumnya.
Berdasarkan buku Panduan Strategi Anti Fraud (SAF) BPR/S dari OJK Tahun 2022 telah terbukti secara empiris dengan mengacu kepada hasil kajian yang telah dilakukan oleh OJK, penyebab utama CIU pada BPR adalah tidak dijalankannya prinsip tata kelola yang baik (GCG) sehingga kejadian risiko operasional seperti fraud dengan akar permasalahan adalah integritas, serta adanya permasalahan dalam pengelolaan BPR masif terjadi.
Hal tersebut diperkuat dengan hasil Rapat Dewan Komisioner Bulanan (RDKB) OJK pada awal tahun 2025 yang menyampaikan bahwa sebagian besar penyebab CIU atau pencabutan izin usaha pada BPR/S adalah manajemen yang buruk karena dalam penerapan tata kelola tidak optimal sehingga berujung pada terjadinya tindakan 'banking fraud' (kecurangan perbankan) dan ketidakpatuhan terhadap regulasi.
Pada dasarnya implementasi tata kelola dan manajemen risiko adalah hal penting atau fundamental. Oleh karena itu, implementasi tata kelola dan manajemen risiko adalah bagian dari 4 (empat) indikator utama dalam penilaian Tingkat Kesehatan BPR/S di Indonesia, sesuai dengan POJK Nomor 3 Tahun 2022 bahwa tingkat Kesehatan Tingkat Kesehatan BPR diukur berdasarkan beberapa indikator utama, yaitu profil risiko, tata kelola, rentabilitas, dan permodalan.
Dukungan penguatan tata kelola dan sistem pengendalian internal di BPR juga dapat terlihat dengan tambahan regulasi untuk oleh lembaga jasa keuangan yang dikeluarkan oleh OJK di tahun 2024, yaitu POJK Nomor 9 Tahun 2004 tentang tata kelola BPR-BPRS, dan POJK Nomor 25 Tahun 2024 tentang tata kelola syariah bagi BPRS.
Selain itu, yang terbaru terbitnya POJK Nomor 12 Tahun 2024 tentang penerapan strategi anti-fraud. Dengan POJK tersebut tentunya BPR/S diharapkan dapat meningkatan pencegahan dan perbaikan yang berkelanjutan pada sistem pengendalian internal sehingga mampu meminimalkan resiko terjadinya kecurangan-kecurangan di masa depan, baik dari internal maupun dari eksternal.
Hambatan Implementasi
Penerapan tata kelola dan manajemen risiko yang baik memberikan berbagai manfaat bagi BPR dan BPRS, termasuk peningkatan transparansi, kepercayaan publik, efisiensi operasional, kualitas SDM, serta keberlanjutan usaha.
Namun, meskipun telah diterapkan cukup lama, implementasinya masih menghadapi berbagai kendala dan dinilai belum optimal, terutama dalam menunjang prinsip kehati-hatian serta pencegahan risiko operasional seperti fraud yang menjadi faktor utama pencabutan izin usaha (CIU).
Berdasarkan kajian OJK tahun 2022, terdapat sejumlah hambatan dalam implementasi tata kelola dan manajemen risiko di industri BPR dan BPRS. Salah satu kendala utama adalah rendahnya kesadaran (awareness) di kalangan pemilik, pengurus, dan pegawai terkait pentingnya penerapan tata kelola yang baik bagi keberlanjutan organisasi.
Hal tersebut erat kaitannya dengan budaya (culture), misalnya ditemukan implementasi tata kelola dan manajemen risiko dipandang sebagai penghambat ekspansi bisnis, terutama dalam mencapai target jangka pendek. Hal tersebut dikarenakan implementasi tata kelola dan manajemen risiko hanyalah merupakan suatu bentuk kepatuhan (complaince) terhadap peraturan atau ketentuan dan bukannya sebagai suatu sistem yang diperlukan oleh perusahaan dalam meningkatkan kinerja.
Sehingga seringkali, terdapat pelaku industri yang belum mature akan melihat penerapan tersebut sebagai faktor yang bertentangan dengan target bisnis yang ingin dicapai, sehingga kurang mendapat prioritas dalam strategi perusahaan. Padahal, jika diimplementasikan secara optimal, kedua aspek ini justru dapat meningkatkan daya saing dan ketahanan usaha dalam menghadapi tantangan industri jasa keuangan yang semakin kompleks.
Hambatan lainnya adalah terbatasnya pemenuhan SDM yang berkualitas dan jumlah tenaga kerja yang memadai. Padahal, SDM merupakan salah satu aset terpenting bagi BPR/S, berperan signifikan dalam menjaga keberlanjutan bisnis. Di tengah persaingan industri jasa keuangan yang semakin ketat di era digital, kualitas dan kuantitas SDM yang optimal menjadi faktor krusial dalam meningkatkan daya saing dan stabilitas operasional BPR/S.
Konsitensi dalam Implementasi
Tidak dapat dipungkiri, bahwa implementasi tata kelola dan manajemen risiko adalah hal penting atau fundamental. Permasalahan tidak optimalnya implementasi tersebut adalah pola permasalahan yang berulang dan menjadi salah satu faktor utama tingginya angka pencabutan izin usaha (CIU) dalam beberapa tahun terakhir.
Oleh karena itu, dalam menghadapi tantangan-tantangan tersebut, diperlukan konsistensi dalam implementasi tata kelola dan manajemen risiko, misalnya program penguatan integritas, kompetensi, dan profesionalisme yang baik, serta daya saing.
Pengembangan kualitas SDM BPR/S secara berkelanjutan harus menjadi prioritas yang dilakukan. konsistensi tersebut dapat tercermin dalam pemenuhan anggaran yang wajib disediakan dan direalisasikan oleh BPR/S pada setiap tahun buku paling sedikit 3% (tiga persen) dari total beban tenaga kerja tahun sebelumnya sesuai dengan POJK 19 Tahun 2023. Di mana anggaran tersebut dialokasikan untuk penyelenggaraan training, awareness, sertifikasi semua pekerja critical di BPR/S.
Selain itu, dalam rangka konsistensi implementasi tata kelola dan manajemen risiko, BPR/S perlu berfokus pada dua aspek tambahan selain perbaikan dan pengembangan kualitas SDM di atas, yaitu Teknologi dan Layanan Prima (Service Excellence). Pada Teknologi, BPR/S perlu berinvestasi dalam pengembangan dan inovasi teknologi untuk meningkatkan efisiensi operasional serta memperkuat data analytics dalam evaluasi implementasi tata kelola dan manajemen risiko.
Dengan pemanfaatan teknologi yang optimal, BPR/S dapat mengimplementasikan tata kelola dalam bentuk sistem terintegrasi yang wajib diterapkan. Sistem ini tidak hanya memastikan kepatuhan terhadap regulasi, tetapi juga mendukung BPR/S dalam melakukan simulasi manajemen risiko guna mengidentifikasi faktor-faktor risko kunci dalam menjaga stabilitas keuangan, baik saat ini maupun di masa depan.
Sementara itu, untuk layanan (Services Excellent) diharapkan BPR/S fokus pada peningkatan kualitas layanan dan kepuasan nasabah. Dengan layanan yang optimal, BPR/S dapat mempertahankan loyalitas nasabah serta mengurangi risiko penarikan dana besar-besaran yang berpotensi memengaruhi stabilitas keuangan bank.
Dengan konsistensi implementasi implementasi tata kelola dan manajemen risiko, BPR/S tentunya dapat memperkuat ketahanan usaha, mengurangi risiko regulasi, serta meningkatkan kepercayaan publik sebagai lembaga keuangan yang sehat dan terpercaya sehingga mencegah kembalinya pencabutan izin usaha (CIU).
(miq/miq)