Update Perang Dagang AS-China, Beijing Berubah Pikiran-Industri Teriak

13 hours ago 9
Daftar Isi

Jakarta, CNBC Indonesia - Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan negara-negara lain, terutama China, masih memanas. Beijing dan Washington masih saling serang dengan menerapkan tarif lebih dari 100% untuk masing-masing negara.

Berikut update lain terkait perang dagang dan tarif Presiden AS Donald Trump, seperti dihimpun CNBC Indonesia dari berbagai sumber pada Jumat (2/5/2025).

Perang Dagang Melunak, Xi Jinping Berubah Pikiran

Pengumuman tarif bea masuk dari Trump menimbulkan gejolak baru antara AS dan China. Perang dagang akan menimbulkan titik kelemahan suatu negara yang bergantung pada negara lawan, sehingga membuat Presiden China Xi Jinping mulai berubah pikiran.

April lalu, Xi Jinping memutuskan membebaskan 8 kategori chip buatan AS dari beban tarif 125%. Wall Street Journal melaporkan kebijakan baru setelah adanya lobi dari sejumlah produsen mobil China, dikutip Jumat.

Namun, China tetap memastikan seperempat chip kendaraan tersebut dibuat di China mulai tahun ini. Angka yang perlu dicapai mencapai 15% pada akhir 2025.

Hal itu terungkap dari sumber yang mengetahui diskusi. Mereka menyebut target sulit dicapai.

Sejumlah perusahaan China juga dilaporkan berupaya berbicara dengan perusahaan chip asal AS untuk memproduksi lebih banyak chip lokal di negaranya. Dua perusahaan yang diajak berdiskusi yakni Texas Instruments dan NXP.

Terkait hal ini, Kementerian Perindustrian dan Teknologi Informasi China yang membawahi industri otomotif setempat tidak menanggapi permintaan untuk berkomentar.

Trump juga berubah dengan cepat. Pemerintah AS beberapa saat lalu mengumumkan tarif resiprokal 145% untuk barang impor dari China tidak berlaku untuk barang elektronik, termasuk iPhone.

Sebab banyak barang-barang elektronik tersebut masih diproduksi di pabrikan China. Namun, Washington menekankan akan menyiapkan skema tarif khusus yang akan diumumkan beberapa pekan mendatang.

Tarif Trump Bikin Bencana Buat Industri Raksasa Ini

Kebijakan tarif Trump telah menjadi hambatan bagi pelaku industri di negara itu. Salah satunya adalah industri otomotif.

Mengutip Reuters, raksasa otomotif AS mengklaim produsen mobil masih bisa menghadapi dampak tarif hingga US$ 12.000 (Rp 198 juta) per mobil dari yang sebelumnya hanya US$ 2.000 (Rp 33 juta). Anderson Economic Group mengatakan kendaraan rakitan AS seperti Honda Civic dan Odyssey, Chevrolet Malibu, Toyota Camry Hybrid, dan Ford Explorer menghadapi dampak sebesar US$ 2.000 hingga US$ 3.000.

"Namun, tarif tersebut dapat naik hingga US$ 10.000 hingga US$ 12.000 untuk kendaraan impor, termasuk SUV mewah ukuran penuh, beberapa kendaraan listrik dan kendaraan lain yang dirakit di Eropa dan Asia, seperti model Mercedes G-Wagon, Land Rover dan Range Rover, beberapa model BMW, dan Ford Mach-E," tutur lembaga pemerhati ekonomi itu.

"Ford Explorer yang dirakit di Chicago sebelumnya menghadapi dampak tarif sekitar US$ 4.300 (Rp 71 juta), yang akan turun menjadi sekitar US$ 2.400 (Rp 40 juta) sementara beberapa model Jeep, Ram, dan Chrysler dari Stellantis dapat menghadapi dampak tarif sebesar US$ 4.000 (Rp 66 juta) hingga US$ 8.000 (Rp 132 juta)."

Awal pekan ini, Trump setuju memberi waktu dua tahun kepada produsen mobil untuk meningkatkan persentase komponen dalam negeri pada kendaraan yang dirakit di AS.

Hal ini akan memungkinkan mereka untuk mengimbangi tarif impor suku cadang mobil yang setara dengan 3,75% dari total nilai Harga Eceran yang Disarankan Produsen untuk kendaraan yang mereka buat di AS hingga April 2026, dan 2,5% dari produksi AS hingga April 2027.

Elon Musk Mundur dari Pemerintahan Trump?

Elon Musk disebut tak terlihat lagi di Gedung Putih. Namun laporan the Post menyebutkan Musk tak benar-benar keluar dari pekerjaannya di Departemen Efisiensi Pemerintah atau DOGE. Namun, dia memang tidak pernah terlihat di kantornya yang tak jauh dari Ruang Oval Gedung Putih.

Kepala Staf Gedung Putih, Susie Wiles mengatakan tidak pernah bertemu dengan Musk. Dia hanya berbicara melalui telepon.

"Alih-alih bertemu langsung, saya berbicara dengannya lewat telepon, namun hasilnya tetap sama," kata Wiles kepada The Post, Jumat (2/5/2025). "Belum pernah hadir secara fisik, namun itu tidak terlalu penting."

Musk memang berencana mengurangi perannya di Gedung Putih secara signifikan mulai akhir Mei ini. Ia berencana untuk lebih fokus mengurus Tesla yang kinerjanya hancur lebur.

Ke depan, Musk hanya akan memberikan saran kepada DOGE secara informal. The Post sendiri menuliskan tidak jelas seberapa sering Musk akan berkantor di Gedung Putih hingga akhir bulan mendatang.

Sebelumnya, Musk memang aktif bekerja kantoran di Gedung Putih. Ia memberikan pengarahan pribadi kepada Trump, menghadiri rapat kabinet, hingga berpergian untuk mendampingi Trump.

Bahkan beberapa kali, Musk terlihat mengajak salah satu anaknya bernama X untuk ikut bekerja di sana.

Trump Ancam Negara-negara yang Berbisnis dengan Iran

Trump pada Kamis (1/5/2025) mengatakan negara manapun yang membeli minyak dari Iran tidak akan diizinkan melakukan bisnis apapun dengan Negeri Paman Sam. Hal ini terjadi setelah presiden dari Partai Republik itu memerintahkan tekanan keras terhadap Teheran.

Mengutip CNBC International, Trump menuduh Iran dalam sambutannya di Gedung Putih telah mendanai kelompok-kelompok militan di seluruh Timur Tengah. Langkah ini ia maksud untuk memukul pendapatan Negeri Para Mullah itu, yang saat ini masih menjadi salah satu eksportir minyak terbesar di dunia.

"Setiap Negara atau orang yang membeli MINYAK atau PETROKIMIA dalam JUMLAH APAPUN dari Iran akan segera dikenakan Sanksi Sekunder," kata Trump dalam sebuah unggahan di platform media sosialnya Truth Social. "Mereka tidak akan diizinkan untuk berbisnis dengan Amerika Serikat dengan cara, bentuk, atau rupa apapun."

Pasca komentar Trump ini, Harga minyak mentah AS naik US$1,03 (Rp17 ribu), atau 1,77%, ditutup pada US$59,24 (Rp984 ribu) per barel. Sementara patokan global Brent naik 1,75%, ditutup pada US$62,13 (Rp1,03 juta).

Trump pada bulan Februari memerintahkan kampanye "tekanan maksimum" terhadap Iran yang bertujuan untuk menghentikan sepenuhnya ekspor minyak Republik Islam tersebut.

Namun, di sisi lain, Trump juga memulai negosiasi dengan Iran di Oman pada bulan April mengenai program nuklirnya. Ia mengatakan pada bulan Februari bahwa ia ingin mencegah Iran mengembangkan bom nuklir.

Trump mengaku pada bulan Februari lalu bahwa ia lebih suka mencapai kesepakatan dengan Iran. Selama masa jabatan pertamanya, Trump menarik AS keluar dari perjanjian nuklir yang dinegosiasikan dengan Iran oleh Presiden Barack Obama.

Laba Shell Anjlok 35% Gegara Aksi 'Gila' Trump

Raksasa migas, Shell, melaporkan penurunan laba bersih sebesar 35% pada kuartal pertama 2025, sebagai dampak langsung dari pelemahan harga minyak global.

Laporan keuangan yang dirilis pada Jumat menunjukkan bahwa laba yang dapat diatribusikan kepada pemegang saham turun menjadi US$4,8 miliar dari US$7,4 miliar pada periode yang sama tahun lalu.

Penurunan ini terjadi seiring dengan berkurangnya pendapatan total perusahaan sebesar 6%, dari US$74,7 miliar menjadi US$70,2 miliar. Shell dan sejumlah perusahaan minyak besar lainnya saat ini terdampak oleh kejatuhan harga minyak mentah, yang dipicu oleh kekhawatiran pasar atas dampak kebijakan tarif Presiden AS Donald Trump terhadap perlambatan ekonomi global.

"Para pelaku pasar khawatir bahwa tarif baru yang dikenakan oleh pemerintahan Trump akan menekan permintaan global dan memperlambat pertumbuhan ekonomi, yang pada akhirnya memukul harga komoditas seperti minyak," demikian penjelasan dalam laporan Shell, dikutip dari Reuters.

Meski demikian, hasil kuartal pertama ini masih mampu melampaui ekspektasi analis. Dalam langkah untuk menjaga kepercayaan investor, Shell mengumumkan program pembelian kembali saham (buyback) sebesar US$3,5 miliar selama 3 bulan ke depan.

"Hasil ini memberikan kami kepercayaan diri untuk memulai kembali program buyback sebesar US$3,5 miliar selama kuartal berikutnya," ujar CEO Shell, Wael Sawan, dalam pernyataannya.

Kinerja yang tertekan ini menjadi kelanjutan dari tren yang telah terlihat sepanjang 2024, di mana laba bersih tahunan Shell turun 17%, juga akibat dari harga minyak yang terus melemah. Untuk menjaga profitabilitas, Shell bersama pesaing utamanya seperti BP, telah mulai menarik diri dari sejumlah komitmen iklim dan berfokus kembali pada sektor minyak dan gas.

Tahun lalu, Shell mengumumkan bahwa mereka tidak lagi akan memimpin pengembangan proyek-proyek angin lepas pantai (offshore wind) baru. Strategi ini menandai perubahan signifikan dari fokus sebelumnya yang lebih pro-lingkungan dan transisi energi.

Di sisi lain, BP -salah satu kompetitor utama Shell- juga melaporkan hasil yang tidak menggembirakan minggu ini. Perusahaan tersebut mencatatkan penurunan laba bersih hingga 70% pada kuartal pertama, hanya meraih US$687 juta. Penurunan tersebut sebagian besar disebabkan oleh melemahnya penjualan gas dan margin penyulingan yang lebih rendah.


(tfa/tfa)

Saksikan video di bawah ini:

Video: Tur ASEAN, 'Kopdar' Xi Jinping-PM Kamboja Hasilkan 37 Dokumen

Next Article Airlangga Beberkan Taktik RI Lawan Petaka Tarif Trump

Read Entire Article
Kabar Sehat | Legenda | Hari Raya | Pemilu |