Jakarta, CNBC Indonesia - Jelang pembahasan kenaikan upah minimum tahun 2026, buruh mulai menyuarakan tuntutannya kepada pemerintah. Sebagai informasi, sesuai ketentuan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 51/2023 tentang Pengupahan, pemerintah akan mengumumkan kenaikan upah minum provinsi (UMP) pada 21 November 2025 nanti. Diikuti pengumuman kenaikan upah minimum di kabupaten/ kota.
Namun, jadwal itu bisa saja bergeser, tergantung proses pembahasan oleh Dewan Pengupahan. Serta, jika tanggal yang ditetapkan bertepatan pada hari Minggu/ libur.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) Ristadi dalam keterangannya hari ini, Kamis (16/10/2025) mengatakan, menolak kenaikan upah minimum tahun 2026 nanti ditetapkan satu angka sama rata untuk semua wilayah di Indonesia. Dan, mendesak diterapkannya sistem upah minimum sektoral nasional.
Seperti diketahui, kenaikan upah minimum tahun 2025 ini sebelumnya ditetapkan satu angka oleh Presiden Prabowo Subianto. Pada tanggal 29 November 2024 lalu, Prabowo mengumumkan penetapan kenaikan UMP tahun 2025 rata-rata sebesar 6,5%. Yang kemudian diterapkan oleh masing-masing provinsi.
"KSPN memandang positif dan mengapresiasi langkah ini sebagai wujud komitmen empati Presiden Prabowo terhadap kesejahteraan pekerja/buruh di tengah tekanan ekonomi yang belum baik-baik saja. Namun, KSPN menilai bahwa kebijakan ini seperti nampak adil dipermukaan, tapi sesungguhnya berakibat semakin memperlebar ketimpangan upah minimum antar daerah di Indonesia," kata Ristadi.
Upah Minimum Karawang Bisa Rp6,5 Juta, Yogyakarta Cuma Segini
Dia pun membandingkan besaran upah minimum di berbagai wilayah di Indonesia.
Di Jakarta, Karawang, Bekasi, Bogor, Depok dan Kota Tangerang, kata dia, sudah di atas Rp5 juta per bulan. Sedangkan di Jawa Barat wilayah timur dan selatan seperti Majalengka, Cirebon, Indramayu, Tasikmalaya, Garut, Ciamis dan Pangandaran masih berkisar Rp 2 juta per bulan.
Juga, Jawa Tengah di luar wilayah Semarang Raya, besaran upah minimumnya tak jauh beda, masih sekitar Rp2 juta. Pun demikian di Yogyakarta.
"Tahun berikutnya jika prosentase kenaikan upah minimum dipukul rata maka besaran upah minimum Karawang akan semakin jauh lebih tinggi dari upah minimum Yogyakarta," kata Ristadi.
"Simulasinya, misalkan upah minimum naik 10% maka upah di Karawang akan naik sebesar 10% x Rp5,5 juta = Rp550.000-an. Sementara Yogyakarta, dengan kenaikan 10% x Rp2,1 juta = Rp210.000-an. Sehingga, upah minimum Karawang menjadi Rp6,5 juta, sementara di Yogyakarta Rp2,22 juta," cetusnya.
Akibat ketimpangan upah minimum antardaerah yang semakin tinggi itu, ujar Ristadi, menjadi tidak adil pekerja/buruh yang mempunyai kompetensi/jenis pekerjaan dan jam kerja yang sama, tapi bekerja didaerah kabupaten/kota yang berbeda.
"Kalau alasanya karena tingkat kebutuhan hidup layak berbeda, mari kita cek bersama, benarkah kebutuhan hidup layak di Bogor dua setengah kali lipat daripada di Yogyakarta?" ucapnya.
"Harga BBM, harga minyak goreng, harga beras kan tidak jauh beda bahkan cenderung sama. Harga sewa kontrakan selisihnya juga paling ratusan ribu tidak sampai jutaan. Atau misal argumentasinya karena kultur usaha di Yogyakarta adalah UMKM dan agribisnis. Mari kita lihat apakah di Bogor tidak ada pertanian? Tidak ada UMKM? Jawabnya, pasti ada," tambahnya.
Sadar atau tidak sadar, ujar Ristadi, secara sistematis kebijakan upah itu telah "merendahkan" secara sosial ekonomi, baik untuk daerah yang upah minimumnya rendah, juga untuk pekerja/buruhnya yang bekerja di daerah tersebut.
"Pekerja/buruh dengan upah yang rendah tentu daya belinya juga rendah. Ini tidak akan meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh itu sendiri dan tidak bisa berkontribusi besar mendorong pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut. Akibatnya daerah tersebut akan tertinggal secara ekonomi," katanya.
"Dari sudut persaingan bisnis pun tidak sehat. Pengusaha yang sama-sama memproduksi motor dengan merek dan spec sama, dijual harga sama, tapi pengusaha yang berproduksi motor di Karawang harus mengeluarkan cost labour-nya dua setengah kali lipat daripada yang di Yogyakarta," sambungnya.
Karena itu, kata Ristadi, KSPN tidak setuju dengan sistem kenaikan upah minimum dengan besaran persentase yang sama rata atau dipukul rata untuk se-Indonesia.
"KSPN meminta pemerintah pusat baik itu Menteri Ketenagakerjaan, Menteri Koordinator Ekonomi ataupun Bapak Presiden RI untuk tidak memutuskan persentase kenaikan upah minimum satu angka yang berlaku untuk seluruh Indonesia," katanya.
"KSPN mengusulkan aturan upah minimum diubah menjadi formulasi upah minimum sektoral nasional (UMSN). Yaitu upah minimum yang pendekatannya berdasarkan jenis dan skala usaha yang berlaku sama secara nasional," tambahnya.
Namun, imbuhnya, sebelum upah minimum sektoral nasional diberlakukan, ada masa transisi yang harus diciptakan. Yaitu, kondisi perbedaan upah minimum antar daerah yang relatif kecil.
"Syukur-syukur bisa sama. Caranya adalah dengan menaikkan upah minimum yang masih rendah lebih signifikan daripada upah minimum yang sudah tinggi," ujarnya.
"Setelah upah minimum sektoral nasional berlaku, maka upah minimum propinsi/sektoral propinsi, upah minimum kabupaten kota/sektoral kabupaten/kota dihapus," tambah Ristadi.
Selain itu, ucap Ristadi, sebagai apresiasi atas jenis pekerjaan, skill pekerja, masa kerja, tingkat pendidikan, dan jabatan, maka struktur skala upah tetap wajib diberlakukan di tiap perusahaan.
"Pertimbangan lainnya adalah Pemerintah juga menetapkan base upah yang sama berdasarkan golongan yang berlaku di seluruh Indonesia. Atau contoh lainnya setahu kami base upah karyawan BPJS Kesehatan juga sama seluruh Indonesia," pungkas Ristadi.
Foto: Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara Ristadi. (Dok. Istimewa)
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara Ristadi. (Dok. Istimewa)
(dce/dce)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Buruh Minta UMP 2026 Naik 10,5%, Gini Jawaban Tegas Menaker Yassierli