Jakarta, CNBC Indonesia - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengingatkan potensi terjadinya ledakan alga. Ledakan ini disebut bisa berbahaya bagi industri budi daya perikanan di Indonesia.
Karena itu, BRIN melalui Pusat Riset Sains Data dan Informasi (PRSDI) dan Organisasi Riset Elektronika dan Informatika (OREI) mengembangkan Rumah Program Citizen Science. Inisiatif yang mendorong keterlibatan masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam mendukung riset dan inovasi.
"Salah satu fokus riset tersebut adalah pengembangan sistem peringatan dini terhadap ledakan alga berbahaya (alga blooms). Peristiwa lingkungan akuatik yang disebabkan oleh pertumbuhan berlebihan spesies fitoplankton atau alga tertentu. Ledakan alga ini menjadi salah satu tantangan yang memengaruhi perkembangan industri budi daya ikan di Indonesia," kata Peneliti Ahli Madya PRSDI BRIN Foni Agus Setiawan, Kamis (22/5/2025).
"Ledakan alga berbahaya yang masif dapat menyebabkan kematian massal organisme laut trofik yang lebih tinggi dalam wilayah geografis yang luas, termasuk ikan budidaya," tambahnya.
Jika ledakan alga terjadi dan permukaan air akan tertutup oleh alga, maka racun yang dilepas oleh alga akan memengaruhi organisme di bawanya dan terjadi penipisan oksigen.
"Ikan akan kekurangan oksigen dan hanya dalam waktu 4 jam, organisme tersebut akan mati. Sehingga secara ekonomi, akan merugikan nelayan tambak,"ujar Foni.
Karena itu, lanjut dia, diperlukan sistem peringatan dini (early warning system) yang berada di tambak di pesisir pantai.
"Agar nelayan tambak dapat segera memitigasi terjadinya ledakan alga dan segera melakukan pembersihan. Seperti mengangkat alga, mendorong menggunakan air. Hal ini ditujukan agar alga segera menyingkir dari tambak dan mencegah terjadinya ledakan," jelasnya.
"Pertumbuhan alga berbahaya merupakan suatu peristiwa yang bisa terjadi sewaktu-waktu dan tidak dapat diprediksi," tambah Foni.
Dalam riset bersama PRSDI dan OREI itu, paparnya, masyarakat ikut terlibat. Dengan menyampaikan data, baik berupa kondisi air, cuaca, suhu, beserta foto kondisi lingkungan melalui aplikasi yang dibangun.
"Data ini kemudian diolah di server untuk mengetahui kemungkinan terjadinya ledakan alga. Program riset ini bertujuan untuk mencegah pertumbuhan alga berbahaya guna mendukung perkembangan industri budidaya ikan," terangnya.
"Untuk tambaknya sendiri kami memantau di 2 lokasi, yaitu Teluk Lampung, serta Teluk Jakarta. Namun riset ini melibatkan pemangku kepentingan sistem peringatan dini untuk terjadinya ledakan alga yang terdiri dari pembudidaya ikan, nelayan, pemerintah, penyuluh perikanan, peneliti, dan mahasiswa," sebutnya.
Bagaimana cara kerjanya?
Foni menuturkan, masyarakat menggunakan aplikasi seluler Alboom untuk mengumpulkan gambar yang diberi geotag dan melaporkan informasi visual terkait kualitas air dan kondisi cuaca di wilayah mereka, baik saat terjadinya ledakan alga, maupun tidak terjadi ledakan yang menunjukkan kondisi normal.
"Kondisi terjadinya ledakan alga dijadikan informasi visual untuk memvalidasi kejadian ledakan alga dan kemudian sebagai sumber data untuk informasi peringatan dini bagi masyarakat setempat," ucapnya.
"Untuk melengkapi Alboom, dibangun pula aplikasi Algies yang digunakan untuk mengidentifikasi jenis alga yang menyebabkan terjadinya ledakan. Sampel alga akan dibawa ke laboratorium dan diidentifikasi oleh teknisi laboratorium. Penggunaan Algies akan mempercepat proses dan meningkatkan akurasi identifikasi alga tersebut," ungkapnya.
Foni berharap aplikasi Alboom dan Algies dapat membantu pemerintah, masyarakat, peneliti, serta lembaga pemangku kepentingan lainnya dalam mendeteksi indikasi bahaya ledakan alga. Juga, untuk mempercepat pengambilan keputusan dan mengurangi dampak buruk ledakan alga, baik di Indonesia maupun di negara lain
"Aplikasi Alboom dan Algies tentu jauh lebih murah karena menggunakan manusia sukarelawan sebagai sensor. Namun, seperti aplikasi berbasis partisipatif masyarakat lainnya, kemauan anggota masyarakat untuk terlibat aktif dalam pengumpulan dan berbagi data sangat penting untuk keberhasilan implementasi," katanya.
Dijelaskan, Alboom akan mencatat data kondisi air melalui pengamatan pengguna terhadap perubahan warna dari kondisi yang diharapkan, kepadatan air, rasa gatal dan berlendir jika air disentuh, serta adanya bioluminesensi di malam hari untuk mengindikasikan terjadinya ledakan.
"Perubahan warna pada air merupakan cara termudah untuk mendeteksi terjadinya ledakan alga. Warna berubah menjadi kemerahan, kekuningan, kecokelatan, jingga, atau hijau tua, yang mengindikasikan peningkatan biomassa alga yang mengandung pigmen warna tertentu," sebut Foni.
"Tidak ada catatan data khusus tentang kondisi toksisitas di Alboom. Namun, jika data yang diinput menunjukkan terjadinya alga yang berkembang biak, pengguna lain akan diberi tahu dan kemudian dapat memverifikasinya. Dalam kasus ini, fungsi Alboom sebagai sistem berbagi di masyarakat telah mendominasi peran sistem peringatan dini," tambahnya.
Lantas, apa pemicu terjadinya ledakan alga?
Foni menjelaskan, ledakan alga bisa terdeteksi melalui kondisi cuaca. Dalam sistem yang dikembangkan, Albom akan mengumpulkan data dan informasi kondisi cuaca dan air. Yang akan mengindikasikan kondisi praledakan, saat ledakan, dan pascaledakan.
"Tanda-tanda peringatan pra-ledakan dideteksi melalui kondisi cuaca pada intensitas cahaya matahari dan curah hujan saat data direkam dan sekitar dua hingga tiga hari sebelumnya," bebernya.
Dia mengutip Puspasari dkk. (2018), ledakan alga dipicu oleh curah hujan yang tinggi diikuti oleh intensitas cahaya matahari yang tinggi.
"Karena itu, pelaporan kejadian curah hujan dua atau tiga hari sebelum intensitas cahaya matahari yang tinggi dapat menjadi tanda peringatan ledakan alga dan tindakan pencegahan bagi pengguna untuk meningkatkan pemantauan visual terhadap warna air," terangnya.
Di sisi lain, saat ini Indonesia sering mengalami perubahan cuaca yang ekstrem. Seperti, panas terik di siang hari, lalu hujan tiba-tiba di sore atau malam hari.
BMKG dalam sejumlah rilis analisisnya menyebutkan, perubahan cuaca yang signifikan dan ekstrem akhir-akhir ini merupakan bagian dari peralihan musim. Ditambah lagi, adanya gangguan dan dinamika atmosfer.
Sehingga, kondisi cuaca ekstrem dan mengalami perubahan ekstrem ini, terutama di wilayah pesisir dan kawasan budidaya ikan, bisa dijadikan nelayan untuk mendeteksi potensi praledakan alga. Apalagi jika terjadi curah hujan tinggi, diikuti intensitas sinar matahari yang tinggi.
Foto: Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melalui Pusat Riset Sains Data dan Informasi (PRSDI) – Organisasi Riset Elektronika dan Informatika (OREI) mengembangkan Rumah Program Citizen Science. (Dok. BRIN)
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melalui Pusat Riset Sains Data dan Informasi (PRSDI) – Organisasi Riset Elektronika dan Informatika (OREI) mengembangkan Rumah Program Citizen Science. (Dok. BRIN)
(dce/dce)
Saksikan video di bawah ini:
Video: PBB Beri Peringatan Buat Asia
Next Article Ledakan Megathrust Selat Sunda Picu Tsunami Raksasa, Banten Siap Siaga