Jakarta, CNBC Indonesia - China dinilai telah "secara signifikan meningkatkan" jumlah rudal yang mampu menyerang Jepang. Analisis ini didasarkan pada citra satelit terbaru yang menunjukkan ekspansi besar dalam persenjataan rudal China.
Peningkatan ini memicu kekhawatiran atas stabilitas keamanan di Asia Timur, terutama bagi Jepang yang merupakan sekutu utama Amerika Serikat di kawasan tersebut.
Latar Belakang Jepang, yang menjadi tuan rumah bagi pasukan Amerika Serikat, merupakan bagian dari strategi pertahanan yang dikenal sebagai first island chain. Konsep pertahanan Washington ini bertujuan memanfaatkan wilayah sekutu dan negara sahabat untuk menahan aktivitas militer lawan, termasuk China.
Laporan Kementerian Pertahanan Amerika Serikat mengungkap bahwa militer China saat ini memiliki sekitar 300 peluncur dan 1.300 rudal dalam kategori medium-range ballistic missile (MRBM) atau rudal balistik jarak menengah. Rudal-rudal ini mampu menjangkau hingga 3.000 kilometer, mencakup seluruh kawasan first island chain.
Japan Institute for National Fundamentals mengungkapkan bahwa China kini dapat menggunakan tiga jenis rudal konvensional untuk menyerang daratan utama Jepang, yaitu DF-17 MRBM, CJ-10, dan CJ-100 yang merupakan rudal jelajah berbasis darat.
Sejak Oktober 2020, China telah membangun garnisun baru di Brigade 655 yang terletak di Provinsi Jilin, timur laut China. Brigade ini mengoperasikan rudal DF-17 MRBM yang dilengkapi dengan kendaraan luncur hipersonik dan mampu melesat lebih dari lima kali kecepatan suara. Jangkauan DF-17 diperkirakan antara 1.800 hingga 2.500 kilometer.
Selain itu, laporan Pentagon memperkirakan rudal jelajah CJ-10 dan CJ-100 memiliki daya jangkau 1.500 hingga 2.000 kilometer, sehingga dapat mencapai target di Jepang. Brigade 656 di Provinsi Shandong bagian timur telah mengoperasikan rudal CJ-100 sejak 2019, dan citra satelit menunjukkan adanya kemungkinan pembangunan fasilitas tambahan untuk unit ini.
Sementara itu, Brigade 611 yang berada di Provinsi Anhui juga mengalami peningkatan kapasitas untuk mengoperasikan DF-26, rudal balistik jarak menengah (intermediate-range ballistic missile atau IRBM) sejak Oktober 2024. DF-26 memiliki jangkauan sekitar 3.000 hingga 4.000 kilometer, memungkinkan China untuk menyerang target di Jepang maupun pangkalan militer AS di wilayah Pasifik.
Yang lebih mengkhawatirkan, DF-26 dapat dengan cepat mengganti hulu ledaknya antara konvensional dan nuklir, serta mampu melakukan serangan presisi terhadap kapal maupun sasaran darat. Hal ini menyulitkan Jepang untuk menentukan apakah rudal yang diluncurkan membawa muatan nuklir atau tidak.
Reaksi dan analisis laporan Pentagon mengenai kekuatan militer China menyatakan bahwa "arsenal PLARF (People's Liberation Army Rocket Force) yang semakin canggih dan memiliki jangkauan lebih jauh meningkatkan kesiapan China dalam melakukan serangan presisi jarak jauh terhadap pasukan dan pangkalan militer AS serta sekutunya di sebagian besar kawasan Indo-Pasifik."
Maki Nakagawa, seorang peneliti di Japan Institute for National Fundamentals dan mantan komandan Unit Intelijen Dasar Pasukan Bela Diri Darat Jepang, mengatakan unit rudal China yang mampu menyerang daratan utama Jepang telah meningkat baik dari segi kualitas maupun kuantitas, sehingga meningkatkan ancaman keamanan.
"Selain itu, karena semakin sulit untuk menentukan unit mana yang akan meluncurkan rudal ke Jepang, diperlukan pemantauan secara menyeluruh dan berkelanjutan untuk menilai ancaman China," katanya, dilansir Newsweek, Kamis (6/3/2025).
Langkah Berikutnya Jepang kemungkinan akan meningkatkan sistem pertahanan rudalnya untuk menghadapi ancaman China, bekerja sama dengan sekutunya, Amerika Serikat. Hal ini semakin diperkuat dengan laporan dari Hudson Institute yang memperingatkan bahwa pangkalan udara militer AS di wilayah Pasifik Barat menghadapi ancaman serius dari serangan rudal China.
(luc/luc)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Jepang Alami Kebakaran Hutan Terbesar Dalam Setengah Abad
Next Article Asia Makin Panas, Jepang & Eropa Keluarkan Tanda Siap Perang