Fenomena Mundur Massal CPNS, antara Gaji atau Pola Mutasi

3 hours ago 4

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Tercatat hampir dua ribu calon pegawai negeri sipil (CPNS) yang lulus seleksi menyatakan mengundurkan diri pada rekrutmen tahun 2024. Pengunduran masal tersebut jelas mengagetkan mengingat baru kali ini jumlah yang mengundurkan diri mencapai angka ribuan.

Secara filosofis, CPNS berbeda dengan PPPK khususnya berkaitan dengan penempatan lokasi penugasan. PPPK secara ketentuan tidak dapat dipindah ke lokasi di luar pilihan pelamar, sedangkan CPNS dapat ditempatkan di manapun termasuk di luar lokasi yang dipilih oleh pelamar. Oleh karena itu riuhnya pengunduran diri hanya terjadi di kalangan CPNS.

Menyikapi pengunduran diri yang terjadi, tindakan yang ditempuh pemerintah masih menggunakan pendekatan era masa lalu berupa denda dan mungkin sanksi tambahan yaitu blacklist bagi pelamar yang mengundurkan diri.

Pemberian sanksi adalah cara termudah yang bisa dilakukan namun terdapat potensi lain yang bakal dihadapi di masa akan datang. Kandidat terbaik anak bangsa berkurang minatnya untuk mendaftar di lingkungan pemerintahan sebagai dampak dari fobia atas penerapan sejumlah sanksi.

Apabila ditelisik lebih jauh, kasus pengunduran diri memang bukan kali ini terjadi. Setiap periode rekrutmen ASN pasti ada peserta yang mengajukan pengunduran diri karena berbagai alasan. Hanya saja kasus pengunduran diri CPNS yang terjadi akhir-akhir ini ditengarai oleh perubahan skema kelulusan dibandingkan periode-periode sebelumnya.

Rekrutmen ASN telah berubah menjadi begitu transparan sehingga para pelamar mampu untuk mempelajari tahapan seleksi termasuk bentuk soal yang mau diujikan. Pada seleksi yang berlangsung sebelumnya, setiap pelamar dinyatakan lulus apabila menempati posisi tertinggi sesuai ranking yang diperoleh pada ujian berbasis komputer.

Dalam hal tidak terdapat pesaing lain pada lowongan yang dibuka maka otomatis pelamar tersebut dinyatakan lulus. Pola ini memiliki kelemahan dikarenakan terdapat beberapa lowongan yang otomatis terisi oleh pelamar meski kemampuannya pas-pasan.

Pada skema baru kelulusan pelamar ditentukan oleh nilai passing grade yang telah ditentukan. Jika terdapat pelamar yang mencapai nilai passing grade sedangkan lowongan yang dituju telah terisi maka pemerintah mengalihkan pelamar tersebut ke lowongan lain yang masih tersedia. Skema inilah yang kemudian disebut dengan optimalisasi.

Permasalahan yang kemudian muncul adalah, pengalihan ke posisi lowong tersebut sudah pasti bukan berada di zona atau wilayah yang diinginkan oleh pelamar. Sangat mungkin lokasi kelulusan yang ditetapkan jauh dari domisili pelamar sehingga pertimbangan jarak menjadi alasan sebagian pelamar untuk mengundurkan diri.

Lokasi penempatan yang jauh serta larangan untuk mengajukan pindah sebelum mencapai masa kerja tertentu menambah beban pikiran pelamar yang masuk dalam daftar optimalisasi.

Perkembangan zaman seharusnya mendorong pemerintah untuk lebih adaptif dalam mengelola SDM yang dimilikinya. Jika dahulu rekrutmen PNS bisa menggunakan klausula berupa sanggup ditempatkan di seluruh wilayah NKRI maka di masa sekarang klausula tersebut perlu disempurnakan kembali.

Bukan berarti sebagai abdi negara tidak mau ditugaskan di luar domisili namun perlu adanya penyempurnaan regulasi yang lebih humanis agar aparat negara secara sukarela berkenan ditugaskan di mana saja.

Salah satu fungsi ASN apabila merujuk pada undang-undang yaitu sebagai perekat dan pemersatu bangsa. Untuk mewujudkan fungsi tersebut maka selayaknya ASN tidak terkotak-kotak hanya dalam domisili dimana dia tinggal.

Penyebaran lokasi penugasan bagi ASN bertujuan demi merekatkan bangsa Indonesia yang majemuk. Menempatkan pegawai di luar domisili akan mendapatkan resistensi yang kuat jika hanya mengandalkan kebijakan yang berlaku saat ini.

Para ASN akan sulit menerima kondisi ditempatkan di luar daerah karena beban hidup yang ditanggung pasti bertambah bila dibandingkan di lokasi dia tinggal. Diperlukan modifikasi aturan termasuk adopsi regulasi sejenis yang berlaku di negara lain sebagai insentif bagi pegawai yang mau ditempatkan di luar domisili.

Sekurang-kurangnya terdapat dua perangkat yang dapat digunakan untuk memotivasi pegawai agar mau ditugaskan di wilayah yang berbeda. Pertama berkaitan dengan penyempurnaan skema penggajian dan yang kedua adalah pola mutasi yang adil bagi seluruh pegawai.

Pada skema penggajian yang berlaku saat ini, tidak ada perbedaan penghasilan yang diterima pegawai antara yang ditempatkan di wilayah sesuai domisili atau di luar domisili. Ketiadaan insentif inilah yang kemudian memicu perlombaan untuk bisa segera kembali ke tempat asal pegawai bersangkutan. Cara kasak-kusuk termasuk fraud pun lazim dilakukan demi bisa kembali ke tempat asal secepat mungkin.

Bagi negara, fenomena ini jelas sangat merugikan karena distribusi pegawai hanya akan mengumpul di lokasi tertentu dan kosong di lokasi lainnya. Untuk menyiasati hal ini, pemerintah perlu mengadopsi ketentuan sejenis yang berlaku di negara lain.

Di Malaysia misalnya, terdapat pembedaan penghasilan bagi pegawai pemerintah yang ditempatkan di luar wilayah asal. Terdapat sekurang-kurangnya dua insentif yang diberikan bagi pegawai yang dipindahkan ke luar domisili. Kedua unsur tambahan penghasilan tersebut adalah Bayaran Imbuhan Wilayah (BIW) dan Bayaran Imbuhan Perumahan Wilayah (BIPW).

BIW merupakan insentif yang diberikan bagi pegawai yang mendapatkan penugasan di luar wilayah asal pegawai tersebut. Besaran yang diberikan yaitu sejumlah nilai yang disesuaikan dengan jenjang jabatan pegawai. Semakin tinggi jenjang jabatan maka besaran BIW juga akan semakin besar.

BIW dihentikan pembayarannya ketika pegawai tersebut kembali ke tempat asalnya atau terjadi perubahan domisili ke tempat pegawai tersebut ditugaskan. Sedangkan BIPW adalah bantuan yang diberikan bagi pegawai untuk menyewa rumah dalam hal pegawai tersebut tidak mendapatkan rumah dinas dari negara. Adopsi kedua insentif tersebut menjadi cara yang lebih manusiawi untuk memindahkan pegawai ke tempat di luar lokasi pegawai tersebut bermukim.

Selanjutnya berkaitan dengan penyempurnaan pola mutasi bagi pegawai. Selama ini pola mutasi yang telah berlangsung secara otomatis hanyalah mutasi yang bersifat vertikal. Mutasi vertikal adalah perpindahan jenjang jabatan setingkat lebih tinggi dibandingkan jabatan yang diemban selama ini.

Untuk mutasi yang bersifat horizontal tidak semua institusi pemerintah melakukan hal tersebut. Alasannya mengapa minim terjadi mutasi horizontal adalah keterbatasan alokasi anggaran khususnya ketika menyangkut mutasi antar wilayah.

Kecilnya alokasi anggaran yang menjadi pemicu enggannya pelamar untuk di tempatkan di luar domisili. Harapan untuk kembali ke lokasi asal pupus belum lagi bayangan mahalnya tiket pulang kampung yang harus disediakan setiap tahunnya. Sedangkan bagi pegawai yang sudah berada pada lokasi nyaman, ketiadaan mutasi adalah berkah tersendiri. Pegawai tersebut tetap dapat bekerja seperti biasa tanpa perlu bersusah payah meningkatkan prestasi.

Untuk meningkatkan kinerja pegawai, mutasi horizontal adalah perangkat yang dapat digunakan untuk mendorong pegawai agar selalu prima dalam bekerja. Ketika mutasi horizontal sudah menjadi budaya organisasi maka setiap pegawai berpotensi mendapatkan pemindahan lokasi bekerja khususnya ketika kinerjanya menurun.

Bagi pegawai yang kinerjanya sesuai harapan, mutasi tersebut adalah strategi yang bisa dilakukan untuk mendapat kesempatan pindah ke lokasi kerja yang diidam-idamkan.

Mampukah pemerintah mengadopsi budaya baru dalam mengelola SDM yang dimiliki? Diskusi terkait ketersediaan anggaran akan menjadi tantangan utama untuk mewujudkan hal tersebut. Tetapi ketika kita berbicara tentang kesatuan negeri ini, seharusnya sekat-sekat kedaerahan bisa dihilangkan khususnya berkaitan dengan lokasi penempatan para aparatur negara.


(miq/miq)

Read Entire Article
Kabar Sehat | Legenda | Hari Raya | Pemilu |