Hari Pangan Sedunia: Kinerja Emiten Beras Tak Senikmat Nasi di Piring

5 hours ago 1

Jakarta, CNBC Indonesia - Dunia memperingati Hari Pangan Sedunia pada hari ini, 16 Oktober. 

Tepat pada peringatan Hari Pangan Sedunia yang tahun ini mengusung tema "Hand in Hand for Better Foods and Better Future", kondisi perberasan di Indonesia menyajikan sebuah ironi yang kompleks.

Di satu sisi, pemerintah melaporkan surplus dan peningkatan produksi gabah yang signifikan. Namun di sisi lain, masyarakat dihadapkan pada lonjakan harga beras yang tak kunjung melandai, menciptakan tantangan serius bagi ketahanan pangan di tingkat rumah tangga.

Data 2025 menunjukkan kenaikan harga beras rata-rata nasional yang konsisten, dari Rp 11.647 pada Januari hingga Rp 13.458 pada Desember. Tren ini menjadi fondasi bagi gejolak harga yang lebih ekstrem di tahun 2025 diawali dengan Rp 13.561 ke Rp 14.290 di September.

Kondisi paradoks ini-produksi melimpah namun harga tinggi-telah menjadi panggung utama yang mempengaruhi kinerja para emiten beras di Bursa Efek Indonesia (BEI) secara dramatis dan berbeda-beda.

Harga Meroket di Tengah Klaim Surplus

Sepanjang tahun 2025, harga beras di tingkat konsumen terus menanjak, bahkan seringkali melampaui Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah.

Rata-rata harga beras medium telah berada di Rp 14.300 per kilogram, jauh dari level normal di bawah Rp 12.500. Kenaikan ini dipicu oleh berbagai faktor kompleks, termasuk:

  • Harga Gabah yang Tinggi
    Petani menikmati harga jual gabah kering panen (GKP) yang baik, sebuah sentimen positif bagi kesejahteraan petani namun menjadi beban biaya pokok produksi bagi perusahaan penggilingan.

  • Biaya Operasional dan Logistik
    Kenaikan biaya transportasi dan distribusi turut andil dalam pembentukan harga akhir di pasar.

  • Anomali Cuaca dan Rantai Pasok
    Meskipun data produksi nasional secara agregat naik, beberapa daerah sentra produksi mengalami dampak cuaca ekstrem yang mempengaruhi kelancaran pasokan.

  • Spekulasi Pasar
    Peran middleman atau spekulan ditengarai turut memperkeruh suasana dengan menahan stok untuk mendapatkan keuntungan lebih tinggi.

Pemerintah telah berupaya meredam gejolak ini melalui operasi pasar oleh Bulog dengan beras SPHP (Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan) dan penyesuaian HET. Namun, dampaknya di pasar seringkali terasa lambat.

Dampak Kontras pada Kinerja Emiten Beras

Kondisi pasar yang unik ini ternyata tidak memberikan keuntungan yang merata bagi semua emiten. Sebaliknya, hal ini justru memilah mereka menjadi tiga kategori dengan nasib yang sangat berbeda

1.FKS Food Sejahtera Tbk (AISA) AISA tampil sebagai bintang di tengah gejolak.

Perusahaan ini berhasil memanfaatkan momentum kenaikan harga jual untuk melambungkan laba bersihnya.

Dengan lonjakan laba bersih Rp 43 milyar lebih dari 50% di Semester I 2025, AISA membuktikan kemampuannya dalam manajemen biaya dan strategi penetapan harga yang efektif. Bagi AISA, kenaikan harga beras menjadi peluang emas untuk meningkatkan margin keuntungan secara signifikan.

2. Wahana Inti Makmur Tbk (NASI) NASI menyajikan anomali tersendiri
Di saat harga jual di pasar tinggi, kinerja keuangan perusahaan justru tertekan hebat dengan laba bersih yang anjlok drastis di dua kuartal pertama. Ini mengindikasikan kemungkinan adanya kesulitan dalam mengelola harga beli gabah yang tinggi atau tantangan efisiensi operasional.

3. Buyung Poetra Sembada Tbk (HOKI)

Emiten dengan merek "Topi Koki" ini menjadi korban paling nyata dari situasi saat ini. HOKI terpaksa menelan pil pahit dengan mencatatkan kerugian pada Semester I 2025.

Kenaikan harga gabah sebagai bahan baku utama dan beban usaha yang membengkak ternyata lebih cepat dari kemampuan perusahaan untuk menaikkan harga jual produknya, yang juga terhambat oleh penurunan volume penjualan. Ini adalah contoh klasik bagaimana kenaikan harga komoditas tidak selalu menguntungkan produsen di hilir jika mereka tidak mampu mengelola struktur biaya.

Refleksi di Hari Pangan Sedunia

Peringatan Hari Pangan Sedunia hari ini menjadi pengingat yang kuat bahwa ketahanan pangan bukan hanya soal angka produksi. Tema "Hand in Hand for Better Foods and a Better Future" menyoroti pentingnya kolaborasi untuk menciptakan sistem pangan yang adil dan berkelanjutan.

Situasi di Indonesia pada tahun 2025 menunjukkan adanya "gandengan tangan" yang terputus dalam rantai pasok beras. Petani, perusahaan penggilingan, distributor, pemerintah, dan konsumen seolah bergerak dalam dinamika yang tidak selaras. Kenaikan produksi di hulu gagal diterjemahkan menjadi harga yang terjangkau di hilir.

Bagi investor, lonjakan harga beras telah menjadi pisau bermata dua yang memisahkan emiten yang mampu beradaptasi dan yang tidak. Prospek ke depan akan sangat bergantung pada efektivitas kebijakan pemerintah dalam menstabilkan rantai pasok dan kemampuan masing-masing perusahaan untuk berinovasi dalam efisiensi di tengah volatilitas biaya bahan baku.

-

Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(gls/gls)

Read Entire Article
Kabar Sehat | Legenda | Hari Raya | Pemilu |