Jangan Biarkan Piutang Pemerintah Hanya Sekadar Catatan

2 hours ago 1

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Dalam laporan keuangan pemerintah, terdapat satu pos yang kerap luput dari sorotan publik namun menyimpan cerita panjang tentang tata kelola fiskal yaitu piutang. Secara akuntansi piutang tampil sebagai bagian dari aset yakni menambah nilai kekayaan bersih pemerintah. Namun dalam praktiknya piutang sering kali tak lebih dari "aset di atas kertas", angka yang indah di neraca tetapi sulit diwujudkan menjadi kas nyata.

Teori akuntansi menempatkan piutang dalam kategori aset lancar atau kelompok aset yang mudah dikonversi menjadi uang tunai. Dalam konteks pemerintahan sepertinya klasifikasi tersebut tidak sepenuhnya mencerminkan fakta di lapangan.

Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Audited Tahun 2024 menunjukkan bahwa total Piutang Jangka Pendek Bruto pemerintah pusat mencapai Rp514,26 triliun. Jumlah tersebut bahkan melampaui nilai Kas dan Setara Kas yang hanya Rp429,67 triliun. Jika dibandingkan dengan tahun 2023, Piutang Jangka Pendek Bruto meningkat sekitar Rp16,21 triliun sementara Kas dan Setara Kas justru menurun sekitar Rp1 triliun.

Ironisnya sebagian besar piutang tersebut tergolong macet, sehingga pemerintah harus menyediakan penyisihan piutang tak tertagih sebesar Rp339,5 triliun atau sekitar 66% dari total piutang jangka pendek. Artinya dua pertiga dari angka yang tampak sebagai aset itu sejatinya sudah kehilangan nilai ekonominya.

Pengaturan formal mengenai piutang pemerintah tercantum dalam Buletin Teknis Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) Nomor 6 tentang Akuntansi Piutang. Regulasi ini mendefinisikan piutang sebagai hak pemerintah yang timbul dari peristiwa masa lalu dan menimbulkan kewajiban bagi pihak lain untuk membayar sejumlah uang kepada negara. Dari kacamata pemerintah, piutang adalah janji yang menunggu ditepati baik oleh rakyat, badan usaha, maupun entitas pemerintahan lain.

Ruang lingkup piutang pemerintah kini meluas mulai dari piutang pajak, piutang bukan pajak, transfer antar pemerintahan, hingga kerugian negara atau daerah akibat kesalahan administrasi maupun penyalahgunaan wewenang. Bahkan dalam mekanisme perimbangan keuangan pusat dan daerah, dimungkinkan terjadi potensi utang piutang misalnya dana bagi hasil yang belum diterima atau transfer yang tertunda.

Penagihan piutang di lingkungan pemerintahan bukan perkara sederhana. Pada entitas nonpemerintahan piutang biasanya disertai jaminan yang dapat mengurangi risiko gagal bayar. Bahkan jika terjadi macet sekalipun, piutang bisa dijual melalui mekanisme anjak piutang (factoring) agar arus kas tetap terjaga.

Namun di sektor publik, pemerintah tidak bisa begitu saja menjual hak tagihnya kepada pihak ketiga. Selain karena keterbatasan regulasi yang mengatur, pengalihan piutang juga berpotensi adanya pendapatan yang hilang karena nilai piutang yang "dijual" akan menyusut. Atas pertimbangan tersebut mekanisme penagihan menjadi satu-satunya pilihan meskipun proses tersebut memakan waktu yang cukup panjang serta biaya yang tidak sedikit.

Ketika penagihan gagal dilakukan, opsi terakhir adalah penghapusan piutang. Hanya saja keputusan ini tidak mudah diambil. Menghapus piutang berarti mengakui kerugian negara dan setiap pengakuan kerugian bisa membawa konsekuensi hukum yang tidak ringan. Akibatnya banyak instansi pemerintahan memilih "jalan aman" dengan membiarkan piutang tetap tercatat meski sudah tidak memiliki nilai ekonomi sama sekali.

Pada titik inilah muncul paradoks antara besaran piutang tercatat dengan nilai faktual yang dapat direalisasikan. Pada satu sisi tercatat memiliki aset lancar yang signifikan namun menjadi dilema saat akan dipergunakan. Laporan keuangan yang disusun pun menyajikan persepsi semu tentang seberapa besar kekayaan negara sebenarnya.

Persoalan piutang bukan sekadar masalah akuntansi, melainkan soal akuntabilitas dan keberanian mengambil keputusan. Pemerintah memang telah memiliki mekanisme penyisihan piutang tak tertagih hingga penghapusan piutang macet.

Namun penerapannya masih terbatas dan hanya berfokus pada piutang-piutang dengan nilai kecil untuk tahapan penghapusannya. Bagi piutang-piutang dengan nilai jumbo bahkan triliunan, langkah terbaik memang "mendiamkannya" sehingga terus terakumulasi dalam laporan keuangan pemerintah.

Banyak pihak enggan melakukan penghapusan karena khawatir dianggap lalai atau bahkan merugikan negara. Ambiguitas mengenai makna merugikan negara menjadi penyebab mengapa jarang ada sosok yang berani menghapuskan piutang macet dengan nilai yang besar.

Dalam pencatatan akuntansi yang sehat, penghapusan bukanlah bentuk pengabaian melainkan pengakuan terhadap realitas ekonomi. Pembenahan pengelolaan piutang pemerintah sejatinya adalah bagian dari penyempurnaan pengelolaan keuangan pemerintah agar piutang yang seharusnya menjadi cadangan kas dapat berfungsi sebagaimana mestinya.

Jika pengelolaan piutang pemerintah selama ini dianggap rumit dan menyita waktu, sudah saatnya langkah-langkah strategis diambil untuk meminimalisasi timbulnya piutang sejak awal. Langkah pertama adalah memetakan sumber-sumber potensial yang berisiko menimbulkan piutang.

Apabila potensi tersebut berasal dari penerapan kebijakan baru, maka perencanaan yang matang menjadi kunci. Pemerintah perlu memberi waktu bagi pihak-pihak yang terdampak untuk menyesuaikan diri, misalnya dengan menyediakan masa transisi ketika ada perubahan tarif atau aturan pajak.

Contoh aktual yaitu kenaikan tarif pajak kendaraan di lingkup pemerintah daerah. Kenaikan tarif tersebut dapat memunculkan piutang baru ketika wajib pajak belum mampu menyesuaikan diri dengan beban tambahan tersebut. Jika situasi serupa terus berulang tanpa ada waktu untuk melakukan penyesuaian, maka akumulasi piutang akan terus membengkak.

Terjadi perbedaan antara kalkulasi target pajak yang harus diraup dan kemampuan bayar masyarakat. Sehingga selisih yang terjadi akan dianggap sebagai piutang dalam catatan akuntansi. Apakah piutang ini akan tertagih? Belum tentu juga. Masyarakat pun cenderung menanti adanya pemutihan kewajiban perpajakan yang tentu saja catatan piutang akan tetap menjadi catatan yang tak bisa direalisasikan.

Penguatan analisis atas kemampuan ekonomi masyarakat harus menjadi bagian utama dari perumusan kebijakan fiskal. Tarif atau kewajiban yang terlalu tinggi hanya akan memperbesar terjadinya piutang serta akan mengikis kepercayaan publik. Kebijakan yang baik adalah kebijakan yang efektif secara fiskal namun juga adil dan realistis dalam penerapannya.

Akhirnya pemerintah perlu menyiapkan terobosan regulasi agar proses penghapusan piutang dapat dilakukan dengan lebih sederhana dan aman secara hukum. Bila suatu piutang benar-benar tidak dapat ditagih, penghapusan adalah pilihan rasional untuk menjaga kredibilitas laporan keuangan pemerintah.

Sudah saatnya kita berhenti memandang piutang sebagai sekadar angka di laporan keuangan. Memperbaiki pengelolaan piutang bukan hanya memperkuat neraca pemerintah tetapi juga memulihkan kepercayaan publik terhadap keuangan negara. Sebab sebagaimana keuangan pribadi, laporan keuangan negara hanya akan sehat bila berani mengakui mana yang benar-benar aset dan mana yang sekadar harapan.


(miq/miq)

Read Entire Article
Kabar Sehat | Legenda | Hari Raya | Pemilu |