"Kiamat" Mendekat, Daratan Bumi Kehilangan Triliunan Ton Air

6 hours ago 3

Jakarta, CNBC Indonesia - Daratan bumi kehilangan 1,6 triliun ton air karena pemanasan global dan konsumsi penduduknya.

Dikutip dari Sciencenews.org, mengutip laporan peneliti dalam jurnal Science edisi 28 Maret, menunjukkan penyimpanan air daratan, yang mencakup air di akuifer bawah tanah, danau, sungai, serta ruang-ruang kecil di dalam tanah, mengalami penurunan triliunan ton metrik di awal abad ke-21.

Daratan Bumi kini menyimpan jauh lebih sedikit air dibandingkan sebelumnya. Berkurangnya air bukan hanya disebabkan oleh mencairnya lapisan es.

Penurunan tajam cadangan air tawar ini disebabkan oleh kenaikan suhu di daratan dan lautan, yang kemudian meningkatkan frekuensi kekeringan global.

Penurunan air ini diketahui dari studi ahli geofisika Ki-Weon Seo dari Seoul National University dan rekan-rekannya.

Ki-Weon Seo mengatakan penurunan jumlah air diperkirakan masih akan tetap terjadi mengingat proyeksi pemanasan bumi di masa depan.

Ki-Weon Seo dan rekan-rekannya menggunakan beberapa metode independen untuk menilai kehilangan air daratan dari tahun 2000 hingga 2020.

Nelayan Meksiko Pedro Carrasco memberi makan burung saat bekerja di kapalnya di bendungan air rendah La Boquilla, saat Meksiko berpendapat bahwa kekeringan bersejarah yang dipicu oleh perubahan iklim membuat mustahil untuk memenuhi komitmen airnya kepada Amerika Serikat berdasarkan perjanjian tahun 1944, di San Francisco de Conchos, Meksiko, 5 April 2025. (REUTERS/Jose Luis Gonzalez)Foto: Nelayan Meksiko Pedro Carrasco memberi makan burung saat bekerja di kapalnya di bendungan air rendah La Boquilla, saat Meksiko berpendapat bahwa kekeringan bersejarah yang dipicu oleh perubahan iklim membuat mustahil untuk memenuhi komitmen airnya kepada Amerika Serikat berdasarkan perjanjian tahun 1944, di San Francisco de Conchos, Meksiko, 5 April 2025. (REUTERS/Jose Luis Gonzalez)
Nelayan Meksiko Pedro Carrasco memberi makan burung saat bekerja di kapalnya di bendungan air rendah La Boquilla, saat Meksiko berpendapat bahwa kekeringan bersejarah yang dipicu oleh perubahan iklim membuat mustahil untuk memenuhi komitmen airnya kepada Amerika Serikat berdasarkan perjanjian tahun 1944, di San Francisco de Conchos, Meksiko, 5 April 2025. (REUTERS/Jose Luis Gonzalez)

Metode-metode ini masing-masing mencakup rentang waktu berbeda. Termasuk didalamnya adalah pengamatan gravitasi satelit di daratan, pengukuran kelembapan tanah melalui satelit, pengamatan kenaikan permukaan laut global, dan pengamatan variasi rotasi bumi akibat perubahan distribusi massa.

Karena air berpindah dari daratan ke laut, kutub bumi telah bergeser sekitar 45 sentimeter.

Secara keseluruhan, data dari berbagai metode ini menunjukkan satu kesimpulan penting: Penyimpanan air di bumi telah menurun tajam pada awal abad ke-21 atau sejak awal 2001.

Dari 2005 hingga 2015, pada periode saat semua metode saling tumpang tindih menunjukkan fakta yang mencengangkan yakni penyimpanan air daratan telah berkurang hampir 1,3 triliun metrik ton. Jumlah ini setara dengan kenaikan permukaan laut global hingga 3,5 milimeter.

Data satelit juga menunjukkan bahwa air yang tersimpan di tanah menurun drastis pada 2000-2002 di mana pada periode tersebut daratan bumi diperkirakan kehilangan sekitar 1,6 triliun metrik ton air.

Sebagai perbandingan, lapisan es Greenland yang mencair hanya menyumbang sekitar 900 miliar ton atau sekitar 0,8 milimeter per tahun terhadap kenaikan permukaan laut dari 2002 hingga 2006. Padahal, Greenland dianggap sebagai kontributor terbesar terhadap kenaikan permukaan laut.

Data yang sama juga menunjukkan adanya penurunan kelembapan tanah yang terus berlanjut sepanjang periode data yang tersedia, meskipun dengan laju yang lebih lambat. Data dari 2003 hingga 2016, menunjukkan adanya tambahan kehilangan air sekitar 1 triliun ton air dari tanah.

Penyebab utama kehilangan air ini adalah kenaikan suhu, baik di atmosfer maupun di lautan.

Icebergs are seen at the Disko Bay close to Ilulisat, Greenland, September 14, 2021. REUTERS/Hannibal HanschkeFoto: REUTERS/HANNIBAL HANSCHKE
Icebergs are seen at the Disko Bay close to Ilulisat, Greenland, September 14, 2021. REUTERS/Hannibal Hanschke

Kenaikan suhu rata-rata bumi dalam beberapa dekade terakhir telah mengubah pola curah hujan, sekaligus meningkatkan laju penguapan dan transpirasi atau proses pelepasan uap air dari tanaman ke atmosfer.

Lebih banyak uap air dari penguapan dan transpirasi memang bisa memicu hujan deras dalam waktu singkat, namun air tersebut tidak terserap ke tanah dan sebagian besar menjadi aliran permukaan yang langsung mengalir ke laut.

Seiring meningkatnya suhu Bumi, menurut Katharine Jacobs, ilmuwan lingkungan dari University of Arizona, area yang mengalami kekeringan akibat suhu tinggi dan perubahan curah hujan semakin luas dibandingkan area yang menerima tambahan curah hujan.

Debit air pada sungai yang mengalir pada hutan hujan tropis Amazon mengalami penyusutan. (REUTERS/Bruno Kelly)Foto: Debit air pada sungai yang mengalir pada hutan hujan tropis Amazon mengalami penyusutan. (REUTERS/Bruno Kelly)
Debit air pada sungai yang mengalir pada hutan hujan tropis Amazon mengalami penyusutan. (REUTERS/Bruno Kelly)

Selain itu, permintaan terhadap air tanah juga terus meningkat. "Sebagian besar orang yang bekerja di bidang pengelolaan air tidak menyadari hubungan antara pengambilan air tanah dan kenaikan permukaan laut, dan jika pun mereka tahu, mereka mungkin tidak menyadari bahwa perubahan itu dapat diukur dan bahkan mempengaruhi kemiringan sumbu Bumi." Ujarnya dikutip dari Scincenews.org.

Kesimpulannya, total jumlah air di tanah bumi telah terus menurun sejak pergantian abad. Dengan proyeksi suhu Bumi di masa depan, kemungkinan besar air tersebut tidak akan pulih.

Ini adalah temuan yang mengkhawatirkan, kata Benjamin Cook, ahli pemodelan iklim dari NASA Goddard Institute for Space Studies di New York.

"Segala sesuatu membutuhkan air. Jika Anda tidak punya cukup air, Anda dalam masalah."

Berkurangnya jumlah air di daratan bumi ini menjadi kabar buruk mengingat masih banyak warga dunia yang belum mendapatkan air bersih.

Data dari we are water.org menunjukkan:
1. Masih ada 703 juta orang atau 1 dari 11 orang di seluruh dunia tidak memiliki akses ke air bersih.

2. Sebanyak 2,2 miliar orang tidak memiliki akses ke layanan air minum yang dikelola dengan aman.

3. Perempuan dan anak perempuan di seluruh dunia menghabiskan sekitar 250 juta jam setiap hari untuk mengangkut air, dengan jarak rata-rata 6 kilometer (sekitar 3,7 mil) untuk membawa air seberat 20 kilogram.

4. Lebih dari 1.000 anak di bawah usia 5 tahun meninggal setiap hari akibat penyakit yang terkait dengan kekurangan air bersih, sanitasi, dan kebersihan (WASH).

5. Sebanyak 1,69 miliar orang hidup tanpa akses ke sanitasi yang layak, dan 419 juta orang masih melakukan buang air besar di ruang terbuka.

Warga mengantri untuk mengambil air dari truk saat penjatahan air di La Calera, pinggiran Bogota, Kolombia, Selasa, 16 April 2024. Di tengah kekeringan terkait pola cuaca El NiƱo, beberapa wilayah di Kolombia mengambil tindakan untuk mengambil air dari truk. membatasi konsumsi air ketika jumlah waduk terbatas. (AP Photo/Fernando Vergara)Foto: Warga mengantri untuk mengambil air dari truk saat penjatahan air di La Calera, pinggiran Bogota, Kolombia, Selasa, 16 April 2024. (AP/Fernando Vergara)
Warga mengantri untuk mengambil air dari truk saat penjatahan air di La Calera, pinggiran Bogota, Kolombia, Selasa, 16 April 2024. Di tengah kekeringan terkait pola cuaca El Niño, beberapa wilayah di Kolombia mengambil tindakan untuk mengambil air dari truk. membatasi konsumsi air ketika jumlah waduk terbatas. (AP Photo/Fernando Vergara)

Air menutupi 70% permukaan bumi sehingga banyak yang beranggapan jika air akan selalu tersedia. Namun, air tawar yang kita minum, gunakan untuk mandi, dan mengairi lahan pertanian sebenarnya sangat langka. Hanya 3% dari total air di dunia yang merupakan air tawar, dan dua pertiga dari jumlah itu berada dalam bentuk es di gletser atau tidak dapat diakses.

Akibatnya, sekitar 1,1 miliar orang di dunia tidak memiliki akses ke air bersih, dan total 2,7 miliar orang mengalami kelangkaan air setidaknya selama satu bulan dalam setahun.

Banyak sistem air yang menopang ekosistem dan populasi manusia kini dalam kondisi tertekan. Sungai, danau, dan akuifer mulai mengering atau terlalu tercemar untuk digunakan. Lebih dari setengah lahan basah dunia telah hilang. Sektor pertanian menggunakan air lebih banyak dari sektor lain, dan sebagian besar terbuang karena inefisiensi. Perubahan iklim juga memengaruhi pola cuaca dan distribusi air di seluruh dunia, menyebabkan kekeringan di beberapa wilayah dan banjir di wilayah lain.

Jika konsumsi tetap seperti sekarang, situasi ini akan semakin parah. Pada 2025, diperkirakan dua pertiga populasi dunia akan menghadapi krisis air. Dan ekosistem global akan semakin menderita.

CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]

(mae/mae)

Read Entire Article
Kabar Sehat | Legenda | Hari Raya | Pemilu |