Liputan6.com, Jakarta - Pasca Poltracking Indonesia menyatakan keluar dari Persepi (Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia), dua lembaga lainnya seperti Parameter Politik Indonesia (PPI) dan Voxpol Center Research and Consulting bersikap sama. Meski dua lembaga terakhir tak berkaitan dengan sengketa Poltracking Indonesia dengan Persepi, namun hal ini menuai beragam pertanyaan.
Guru Besar Komunikasi Politik Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Prof. Karim Suryadi memberikan catatannya terkait kekisruhan Persepi terkait Pilkada Jakarta 2024. Dia merasa aneh dengan Persepi, pasalnya jika beda hasil survei di Pilkada Jakarta dipermasalahkan, seharusnya hasil survei Pilkada Jawa Tengah juga harus dipermasalahkan, karena ada beberapa perbedaan yang signifikan.
"Kalau Jakarta itu Poltracking beda jauh dari yang lain-lain dengan memenangkan Ridwan Kamil, itu sama kasusnya dengan Jawa Tengah di mana SMRC, Kompas, LKPI itu memenangkan Andika-Hendrar. SMRC dengan Litbang Kompas tipis, tapi LKPI itu menang jauh, tapi enggak diapa-apain," kata Karim saat dikonfirmasi, Kamis (11/7/2024).
Selain itu ada juga hasil survei lain yang dilakukan LSI Denny JA, di mana hasilnya berbeda dengan tiga lembaga tersebut untuk Jateng, yang justru hasilnya memenangkan Ahmad Luthfi-Taj Yasin.
"Pertanyaannya, kalau yang jomplang itu yang menyebabkan Poltracking diperiksa, lalu mengapa LSI Denny JA tidak diperiksa? Kan sama-sama anggota Persepi. Maksud saya, saya setuju ada penegakan etik dari para polster ini," ungkap Karim.
"Kenapa? Ketika hasil survei itu diekspos, itu bukan lagi masukan dari kandidat, tapi sudah pengiringan opini. Jadi bisa menjadi gizi atau menjadi racun bagi publik," sambungnya.
Karena itu, meski tak mempermasalahan soal adanya pemeriksaan etik, Namun pemeriksa etik, dalam hal ini dewan etik juga harus netral, objektif dan tidak memihak.
“Yang menjadi pertanyaan saya bagaimana tingkat independensi dan obyektifitas dewan etik. Apakah dewan etik keanggotannya itu terbebas dari kepentingan lembaga survei atau tidak. Jadi publik bertanya-tanya, apakah murni ingin menegakan etik atau jangan-jangan rebutan kavling, rebutan lahan. Itu yang tidak baik," ungkap Prof Karim.
Keberadaan kotak kosong dalam Pilkada membawa implikasi yang signifikan bagi dinamika politik lokal. Di satu sisi, hal ini dapat mendorong pasangan calon tunggal untuk bekerja lebih keras dalam meyakinkan pemilih dan membuktikan kelayakan mereka. Di ...
Pertanyakan Kenapa hanya Jakarta?
Karena itu, dia meminta Persepi harus menjelaskan secara terbuka kepada publik. Bahwa sebagai asosiasi mereka terbebas dari kepentingan lembaga survei manapun.
"Harus jelaskan secara terbuka. Dan yang paling penting menurut saya bukan Poltracking punya dua data, bukan itu, tapi juga menjelaskan bagaimana tingkat independensi keanggotaan dewan etik dan mereka tak punya kepentingan. Mereka harus menyatakan mereka tak punya kepentingan dengan lembaga survei manapun, itu yang penting," tutur Karim.
Selain itu, Kalau bertindak adil, dewan etik Persepi harusnya tidak hanya menyidangkan beda hasil survei di Pilkada Jakarta saja, tapi juga di daerah-daerah lain yang juga mengalami hal yang sama.
"Mengapa misalnya Jakarta yang dicermati, yang Jawa Tengah tidak. Ada urusan apa? Kan sama-sama melibatkan kepentingan publik. Jangan ada tebang pilih, kemudian independensi keanggotaan dewan etik itu mutlak harus dimiliki,” pungkasnya.
*PPI dan Voxpol Center Susul Poltracking*
Sebelumnya, usai Poltracking Indonesia, Lembaga Parameter Politik Indonesia (PPI) juga menyatakan keluar dari Persepi.
Berdasarkan surat pernyataan pengunduran diri PPI yang beredar di kalangan jurnalis, PPI menyatakan mundur dari Persepi secara suka sukarela. Tidak dijelaskan lebih gamblang apakah mundurnya PPI juga terkait kisruh putusan Persepi yang memberi sanksi Poltracking terkait survei beda hasil dengan LSI.
"Kami sampaikan bahwa Parameter Politik Indonesia, menyatakan diri mundur dan keluar secara sukarela dari keanggotaan Perkumpulan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi)," demikian pernyataan melalui surat yang ditandatangani Direktur Parameter Politik Indonesia, Sadam Husen Falahuddin, Rabu (6/11/2024).
Adapun alasannya adalah restrukturisasi Kepengurusan Parameter Politik Indonesia, dan evaluasi dan konsolidasi internal arah kebijakan Parameter Politik Indonesia ke depan. Saat dikonfirmasi, peneliti senior PPI Adi Prayitno membenarkan hal tersebut.
"Iya mundur karena alasan internal PPI," jelas dia saat dikonfirmasi.
Poltracking Mundur
Adi pun menepis bahwa mundurnya PPI karena kekisruhan Persepi dengan Poltracking Indonesia.
Tak hanya PPI, surat pengunduran diri dari Persepi juga dilayangkan lembaga Voxpol Center Research and Consulting. "Melalui surat ini, kami Voxpol Center Research and Consulting menyatakan keluar dari keanggotaan Perkumpulan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi)," demikian bunyi suratnya.
Sebelumnya, sikap mundur dari Persepi juga diambil oleh Poltracking Indonesia. Mundurnya Poltracking ini usai Dewan Etik Persepi memutuskan memberi sanksi terkait beda hasil survei antara Poltracking dengan Lembaga Survei Indonesia (LSI).
"Sejak hari ini kami telah memutuskan keluar dari keanggotaan Persepi. Kami keluar dari Persepi bukan karena melanggar etik,” ucap Direktur Poltracking Indonesia, Masduri Amrawi dalam keterangan tertulisnya, Selasa (5/111/2024).
Masduri menilai, Dewan Etik Persepi tidak adil dalam memutuskan perkara perbedaan hasil antara LSI dan Poltracking. Berdasarkan rilis yang dikeluarkan Persepi terkait keputusan Dewan Etik, pada poin 1, Persepi hanya menjelaskan pemeriksaan metode dan implementasi dari LSI dapat dianalisis dengan baik. Tapi tidak dijelaskan bagaimana dan kenapa metode dan implementasinya dapat dianalisis dengan baik.
"Lebih jauh lagi hasil analisis tersebut juga tidak disampaikan ke publik. Bagi kami ini penting juga untuk disampaikan ke publik, tetapi dewan etik Persepi tidak melakukan ini," kata Masduri.