Nobel Ekonomi, Prabowonomics, dan Kesenjangan Inovasi Kita

5 hours ago 1

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

The Royal Swedish Academy of Sciences memberikan penghargaan prestisius Sveriges Riksbank tahun 2025 dalam bidang ilmu ekonomi untuk mengenang Alfred Nobel kepada tiga ekonom, yaitu Joel Mokyr dari Northwestern University, Evanston, USA, Philippe Aghion dari The London School of Economics and Political Science, UK dan Peter Howitt dari Brown University, Providence, USA.

Penghargaan yang diumumkan pada Senin (13/10/2025) pukul 16.45 WIB diberikan kepada ketiga ekonom di atas karena kontribusinya dalam menjelaskan pertumbuhan ekonomi yang digerakkan oleh inovasi (innovation-driven economic growth).

Teorinya yang memiliki pengaruh sangat kuat adalah The Theory of Sustained Growth Throught Creative Destruction (teori pertumbuhan ekonomi berkelanjutan melalui destruksi kreatif). Teori ini didasarkan pada paradigma pertumbuhan Austrian Economist, Joseph Schumpeter.

Schumpeterian growth paradigm menekankan pada inovasi sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi. Intensitas inovasi tinggi karena didukung oleh kebijakan dan institusi ekonomi berupa rule of law memberikan insentif kepada entrepreneur melakukan research and development (R&D). Terjadi proses destruksi kreatif, yaitu inovasi baru menggantikan teknologi lama.

Paradigma Baru
Ekonom Philippe Aghion dan Peter Howitt (1992) yang berbagi hadiah Sveriges Riksbank memperkenalkan paradigma baru pertumbuhan berbasis pada Schumpeterian growth pardigm. Keduanya menyatakan terdapat dua input utama dalam mendorong pertumbuhan Gross Domestic Product (GDP), yaitu akumulasi modal dan inovasi.

Di mana, inovasi baru yang menggantikan teknologi lama meningkatkan akumulasi modal dan marginal product of capital (tambahan output akibat tambahan satu unit barang modal/ MPK). Peningkatan MPK mencerminkan perubahan GDP yang besar akibat peningkatan investasi (perubahan barang modal).

Seperti sebuah siklus, mula-mula inovasi meningkatkan akumulasi modal dalam perekonomian. Pada tahap kedua, peningkatan akumulasi modal kembali mendorong inovasi lebih lanjut dan seterusnya.

Implikasinya, perusahaan memperoleh keuntungan karena efisiensi sebagai hasil dari inovasi baru. Dus, terdapat keuntungan lebih yang dapat digunakan untuk inovasi berkesinambungan melalui R&D.

Sementara ekonom Joel Mokyr dalam The Institutional Origins of the Industrial Revolution (2008) menyatakan bahwa prasyarat pertumbuhan ekonomi berkelanjutan adalah adanya aliran ilmu pengetahuan dan teknologi secara berkelanjutan ke dalam perekonomian. Tidak hanya itu, secara institusional juga harus didukung oleh kultur masyarakat yang terbuka terhadap perubahan dan ide-ide baru.

Sejarah mencatat, Inggris yang memimpin kemajuan teknologi pada periode 1760-1850 mencetak pertumbuhan ekonomi tinggi karena didukung oleh angkatan kerja berkualitas. Terdapat lapisan pekerja profesional berpendidikan dan berketerampilan tinggi serta adaptif terhadap perubahan teknologi sebagai penggerak inovasi.

Paradigma baru pertumbuhan ekonomi yang diperkenalkan oleh ketiga ekonom di atas menggantikan paradigma lama pertumbuhan neoclassic dari Robert Solow. Di mana, menurut Solow growth model, pertumbuhan GDP tergantung pada akumulasi modal yang dibiayai dari tabungan (saving).

Paradigma lama menekankan pada akumulasi modal dalam mendorong pertumbuhan GDP. Di mana, tabungan dinyatakan sebagai persentase tertentu yang konstan terhadap GDP. Tabungan (sama dengan investasi, S = I) meningkat seiring dengan peningkatan GDP.

Hingga pada titik tertentu, pertumbuhan terhenti karena depresiasi modal lebih tinggi dibandingkan penambahan tabungan. Sehingga dalam pandangan Solow, pertumbuhan ekonomi berkelanjutan hanya dapat terjadi jika didukung oleh kemajuan teknologi.

Meskipun demikian, Solow tidak menjelaskan mengenai sumber dari kemajuan teknologi dan fenomena konvergensi antara peningkatan GDP per kapita di negara berkembang dengan negara maju. Teori pertumbuhan Solow juga tidak menjelaskan transfer teknologi dari negara maju ke negara berkembang.

Prabowonomics
Penghargaan Sveriges Riksbank 2025 kepada tiga ekonom Joel Mokyr, Philippe Agion dan Peter Howitt sangat relevan dengan Prabowonomics, kebijakan ekonomi Presiden Prabowo untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dari sekitar 5,0 persen menjadi 6,0 - 8,0 persen hingga tahun 2029.

Sejalan dengan ketiga ekonom di atas, terdapat empat agenda utama yang menjadi pekerjaan rumah Presiden Prabowo, yaitu: pertama, mengadopsi prinsip Mokyr, Agion dan Howitt bahwa more innovation, more capital accumulation (lebih banyak inovasi, lebih besar akumulasi modal) dan more competition, more innovation (semakin tinggi persaingan, semakin intensif inovasi).

Hal ini sama dengan temuan World Bank (WB) di negara maju dan berkembang bahwa setiap kenaikan 10 persen pengeluaran R&D meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,2 persen dalam jangka pendek. Sementara dalam jangka panjang, kenaikan belanja R&D sebesar 10 persen meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,9 persen.

Temuan ini juga sejalan dengan strategi pemerintah China yang sedang meningkatkan pertumbuhan belanja R&D menjadi 7,0 persen per tahun. Targetnya, China menjadi pusat inovasi teknologi tinggi global pada tahun 2050.

Berdasarkan prinsip more competition, more innovation, pemerintah China melakukan liberalisasi ekonominya sejak 50 tahun lalu. Menggeser perekonomian China dari yang dikendalikan negara menjadi market ouriented. Sehingga dengan persaingan dan inovasi tinggi membuat pertumbuhan ekonomi China lebih dari 10 persen selama 33 tahun, sejak 1977 - 2010.

Kedua, memperbesar porsi tenaga kerja terampil dalam perekonomian nasional. Berdasarkan laporan WB, akibat perbedaan ketersediaan angkatan kerja terampil, hanya beberapa dari 33 negara yang mengalami pertumbuhan ekonomi di atas 10 persen dalam kurung waktu 50 tahun pada beberapa dekade lalu yang berhasil naik status menjadi negara maju.

Sebagai contoh, Jepang dan Brasil yang sama-sama tumbuh double digit selama sembilan tahun, yaitu dari 1960-1969 untuk Jepang dan Brazil tahun 1966 - 1975. Perbedaan keduanya, Jepang mengandalkan tenaga kerja terampil berpendidikan tinggi, adopsi dan adaptasi teknologi dari luar. Sementara Brazil, fokus pada reformasi keuangan dan modernisasi ekonomi.

Demikian juga dengan Korea Selatan (Korea) yang sukses bertransformasi menjadi negara maju dalam jangka waktu 50 - 60 tahun. Kisah sukses Korea karena didukung oleh konsistensi pemerintahnya menyediakan anggaran pendidikan sebesar 20 persen atau lebih dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara-nya (APBN) sejak tahun 1980-an hingga saat ini.

Pemerintah Korea mendirikan research university (universitas riset) sebagai fondasi untuk mengadopsi dan mengadaptasi teknologi baru dari negara maju. Kebijakan pendidikan Korea menciptakan keterkaitan antara sektor pendidikan, ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi.

Besarnya proporsi tenaga kerja terampil Korea membuat tingginya persentase kelas menengahnya sejak tahun 1990-an hingga saat ini, yaitu lebih dari 53 persen populasi. Lapisan kelas menengah Korea adalah pekerja profesional berpendidikan tinggi sebagai basis kegiatan inovasi untuk pertumbuhan berkelanjutan.

Kondisi ini kontras dengan Indonesia yang jumlah kelas menengahnya hanya 21,45 persen dari populasi pada tahun 2019, menjadi 19,82 persen tahun 2021, dan 17,13 persen tahun 2024. Di mana, Hukum Engel mengatakan bahwa semakin rendah pendapatan maka porsi pengeluaran untuk makanan dan minuman semakin tinggi, sementara untuk pendidikan semakin rendah.

Ketiga, meningkatkan pembiayaan R&D dalam rangka mendukung inovasi dan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Faktanya, dari 33 negara yang mampu mencapai pertumbuhan double digit lebih dari 10 tahun dalam beberapa dekade lalu, hanya Jepang, Hong Kong, Korea, Taiwan, dan Singapura yang berhasil naik kelas menjadi negara maju.

Perekonomian kelima negara di atas digerakkan oleh inovasi dengan anggaran R&D besar. Sementara, negara lainnya gagal karena pertumbuhan ekonominya hanya bertumpu pada ketersediaan Sumber Daya Alam (SDA), seperti Botswana, Azerbaijan, Iran, Nigeria dan lainnya.

Sementara, negara-negara yang mencapai status sebagai negara maju memiliki pengeluaran R&D lebih dari 2,0 persen GDP-nya. Sebagai contoh, Jepang sekitar 3,3 persen, Korea bahkan sebesar 4,93 persen, Jerman 3,14 persen, Perancis 2,22 persen, dan AS 3,46 persen pada tahun 2021.

Selanjutnya, negara yang terjebak sebagai negara berpendapatan menengah (middle income trap) memiliki pengeluaran R&D lebih kecil. Sebagai contoh, Indonesia hanya 0,42 persen tahun 2024, Vietnam 0,43 persen tahun 2021, Afrika Selatan 0,60 persen tahun 2020, India 0,65 persen tahun 2020, dan Rusia 0,94 persen tahun 2022.

Keempat, melakukan reformasi kelembagaan (institutional change) untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi berbasis inovasi, berupa rule of law, seperti penegakan hukum paten. Lemahnya penegakan hukum paten di negara berkembang menyebabkan kesenjangan pendaftaran paten antara negara maju dengan negara berkembang.

Sebagai contoh, penegakan hukum paten di China yang kuat berdampak pada jumlah pendaftaran paten oleh penduduk negara bersangkutan meningkat dari 4.305 tahun 1990 menjadi 127.042 tahun 2024. Hal ini kontras dengan Indonesia yang hanya 34 tahun 1990 menjadi 1.397 tahun 2024.

Kurangnya insentif kelembagaan (institutional insentive) bagi penduduk Indonesia untuk meneliti membuat pekerja sektor R&D sangat kecil, yaitu hanya 108.224 orang. Jumlah ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan Jepang yang mencapai 911.620 orang, China 5,269 juta orang, Australia 121.864 orang, Korea 545,435 orang, dan AS 1,614 juta orang tahun 2024

Hal ini berdampak pada mandegnya inovasi teknologi di Indonesia. Di mana skor penguasaan teknologi Indonesia hanya 5,5, jauh lebih rendah dibandingkan China 70,1, Jepang 47,4 dan AS 93,8 tahun 2024. Skor Indonesia juga lebih rendah dari Pilipina sebesar 10,9 dan Thailand 13,8 dari skor tertinggi 100 pada tahun 2024.

Akhir kata, untuk menghindari kesenjangan inovasi, rendahnya akumulasi modal dan pertumbuhan ekonomi rendah, pemerintah harus fokus pada empat agenda di atas sekaligus memberikan insentif pajak berupa tax credit dan bahkan subsidi kepada pelaku usaha yang melakukan R&D, serta mendorong penegakan hukum Paten untuk melindungi para peneliti (inovator).


(miq/miq)

Read Entire Article
Kabar Sehat | Legenda | Hari Raya | Pemilu |