Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Dinamika geoekonomi global sedang mengalami perubahan masif seiring dengan kembalinya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat yang membawa kebijakan perdagangan yang lebih agresif. Pemerintahan Trump saat ini sedang memberlakukan tarif besar-besaran, meskipun beberapa masih dalam tahap usulan.
Tarif dasar mencapai 10% untuk semua impor dari negara-negara yang tidak memiliki Perjanjian Perdagangan Bebas (FTA), sementara tarif sebesar 25%-60% dikenakan pada negara tertentu di sektor-sektor strategis seperti semikonduktor, baja, dan otomotif. Faktanya, tarif yang diberlakukan terhadap Kanada, Meksiko, dan China diperkirakan akan mencapai level tertinggi dalam sejarah sejak Perang Dunia II.
Tarif agresif dari Trump menciptakan masalah klasik Prisoner's Dilemma bagi banyak negara. Negara-negara yang terdampak langsung menghadapi dua pilihan sulit.
Perinciannya membalas dengan tarif mereka sendiri, yang berisiko memicu eskalasi ketegangan geoekonomi, atau menegosiasikan perjanjian perdagangan baru yang dapat mengorbankan keunggulan komparatif mereka demi kepentingan Amerika Serikat. Sementara itu, negara-negara yang tidak secara langsung terkena tarif tetap akan merasakan dampaknya akibat guncangan dan perombakan rantai pasok global.
Namun, di balik setiap tantangan selalu ada peluang. Jika Indonesia dapat dengan cepat menyesuaikan kebijakan perdagangan serta strategi investasinya untuk menangkap peluang dari kebijakan tarif Trump, maka Indonesia dapat memposisikan diri sebagai pusat industri berorientasi ekspor yang baru dalam rantai pasok global. Dengan demikian, Indonesia berpotensi merebut pangsa pasar yang sebelumnya dikuasai negara-negara seperti China dan Meksiko.
Pentingnya Keseimbangan antara Strategi Perdagangan dan Kebijakan Makroekonomi
Sebelum membahas lebih jauh tentang bagaimana Indonesia dapat mengambil manfaat dari dinamika perdagangan global ini, kita perlu mengingat kembali prinsip dasar makroekonomi yang sering dilupakan: savings dikurangi investasi sama dengan ekspor dikurangi impor (atau S-I = X-M).
Meningkatkan neraca perdagangan-baik dengan meningkatkan ekspor maupun mengurangi impor-tidak serta-merta meningkatkan pendapatan nasional atau PDB kecuali ada perubahan dalam perilaku savings atau investasi. Malah, jika tidak diiringi kebijakan makroekonomi, real interest rate yang akan menyesuaikan, ataupun, komponen savings maupun investasi bisa secara negatif terdampak.
Oleh karena itu, strategi investasi diiringi dengan strategi untuk menggairahkan permintaan domestik yang tepat, didasarkan pada keunggulan komparatif Indonesia yang diarahkan ke investasi sektor-sektor dengan potensi pertumbuhan jangka panjang, sangat penting agar manfaat dari surplus perdagangan dapat diterjemahkan menjadi penciptaan lapangan kerja, peningkatan pendapatan, dan produktivitas nasional yang lebih tinggi.
Sesuai dengan konsep aljabra, jika kita ingin meningkatkan variabel di sisi sebelah kiri, maka sisi sebelah kanan juga harus ditingkatkan. Begitu pula dalam perdagangan, surplus perdagangan harus dibarengi dengan strategi makroekonomi untuk meningkatkan investasi dan menggairahkan permintaan domestik.
Jika Indonesia mampu menyesuaikan variabel di kedua sisi- melalui (i) perjanjian perdagangan yang tajam dan spesifik untuk menurunkan hambatan dagang (strategi perdagangan), (ii) eksekusi teknokratis yang lincah oleh Danantara Indonesia dalam mengarahkan investasi berskala besar (strategi investasi), (iii) juga dengan penyesuaian kebijakan fiskal dan moneter untuk menggairahkan permintaan domestik-maka Indonesia berpotensi menemukan bagian penting dari solusi untuk keluar dari middle income trap.
Strategi Perdagangan: Apakah Indonesia Memiliki Keunggulan Komparatif untuk Menggarap Peluang di Sektor-Sektor yang Terdampak Tarif?
Jika kita menelaah komoditas yang terkena dampak tarif AS, terlihat bahwa pemrosesan logam, manufaktur mesin dasar, peralatan listrik, dan tekstil merupakan beberapa produk utama yang diimpor AS dari negara-negara yang terdampak tarif.
Di sisi lain, Indonesia sedang mengembangkan kapasitas di banyak industri ini, seperti pembangunan smelter alumina oleh perusahaan tambang milik negara, yaitu PT Aneka Tambang Tbk. (ANTAM).
Analisis Harvard Growth Lab juga menempatkan banyak produk manufaktur mesin, komponen elektronik, kendaraan, dan logam sebagai bagian dari lima puluh peluang ekspansi produk yang direkomendasikan untuk Indonesia dalam mengembangkan keunggulan komparatifnya.
Namun, meskipun jawabannya secara kasat mata adalah "ya," realitanya tidak sesederhana itu. Waktu dan persaingan menjadi tantangan utama. Thailand dan Vietnam telah mengambil langkah agresif untuk memposisikan diri sebagai alternatif rantai pasok bagi perusahaan yang meninggalkan China.
Thailand, misalnya, memberikan insentif pajak yang besar, pembebasan bea masuk, serta membangun infrastruktur strategis seperti Koridor Ekonomi Timur (EEC), yang berhasil menarik investasi baru senilai US$ 32 miliar-angka investasi asing tertinggi Thailand dalam satu dekade.
Sementara itu, Vietnam telah memperdalam hubungan perdagangannya dengan AS, mengamankan kesepakatan besar di sektor semikonduktor, manufaktur teknologi tinggi, dan mineral strategis, termasuk kontrak investasi senilai US$ 10 miliar dengan Boeing. Tahun lalu saja, Vietnam mencatat rekor realisasi investasi asing langsung (FDI) sebesar US$ 503 miliar.
Kabar baiknya, kebijakan tarif Trump berpotensi mengatur ulang dinamika perdagangan global. Semua negara kini berada dalam posisi siaga, menyusun strategi ulang untuk menghadapi perubahan geoekonomi yang baru ini. Oleh karena itu, Indonesia harus bertindak cepat dalam menetapkan perjanjian perdagangan baru guna menurunkan hambatan tarif dengan AS serta mengamankan pasar besar lainnya seperti Asia, Afrika, dan Uni Eropa.
Apa Saja Inisiatif Perdagangan Indonesia untuk Menurunkan Hambatan Dagang?
Di satu sisi, Indonesia dapat memperkuat kolaborasi perdagangan bilateral dan regional melalui ASEAN, RCEP (Regional Comprehensive Economic Partnership), ataupun masuk ke perjanjian dagang lainnya (seperti CPTPP), terutama dalam industri-industri strategis yang memiliki keunggulan komparatif.
Apalagi, dengan bergabungnya Indonesia ke dalam BRICS, peluang akses pasar semakin terbuka luas. Memanfaatkan kolaborasi dengan negara-negara ASEAN untuk membangun rantai pasok regional bernilai tinggi dapat menjadi strategi yang menguntungkan.
Strategi Makroekonomi atau Investasi: Bagaimana Cara Membangun Keunggulan Komparatif Indonesia Melalui Investasi Masif dan Terarah?
Di sinilah Danantara Indonesia yang baru diluncurkan berpotensi memainkan peran strategis. Dengan mandat mengelola lebih dari US$ 900 miliar, Danantara Indonesia memiliki kekuatan untuk menarik berbagai investasi asing di sektor industri berorientasi ekspor.
Dengan menganalisis lima puluh peluang ekspansi produk yang direkomendasikan oleh Harvard Growth Lab, Danantara Indonesia dapat mengarahkan investasi ke sektor-sektor prioritas yang selaras dengan strategi perdagangan Indonesia, termasuk pariwisata dan agrikultur berteknologi tinggi.
Pendekatan seperti "China plus one" dapat dipercepat melalui Danantara Indonesia dengan memberikan de-risking capital bagi sektor swasta agar dapat berinvestasi lebih agresif dan cepat.
Namun, ada satu peringatan penting: pengalaman menunjukkan bahwa banyak sovereign wealth fund di berbagai negara mengalami kegagalan akibat korupsi dan salah kelola. Oleh karena itu, Danantara Indonesia harus dikelola secara teknokratis dan transparan untuk menghindari skandal seperti 1MDB di Malaysia. Tidak boleh ada ruang untuk kompromi dalam hal tata kelola.
Tentunya, inisiatif ini perlu dibarengi dengan reformasi structural seperti sumber daya manusia, infrastruktur, dan kepastian hukum yang masih menjadi keluhan investor.
Kesimpulannya?
Keselarasan kebijakan antara Danantara Indonesia, Kementerian Keuangan, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Investasi/BKPM menjadi kunci utama dalam mengoptimalkan peluang ini. Seperti dalam prinsip makroekonomi, surplus dagang harus diarahkan ke industri yang sejalan dengan strategi investasi dan perdagangan Indonesia.
Tantangan yang dihadapi memang kompleks. Rantai pasokan global sedang dikalibrasi ulang, aliran modal bergeser, dan aliansi perdagangan mengalami restrukturisasi.
Di dalam negeri, Indonesia masih menghadapi berbagai dilema kebijakan serta guncangan sosial-politik. Peluang Indonesia untuk keluar dari middle income trap semakin menyempit. Ini adalah kesempatan di tengah kesempitan.
Indonesia membutuhkan kepemimpinan yang mampu mengorkestrasi dan mengkalibrasi dengan cermat kebijakan perdagangan disamping kebijakan makroekonomi dengan presisi seorang maestro yang sedang memimpin simfoni ekonomi nasional.
(miq/miq)