Perang Saudara Bunuh 2.000 Orang, Negara Arab Ini Disebut Terlibat

8 hours ago 1

Jakarta, CNBC Indonesia - Perang saudara di Sudan menyeret salah satu negara Arab. Negara itu adalah Uni Emirat Arab (UEA).

UEA disebut terlibat dan membantu kelompok paramiliter Pasukan Dukungan Cepat (RSF) dalam perang saudara yang sedang berlangsung. Hal ini dikatakan Duta Besar Sudan untuk Mesir, Imadeldin Mustafa Adawi.

"Pemerintah Sudan menyerukan kepada masyarakat internasional untuk bertindak segera dan efektif, alih-alih hanya mengeluarkan pernyataan kecaman," kata Adawi kepada wartawan dalam konferensi pers di ibu kota Mesir, Kairo, dimuat Al-Jazeera, Senin (3/11/2025).

Ia mendesak dunia untuk menetapkan RSF sebagai organisasi "teroris". Ia pun meminta dunia internasional mengutuk RSF "atas tindakan pembantaian yang merupakan genosida".

"Termasuk mengecam pemodal dan pendukung resmi regionalnya, Uni Emirat Arab," tambahnya.

Karenanya, Sudan tidak akan berpartisipasi dalam perundingan yang dipimpin oleh Mesir, Arab Saudi, Amerika Serikat (AS) dan UEA untuk mengakhiri konflik. Masuknya UEA sebagai mediator menjadi penyebabnya.

"Kami tidak menganggap mereka (UEA) sebagai mediator dan seseorang yang dapat diandalkan dalam masalah ini," tegas Adawi.

UEA sendiri membantah tuduhan bahwa mereka memasok senjata kepada RSF.

Warga Sudan yang terusir berkumpul dan duduk di tenda-tenda darurat setelah melarikan diri dari kota Al-Fashir di Darfur, di Tawila, Sudan, 29 Oktober 2025. (REUTERS/Mohamed Jamal)Foto: Warga Sudan yang terusir berkumpul dan duduk di tenda-tenda darurat setelah melarikan diri dari kota Al-Fashir di Darfur, di Tawila, Sudan, 29 Oktober 2025. (REUTERS/Mohamed Jamal)

Dalam sebuah forum di ibu kota Bahrain, Manama, seorang penasihat Presiden UEA mengatakan bahwa negara Teluk tersebut ingin membantu mengakhiri perang dan mengakui bahwa kekuatan regional serta internasional seharusnya dapat berbuat lebih banyak untuk mencegah konflik di Sudan.

"Kita semua melakukan kesalahan, ketika dua jenderal yang berperang dalam perang saudara hari ini menggulingkan pemerintahan sipil. Menurut saya, jika dipikir-pikir kembali, itu adalah kesalahan fatal," kata Anwar Gargash.

UEA sebelumnya bersama Mesir, Arab Saudi, dan AS, mengutuk pembunuhan massal tersebut. Negara-negara itu menyerukan peningkatan bantuan kemanusiaan.

Perlu diketahui, komentar Adawi menyusul pernyataan sebelumnya dari Perdana Menteri (PM) Sudan Kamil Idris. Kepada surat kabar Swiss Blick, ia mengatakan RSF harus diadili di pengadilan internasional.

Namun Kamil menolak gagasan pengerahan pasukan asing ke negaranya. Perlu diketahui, perang saudara antara RSF dan tentara Sudan terjadi sejak April 2023.

Warga Sudan yang terusir berkumpul dan duduk di tenda-tenda darurat setelah melarikan diri dari kota Al-Fashir di Darfur, di Tawila, Sudan, 29 Oktober 2025. (REUTERS/Mohamed Jamal)Foto: Warga Sudan yang terusir berkumpul dan duduk di tenda-tenda darurat setelah melarikan diri dari kota Al-Fashir di Darfur, di Tawila, Sudan, 29 Oktober 2025. (REUTERS/Mohamed Jamal)

Pernyataan Adawi juga muncul seminggu setelah RSF merebut ibu kota Darfur Utara, el-Fasher, setelah pengepungan dan kampanye kelaparan selama 18 bulan. Hal tersebut telah mengakibatkan ribuan warga sipil tewas.

Kota itu merupakan benteng terakhir tentara Sudan di wilayah tersebut. Beberapa hari setelah direbut, para penyintas telah melaporkan eksekusi massal, penjarahan, pemerkosaan, dan kekejaman lainnya, yang memicu kecaman internasional.

Pemerintah Sudan mengatakan bahwa setidaknya 2.000 orang tewas, tetapi para saksi mengatakan jumlah sebenarnya bisa jauh lebih tinggi. Puluhan ribu warga sipil diyakini masih terjebak di kota tersebut.

Adam Yahya, salah satu warga yang melarikan diri bersama empat anaknya, mengatakan bahwa istrinya tewas dalam serangan pesawat tak berawak RSF sesaat sebelum el-Fasher jatuh. Ia mengatakan bahwa mereka hampir tidak punya waktu untuk berduka karena serangan kelompok paramiliter tersebut.

"Jalanan penuh dengan mayat. Kami sampai di salah satu penghalang pasir yang didirikan oleh RSF," ujarnya.

"Mereka menembaki orang-orang, pria, wanita, dan anak-anak, dengan senapan mesin. Saya mendengar seseorang berteriak, 'Bunuh mereka semua, jangan biarkan seorang pun hidup'," kenang Yahya.

"Kami berlari kembali dan bersembunyi. Malam harinya, saya perlahan-lahan menyelinap keluar bersama anak-anak saya dan melewati penghalang. Kami berjalan ke sebuah desa, di mana seseorang mengasihani kami dan memberi kami tumpangan ke kamp di sini."

Seorang perempuan berusia 45 tahun lainnya di kamp pengungsian Al Dabbah di Negara Bagian Sudan Utara mengatakan bahwa anggota RSF telah melakukan kekerasan seksual terhadapnya. Perempuan itu, mengatakan ia meninggalkan putri-putrinya di rumah ketika RSF merebut markas tentara pada hari Minggu dan pergi mencari putra-putranya.

"RSF bertanya ke mana saya akan pergi, dan saya memberi tahu mereka bahwa saya sedang mencari putra-putra saya," katanya.

"Mereka memaksa saya masuk ke sebuah rumah dan mulai melakukan kekerasan seksual terhadap saya. Saya memberi tahu mereka bahwa saya sudah cukup umur untuk menjadi ibu mereka. Saya menangis," ujarnya lagi.

"Mereka kemudian melepaskan saya, dan saya membawa putri-putri saya dan melarikan diri, meninggalkan putra-putra saya. Saya tidak tahu di mana mereka sekarang," katanya.

"Kami hanya melarikan diri dan berlari melewati mayat-mayat hingga kami melewati pembatas dan mencapai sebuah desa kecil di luar el-Fasher."


(sef/sef)
[Gambas:Video CNBC]

Next Article Ngeri! Perang Saudara Picu Pembantaian Massal di Sini, 300 Orang Tewas

Read Entire Article
Kabar Sehat | Legenda | Hari Raya | Pemilu |