Jakarta, CNBC Indonesia - Aksi unjuk rasa nelayan menggema di sejumlah daerah. Mereka ramai-ramai menolak aturan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang mewajibkan penggunaan Vessel Monitoring System (VMS) atau perangkat monitoring sistem berbasis sinyal di kapal-kapal mereka. Alasannya sederhana, karena biaya. Para nelayan merasa sudah cukup terbebani dengan pajak dan biaya operasional melaut mereka, dan menilai pemasangan VMS adalah beban tambahan yang tak ringan.
Merespons hal itu, Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (Dirjen PSDKP) KKP, Pung Nugroho Saksono atau yang akrab disapa Ipunk menjelaskan, para nelayan itu sebenarnya sudah mendapatkan dukungan besar lewat subsidi bahan bakar minyak (BBM) dari Pertamina, dan nominalnya pun tidak kecil.
"Pemerintah itu sudah memberikan subsidi BBM. Setiap kapal melaut, itu kita subsidi BBM-nya, dan tidak murah," kata Ipunk saat ditemui di kantornya, Rabu (16/4/2025).
Dia menyebutkan, dalam satu kali trip melaut, yang bisa berlangsung dari beberapa hari hingga sebulan, subsidi BBM yang diterima satu kapal bisa mencapai Rp20 juta.
"Itu baru satu trip. Dan kapal bisa melaut berkali-kali dalam setahun. Artinya, nilai subsidi BBM itu jauh lebih besar dibanding biaya untuk pasang VMS," jelasnya.
Sebagai perbandingan, harga perangkat VMS yang diwajibkan pemerintah hanya sekitar Rp5 juta hingga Rp9,9 juta. Ditambah biaya airtime atau langganan sinyal tahunan sebesar Rp4,5 juta. Sehingga totalnya, jika nelayan tersebut memakai perangkat VMS termurah, biaya yang dikeluarkan hanya sekitar Rp10 juta setahun, di tahun berikutnya hanya tinggal bayar biaya airtime.
Sementara subsidi BBM yang diberikan pemerintah untuk satu kali melaut bisa mencapai Rp20 juta per kapal, bahkan lebih.
"Ini kadang-kadang di lapangan enggak disampaikan. Maunya orang untung terus. Kesadaran masyarakat ikut menjaga laut itu yang penting," ucap dia.
VMS sendiri adalah perangkat pemantau berbasis sinyal yang berguna untuk melacak posisi kapal di laut. Hal ini merupakan upaya penting demi keberlanjutan pengelolaan laut. Namun, bagi sebagian nelayan kecil, terutama pemilik kapal di bawah 30 GT, kewajiban ini dinilai terlalu memberatkan. Mereka meminta keringanan, bahkan perpanjangan tenggat waktu pemasangan.
"Dulu 2023 minta relaksasi ke 2024. Sekarang minta lagi ke 2025. Alasannya 'Pak, kami belum siap. Saya enggak mampu.' Tapi coba bayangkan, seandainya mereka nabung Rp500 ribu sebulan dari dulu, pasti sudah bisa beli. Ini cuma karena tidak mau saja. Tidak mau terawasi," tegas Ipunk.
Lebih lanjut, Ipunk menjelaskan urgensi pemasangan VMS ini lantaran banyak kapal yang seharusnya menangkap ikan di wilayah 12 mil ke atas, karena sudah memegang izin wilayah kewenangan pusat, malah menyelinap ke wilayah kewenangan daerah atau ke wilayah 0-12 mil. Di situlah, VMS akan jadi penyambung mata bagi pengawasan laut.
"Nanti ketahuan, kalau dia masuk lagi ke wilayah di bawah 12 mil, ya itu pelanggaran. Nah itu yang mereka hindari sebenarnya. Takut ketahuan," jelasnya lagi.
Lalu, saat ditanya bagaimana soal opsi insentif atau perubahan skema subsidi agar nelayan bisa terbantu dalam beli VMS?
"Soal subsidi BBM itu bukan wilayah kami. Itu ranahnya Pertamina. Saya enggak bisa campuri. Tapi logikanya, kalau sudah dapat untung dari satu sisi, ya legowo dikurangi sedikit buat biaya pengawasan. Ini sekali trip saja sudah cukup buat lunasi harga VMS," jawab Ipunk.
Sebelumnya, seperti dilansir detikBali, ratusan nelayan di Lombok Timur berdemonstrasi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Nusa Tenggara Barat (NTB). Mereka menolak pemasangan vessel monitoring system (VMS) pada kapal-kapal mereka.
Ketua Forum Nelayan Lombok (Fornel), Rusdi Ariobo, mengatakan seluruh nelayan di Lombok Timur menolak pemasangan VMS pada kapal karena biaya dan operasionalnya mahal. Walhasil, pemasangan VMS sangat memberatkan nelayan kecil.
"Kami anggap teknologi ini lebih relevan untuk kapal besar, sedangkan kapal nelayan kecil tidak memiliki potensi pelanggaran yang signifikan," ujar Rusdi di depan gedung DPRD NTB, Kamis (16/1/2025).
Foto: Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (Dirjen PSDKP) KKP, Pung Nugroho Saksono (Ipunk) saat ditemui di kantornya, Rabu (16/4/2025). (CNBC Indonesia/Martyasari Rizky)
Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (Dirjen PSDKP) KKP, Pung Nugroho Saksono (Ipunk) saat ditemui di kantornya, Rabu (16/4/2025). (CNBC Indonesia/Martyasari Rizky)
(dce)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Tarif Trump Ancam Ekspor Tekstil Hingga Udang RI
Next Article Penelitian Unpad Ungkap 2 Aturan Soal Lobster Ini Untungkan Nelayan