Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) cukup impresif beberapa hari terakhir. Apresiasi rupiah ini tidak menutup kemungkinan berlanjut ke level yang lebih kuat lagi.
Dilansir dari Refinitiv, pada awal perdagangan 6 Maret 2025, rupiah sempat berada di level Rp16.250/US$ yang merupakan posisi terkuat sejak 17 Februari 2025 atau sekitar dua minggu terakhir.
Nilai tukar rupiah dengan cepat menguat Rp 325/US$ dalam empat hari terakhir.
Hal menarik lainnya yakni rupiah tampil menakjubkan karena hanya dalam kurun waktu empat hari, rupiah mampu menguat lebih dari 300 poin yakni dari Rp16.575/US$ pada 28 Februari 2025 menjadi Rp16.250/US$ pada awal perdagangan 6 Maret 2025.
Apresiasi yang terjadi pada rupiah ini tak lepas dari indeks dolar AS (DXY) yang mengalami pelemahan sejak 3 Maret 2025. Per 5 Maret 2025, DXY terpantau berada di posisi 104,3 atau merupakan yang terendah sejak 5 November 2024 (empat bulan terakhir).
Sinyal Buruk Kebijakan Trump Bagi AS Mulai Terlihat
Tanda pelemahan ekonomi AS mulai kencang dan dapat dideteksi dari beberapa indikator yang mulai mengalami kemunduran bulan demi bulan. Berikut ini tiga sinyal yang menunjukkan bahwa ekonomi AS dalam bahaya.
1. Proyeksi PDB AS Kuartal I-2025 yang Suram
Model GDPNow dari Federal Reserve Atlanta kini memproyeksikan penurunan 2,8% dalam PDB untuk kuartal pertama. Meskipun masih terlalu dini untuk memastikan apakah PDB benar-benar akan negatif, ini merupakan penurunan tajam dari proyeksi pertumbuhan sebelumnya sebesar 2,3%.
Proyeksi tersebut pertama kali berubah negatif menjadi -1,5% pada Jumat, setelah memperhitungkan penurunan belanja konsumen yang dilaporkan dalam Personal Consumption Expenditures (PCE) bulan Januari. Mengingat belanja konsumen menyumbang sekitar dua pertiga dari ekonomi AS, penurunan dalam kategori ini bisa berdampak besar pada PDB.
Foto: Atlanta Fed GDPNow
Sumber: FED Atlanta
2. Kurva Imbal Hasil Terbalik
Munculnya sinyal resesi di AS terjadi setelah imbal hasil dari pasar obligasi antara tenor panjang 10 tahun berada di bawah dibandingkan obligasi tenor pendek 3 bulan.
Pada perdagangan Rabu, imbal hasil obligasi Treasury 10 tahun turun di bawah obligasi 3 bulan, menciptakan apa yang dikenal sebagai "inverted yield curve" atau kurva imbal hasil terbalik. Fenomena ini memiliki rekam jejak akurat dalam memprediksi resesi dalam rentang waktu 12 hingga 18 bulan selama beberapa dekade terakhir.
Bahkan, Federal Reserve New York menganggapnya sebagai indikator yang sangat andal, sehingga mereka secara rutin memperbarui hubungan ini setiap bulan dan memberikan perkiraan peluang resesi dalam 12 bulan ke depan.
Foto: Imbal Hasil UST tenor 3 bulan dan 10 tahun (%)
Sumber: TV
3. Inflasi AS Makin Tinggi
Tingkat inflasi tahunan di AS naik menjadi 3% pada Januari 2025, dibandingkan dengan 2,9% pada Desember 2024, dan lebih tinggi dari perkiraan pasar sebesar 2,9%, menunjukkan kemacetan dalam upaya meredam inflasi.
Secara bulanan, inflasi naik 0,5%, lebih tinggi dari 0,4% pada bulan sebelumnya, serta melebihi ekspektasi pasar yang memperkirakan perlambatan ke 0,3%. Indeks perumahan naik 0,4%, berkontribusi sekitar 30% dari total kenaikan.
Sementara itu, inflasi inti tahunan naik tak terduga menjadi 3,3%, dibandingkan perkiraan pasar yang memperkirakan penurunan ke 3,1%. Inflasi inti bulanan juga naik lebih dari ekspektasi menjadi 0,4%.
Dengan tingginya inflasi AS ini, maka bank sentral AS (The Fed) akan kesulitan untuk memangkas suku bunganya atau dengan kata lain, Fed Fund Rate (FFR) berpotensi berada di level yang cukup tinggi setidaknya dalam waktu dekat.
Apabila hal ini terus terjadi, maka perekonomian AS akan kesulitan untuk tumbuh.
DXY Terpuruk, Rupiah Membaik
Sinyal-sinyal negatif yang terlihat di AS belakangan ini membuat DXY semakin tertekan dan rupiah tampak mengalami perbaikan.
Ekonom Bank Danamon, Hosianna Situmorang menyampaikan bahwa pelemahan dolar AS ke level 104, terendah dalam empat bulan, terjadi di tengah ketidakpastian akibat kebijakan tarif Presiden AS, Donald Trump terhadap China, Kanada, dan Meksiko.
Trump memang memberikan pengecualian selama satu bulan bagi industri otomotif AS dari tarif 25% terhadap Kanada dan Meksiko serta membuka peluang negosiasi lebih lanjut. Namun, kebijakan tarif baru terhadap tiga negara tersebut telah memicu retaliasi, meningkatkan risiko perang dagang yang berkepanjangan dan berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi AS, sehingga menekan nilai tukar dolar.
Selain itu, data tenaga kerja AS yang lemah semakin membebani dolar. Laporan ADP menunjukkan hanya 77 ribu pekerjaan bertambah pada Februari, terendah dalam tujuh bulan.
Jika data ketenagakerjaan resmi yang dirilis Jumat nanti juga mengecewakan, pasar bisa semakin yakin bahwa The Fed akan memangkas suku bunga lebih cepat guna mendukung ekonomi. Ekspektasi kebijakan moneter yang lebih longgar ini semakin mempercepat pelemahan dolar AS terhadap mata uang lainnya, termasuk rupiah," ujar Hosianna, kepada CNBC Indonesia.
Sedangkan Head of Macroenomic Research BCA, Barra Kukuh Mamia mengatakan soal kekhawatiran AS yang akan resesi diikuti dengan kebijakan tarif yang berpotensi memperlambat ekonomi, membuat dolar AS terkoreksi.
Selain itu, Chief FX Strategist Sumitomo Mitsui Banking Corp., Hirofumi Suzuki, menyampaikan kepada CNBC Indonesia bahwa dengan adanya berita peningkatan belanja pertahanan Jerman, telah terjadi pelonggaran jangka pendek euro short, yang menyebabkan melemahnya dolar AS. Rupiah Indonesia (IDR) stabil didukung oleh aksi jual dolar AS.
"Ada kemungkinan tren pelemahan dolar akan berlanjut untuk sementara waktu. Mengingat situasi saat ini, dolar mungkin akan melemah sekitar 5%, menjadikan nilai tukar IDR di bawah 16.000," kata Hirofumi.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(rev/rev)