Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dibuka menguat pada awal perdagangan hari ini, Rabu (21/5/2025), usai terkoreksi dan mengakhiri reli panjang pada perdagangan kemarin.
IHSG dibuka naik 0,28% atau menguat 20,1 poin ke level 7.114,70 Sebanyak 203 saham naik, 52 turun, dan 271 tidak bergerak. Nilai transaksi mencapai Rp 277 miliar pagi ini yang melibatkan 258 juta saham dalam 19.592 kali transaksi.
Sementara itu, pasar saham Asia-Pasifik dibuka menguat pada Rabu (21/5/2025) meskipun reli Wall Street selama enam terhenti. Sentimen pasar Asia hari ini ditopang oleh antisipasi data ekonomi kawasan dan potensi perubahan kebijakan moneter di Indonesia.
Indeks Nikkei 225 Jepang naik 0,26% sementara Topix menguat 0,45%. Di Korea Selatan, Kospi menguat 0,58% dan Kosdaq yang berkapitalisasi kecil melonjak 0,95%.
Indeks acuan Australia, S&P/ASX 200, ditutup naik 0,43% seiring optimisme regional. Sementara itu, kontrak berjangka indeks Hang Seng Hong Kong berada di posisi 23.632, lebih rendah dari penutupan sebelumnya di 23.681,48.
Investor juga tengah mencermati data ekspor Jepang yang kembali melambat untuk bulan kedua berturut-turut. Pelemahan ini disebut terjadi di tengah tekanan dari kebijakan tarif Presiden AS Donald Trump yang masih membebani perekonomian Jepang.
Sentimen pasar keuangan Tanah Air pada hari ini akan terfokus dari internal terkait hasil keputusan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI), serta mencermati efek dari dokumen- dokumen KEM PPKF atau Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal untuk 2026.
Sementara itu, dari eksternal ada kabar positif dari penurunan suku bunga pinjaman China yang mendukung pemulihan ekonomi tirai Bambu itu, tetapi pasar masih mencermati kenaikan yield US Treasury yang kemudian merembet sampai yield obligasi jangka panjang Jepang usai Moody's menurunkan peringkat kredit AS.
Pelaku pasar juga patut mengantisipasi posisi IHSG di resistance dan reli panjang yang sudah diakhiri koreksi kemarin potensi memicu taking profit berlanjut.
Penantian Hasil Suku Bunga BI dan Penyaluran Kredit Bank
Fokus pasar hari ini akan langsung tertuju pada hasil Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (RDG BI) yang diselenggarakan pada Selasa dan Rabu pekan ini (22-23 April 2025).
Salah satu yang menjadi perhatian yakni suku bunga (BI rate) di tengah ketidakpastian global saat ini. Sebelumnya, BI rate ditahan pada April 2025 di level 5,75%. Hal ini sesuai dengan proyeksi dari berbagai lembaga/institusi.
Konsensus CNBC Indonesia yang dihimpun dari 20 lembaga/institusi secara labil memberikan proyeksi bahwa 50% BI akan menahan suku bunganya di level 5,75%. Sedangkan sisanya atau sebanyak 10 institusi memperkirakan bahwa BI akan menurunkan suku bunganya ke 5,50%.
Pemaparan Kerangka Ekonomi Makro dan Kebijakan Fiskal RI
Sentimen lainnya yang akan mempengaruhi pasar pada hari ini selanjutnya adalah pemaparan kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal yang sudah disampaikan kemarin.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, mewakili pemerintah menyampaikan pokok pokok kebijakan fiskal dan asumsi ekonomi makro.
Pemerintah menyampaikan kepada DPR atas target ekonomi makro dan postur awal APBN 2026, antara lain; pertumbuhan ekonomi 5,2-5,8%, inflasi 1,5-3,5%, nilai tukar 16.500-16.900, suku bunga SBN 6,6-7,2, ICP 60-80/USD, lifting minyak bumi 600-605 ribu barel/hari, lifting gas bumi 953-1017 setara ribu barel/hari.
Adapun perkiraan postur APBN 2026, pendapatan negara 11,7-12,2% PDB, belanja negara 14,19-14,75% PDB, defisit APBN 2,48-2,53% PDB. Sedangkan target kesejahteraan, tingkat kemiskinan di kisaran 6,5-7,5%, tingkat pengangguran 4,44 -4,96%, gini rasio 0,377 - 0,380, dan Indeks Modal Manusia 0,57.
Australia dan China Pangkas Suku Bunga
Dari eksternal, kita mendapatkan kabar baik dari bank sentral Australia dan China yang kemarin menurunkan suku bunga.
Penurunan suku bunga ini memberikan dampak positif bagi pinjaman jangka panjang seperti KPR atau pembiayaan investasi yang besar karena cicilan atau ongkos pinjaman akan bertahap turun. Hal ini juga diharapkan semakin mendorong pemulihan ekonomi China yang sebelumnya loyo akibat krisis properti dan deflasi yang berlarut-larut.
People's Bank of China (PBOC) memangkas suku bunga pinjaman acuannya (Loan Prime Rate/LPR) pada Selasa, seiring menguatnya yuan dan meredanya ketegangan perdagangan yang memberikan ruang bagi pelonggaran moneter guna mendorong pemulihan ekonomi.
-
LPR tenor 1 tahun dipangkas menjadi 3,0% dari sebelumnya 3,1%
-
LPR tenor 5 tahun diturunkan menjadi 3,5% dari 3,6%
Ini adalah pemangkasan suku bunga pertama sejak penurunan sebesar 25 basis poin pada bulan Oktober, mencerminkan langkah Beijing yang semakin agresif dalam mendukung pertumbuhan ekonomi domestik.
Suku bunga LPR - yang biasanya diberikan kepada klien terbaik perbankan - dihitung setiap bulan berdasarkan proposal suku bunga dari bank-bank komersial yang ditunjuk dan dikirimkan ke PBOC.
-
LPR 1 tahun memengaruhi pinjaman korporasi dan konsumsi rumah tangga
-
LPR 5 tahun menjadi acuan utama untuk suku bunga KPR (kredit pemilikan rumah)
Langkah pemangkasan LPR ini mengikuti langkah sejumlah bank komersial besar milik negara yang sebelumnya pada Selasa memangkas suku bunga simpanan hingga 25 basis poin guna melindungi margin bunga bersih mereka. Ini membuka jalan bagi penurunan suku bunga kredit oleh PBOC.
Sementara itu, Reserve Bank of Australia (RBA) memangkas suku bunga acuannya sebesar 25 basis poin menjadi 3,85%, level terendah sejak Mei 2023, karena kekhawatiran terhadap inflasi domestik terus mereda, memberi ruang bagi pelonggaran kebijakan moneter.
RBA menyatakan bahwa risiko kenaikan inflasi telah berkurang secara substansial, namun ketidakpastian terkait kebijakan perdagangan global masih akan membebani prospek pertumbuhan ekonomi.
Namun, bank sentral memperingatkan bahwa konsumsi rumah tangga kemungkinan akan pulih lebih lambat dari perkiraan, yang dapat menahan pertumbuhan permintaan secara keseluruhan dan memperburuk kondisi pasar tenaga kerja.
Menurut Abhijit Surya, ekonom senior kawasan Asia-Pasifik di Capital Economics, ada peluang besar bahwa RBA akan memangkas suku bunga lebih jauh dibandingkan proyeksi saat ini dalam siklus pelonggaran ini.
Namun, Surya juga berpendapat bahwa RBA kemungkinan melebih-lebihkan dampak negatif dari ketegangan perdagangan global terhadap ekonomi Australia.
Yield UST Masih Naik - Imbal Hasil Obligasi Jepang Cetak Rekor
Di sisi lain, tantangan yang bisa mempengaruhi volatilitas pasar masih datang dari kenaikan yield obligasi acuan Amerika Serikat (AS) tenor 10 tahun atau US Treasury usai Moody's menurunkan peringkat kredit.
Hal ini ternyata juga merembet pada yield obligasi jangka panjang Jepang. Pada kemarin, untuk tenor 30 tahun melonjak ke level tertinggi sepanjang masa, sebesar 3,15%.Sementara untuk tenor 10 tahun terbang ke posisi 1,52%.
Selama bertahun-tahun, Jepang dikenal sebagai negara suku bunga ultra rendah. Saat ini, mereka menghadapi inflasi tinggi, perubahan prospek kebijakan fiskal, dan rasio utang yang besar sampai 260% terhadap PDB.
Selain itu, Jepang memegang utang AS senilai US$ 1,1 triliun, menjadikannya sebagai pemegang terbesar UST.
Jika investor menarik dananya dari obligasi Jepang, pasar lain bisa terdampak dengan naiknya biaya pinjaman. Ini mencakup negara maju maupun pasar negara berkembang yang rentan dan bergantung pada arus modal yang stabil.
Sebaliknya, jika yield terus naik dan investor asing berbondong-bondong masuk ke aset Jepang, nilai tukar yen bisa menguat dengan cepat.
Shinichi Uchida, wakil gubernur Bank of Japan, mengatakan kepada parlemen Jepang bahwa bank sentral akan menaikkan suku bunga lagi jika perekonomian mulai pulih dari guncangan yang disebabkan oleh tarif baru Amerika Serikat di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump.
(fsd/fsd)
Saksikan video di bawah ini:
Video: IHSG Melesat, Berhasil Sentuh Level 7.000
Next Article IHSG Gagal Lagi Balik ke 7.100, Sektor Ini Biang Keroknya