Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah terpantau dibuka menguat pada perdagangan akhir pekan ini, Jumat (7/3/2025) seiring dengan tekanan ekonomi negeri Paman Sam yang mulai goyang.
Merujuk data Refinitiv, rupiah dibuka menguat 0,03% ke posisi Rp16.320/US$ pada perdagangan Jumat ini. Penguatan ini jika bertahan sampai akhir sesi potensi mempertahankan zona apresiasi mingguan sekitar 1,5%.
Apresiasi yang terjadi pada rupiah ini tak lepas dari indeks dolar AS (DXY) yang mengalami pelemahan sejak 3 Maret 2025. Per 5 Maret 2025, DXY terpantau berada di posisi 104,3 atau merupakan yang terendah sejak 5 November 2024 (empat bulan terakhir).
Sinyal-sinyal negatif yang terlihat di AS belakangan ini membuat DXY semakin tertekan dan rupiah tampak mengalami perbaikan.
Ekonom Bank Danamon, Hosianna Situmorang menyampaikan bahwa pelemahan dolar AS ke level 104, terendah dalam empat bulan, terjadi di tengah ketidakpastian akibat kebijakan tarif Presiden AS, Donald Trump terhadap China, Kanada, dan Meksiko.
Trump memang memberikan pengecualian selama satu bulan bagi industri otomotif AS dari tarif 25% terhadap Kanada dan Meksiko serta membuka peluang negosiasi lebih lanjut. Namun, kebijakan tarif baru terhadap tiga negara tersebut telah memicu retaliasi, meningkatkan risiko perang dagang yang berkepanjangan dan berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi AS, sehingga menekan nilai tukar dolar.
Selain itu, data tenaga kerja AS yang lemah semakin membebani dolar. Laporan ADP menunjukkan hanya 77 ribu pekerjaan bertambah pada Februari, terendah dalam tujuh bulan.
Jika data ketenagakerjaan resmi yang dirilis Jumat nanti malam juga mengecewakan, pasar bisa semakin yakin bahwa The Fed akan memangkas suku bunga lebih cepat guna mendukung ekonomi. Ekspektasi kebijakan moneter yang lebih longgar ini semakin mempercepat pelemahan dolar AS terhadap mata uang lainnya, termasuk rupiah," ujar Hosianna, kepada CNBC Indonesia.
Sedangkan Head of Macroenomic Research BCA, Barra Kukuh Mamia mengatakan soal kekhawatiran AS yang akan resesi diikuti dengan kebijakan tarif yang berpotensi memperlambat ekonomi, membuat dolar AS terkoreksi.
Selain itu, Chief FX Strategist Sumitomo Mitsui Banking Corp., Hirofumi Suzuki, menyampaikan kepada CNBC Indonesia bahwa dengan adanya berita peningkatan belanja pertahanan Jerman, telah terjadi pelonggaran jangka pendek euro short, yang menyebabkan melemahnya dolar AS. Rupiah Indonesia (IDR) stabil didukung oleh aksi jual dolar AS.
"Ada kemungkinan tren pelemahan dolar akan berlanjut untuk sementara waktu. Mengingat situasi saat ini, dolar mungkin akan melemah sekitar 5%, menjadikan nilai tukar IDR di bawah 16.000," kata Hirofumi.
Sementara dari dalam negeri, pada pagi hari ini, Bank Indonesia (BI) akan merilis data cadangan devisa (cadev) untuk periode Februari 2025. Sebagai catatan, rupiah hancur lebur pada Februari bulan lalu dengan melemah 1,69% dalam sebulan atau terdalam sejak April 2024.
Menarik disimak seberapa besar cadev akan terkuras untuk operasi moneter.
Sebelumnya, data cadev RI pada Januari 2025 meningkat ke rekor tertinggi baru sebesar US$ 156,1 miliar pada Januari 2025, naik dari US$ 155,7 miliar pada bulan sebelumnya. Peningkatan ini didukung oleh penerbitan obligasi global pemerintah serta pendapatan dari pajak dan jasa, seiring dengan kebijakan stabilisasi Rupiah dalam merespons ketidakpastian keuangan global.
Cadangan devisa tersebut cukup untuk membiayai 6,7 bulan impor atau 6,5 bulan impor dan pembayaran utang, jauh di atas standar kecukupan internasional yang sekitar 3 bulan. Bank Indonesia menilai cadangan devisa ini memadai untuk mendukung ketahanan sektor eksternal, dengan prospek ekspor yang tetap positif serta neraca transaksi modal dan keuangan yang diperkirakan terus mencatat surplus.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(tsn/tsn)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Rupiah Anjlok ke 16.575 per USD, Terparah Sepanjang Sejarah
Next Article Pasar Tunggu Inflasi AS, Rupiah Ditutup Ambruk Lagi!