Kejayaan Apple Runtuh Seketika, Ini Penyebab Raksasa AS Babak Belur

12 hours ago 3
Daftar Isi

Jakarta, CNBC Indonesia - Apple harus menghadapi banyak masalah dalam waktu bersamaan. Tak cuma penjualannya yang terus merosot di China, perang dagang AS-China juga membuat posisi Apple tertekan.

Di tengah cobaan bertubi-tubi tersebut, Apple juga harus menghadapi sanksi denda karena melanggar aturan di Uni Eropa.

Terbaru pengadilan AS turut menyebut Apple melanggar perintah yang mengizinkan persaingan untuk pengunduhan dan metode pembayaran di toko aplikasinya.

Masalah ini terkait perintah pengadilan yang dijatuhkan dalam persidangan dengan Epic Games. Pemilik Fortnite menuding Apple menghambat persaingan dan membebankan komisi berlebihan untuk pembelian dalam aplikasi.

"Upaya Apple terus mengganggu persaingan tidak akan ditoleransi," kata Hakim Distrik AS, Yvonne Gonzales Rogers dikutip dari Reuters, Jumat (2/5/2025).

"Ini perintah pengadilan bukan negosiasi. Tidak ada kesempatan mengulang setelah salah satu pihak dengan sengaja mengabaikan perintah pengadilan," jelasnya menambahkan.

Tak sampai di situ, dia juga menyeret Apple dan wakil presiden keuangan Alex Roman yang pernah tampil sebagai saksi ke jaksa federal. Ini dilakukan sebagai upaya penyelidikan penghinaan pada perilaku dalam kasus antimonopoli.

Rogers mengatakan kesaksian Roman penuh sesat dan kebohongan. Apple menolak keputusan dan memastikan mematuhi pengadilan serta mengajukan banding.

Sementara itu Epic Games akan berupaya membawa kembali Fortnite ke App Store minggu depan. Chief Executive Tim Sweeney mengatakan keputusan pengadilan sebagai kemenangan bagi pengembangan dan konsumen.

"Hal itu memaksa Apple bersaing dengan layanan pembayaran lain daripada memblokirnya, ini yang kami inginkan," jelasnya.

Penjualan iPhone Anjlok di China

Selama beberapa kuartal terakhir, iPhone kesulitan menjual iPhone di China. Posisinya mulai terguncang sejak kebangkitan Huawei dengan merilis ponsel 5G pertama pasca masuk daftar hitam AS.

iPhone juga tak kuasa menghadapi persaingan ketat dengan pemain lokal lain. Sentimen geopolitik antara AS dan China juga membuat penjualan iPhone anjlok, padahal China sebelumnya menjadi pasar kunci bagi Apple.

Laporan firma riset Canalys di Q1 2025 menunjukkan penjualan iPhone turun 8% YoY di China. Hal ini menunjukkan tren kinerja Apple di China belum juga membaik.

Kendati penjualan iPhone berdarah-darah di China, tetapi kinerjanya moncer di pasar global. Laporan Counterpoint untuk Q1 2025 menunjukkan Apple menjadi raja HP dunia dengan pangsa pasar 19% dan bertumbuh 4% YoY.

Penjualan iPhone di China memang terus memperihatinkan karena harus bersaing dengan para pemain lokal dan bangkitnya raja HP China Huawei ke panggung smartphone global. Adopsi Apple Intelligence, fitur penuh AI, lambat di China yang menjadi faktor penurunan minat beli di sana.

Apple Kena Kasus di Eropa

Tak cuma soal penjualan iPhone, Apple dan Meta juga menghadapi denda sebesar US$800 (Rp 13,5 triliun) dari Uni Eropa. Ini menjadi upaya otoritas setempat menghadang dominasi semua perusahaan itu di ruang digital.

Eropa diketahui memiliki aturan terkait itu lewat Digital Markets Act (DMA). Regulasi tersebut mengatur soal persaingan sehat di pasar digital dan menargetkan dominasi perusahaan 'gatekeeper'.

Sebuah perusahaan dikategorikan sebagai gatekeeper jika memenuhi beberapa kriteria. Pertama, omzet tahunan mereka di Eropa minimal 7,5 miliar euro selama 3 tahun terakhir, atau kapitalisasi pasar lebih dari 75 miliar euro.

Kedua, memiliki platform inti, seperti mesin pencari, jejaring sosial, layanan perpesanan, atau toko aplikasi dengan lebih dari 45 juta pengguna bulanan aktif dan 10.000 pengguna bisnis tahunan di Uni Eropa. Selain itu, perusahaan menempati posisi dominan dan stabil di pasar selama 3 tahun berturut-turut.

DMA menetapkan sejumlah larangan dan kewajiban bagi gatekeeper, di antaranya, tidak boleh memprioritaskan produk mereka sendiri di platform (self-preferencing). Perusahaan juga wajib mengizinkan interoperabilitas dengan layanan pesaing.

Selain itu, tidak boleh memaksa pengguna untuk menggunakan layanan tertentu, seperti sistem pembayaran milik sendiri. Dan Harus memungkinkan pengguna untuk menghapus aplikasi bawaan.

Gatekeeper yang melanggar DMA dapat dikenakan denda hingga 10% dari omzet global tahunan, dan hingga 20% untuk pelanggaran berulang. Dalam kasus yang berat, Uni Eropa bahkan dapat memaksa perusahaan untuk membubarkan bagian bisnis tertentu.

Perang Dagang AS-China

Guncangan lainnya yang dihadapi Apple terkait tarif resiprokal yang ditetapkan Donald Trump ke barang-barang impor China. Hal ini menjadi pukulan telak bagi Apple yang menggantungkan 90% produksi iPhone di China. 

Apple memang telah berupaya melakukan diversifikasi lini produksi ke negara-negara lain, bahkan berniat memindahkan seluruh produksi iPhone untuk pasar AS ke India. 

Namun, para ahli menyebut butuh waktu bertahun-tahun untuk Apple bisa lepas sepenuhnya dari ketergantungan di China. 

Ketidakpastian masa depan Apple membuat saham perusahaan terus merosot. Sepanjang 2025, saham Apple sudah anjlok 30,53%.


(fab/fab)

Saksikan video di bawah ini:

Video: Infinix Note 50 Pro, Flagship Killer Murah Meriah, Worth it?

Next Article Taktik Baru Apple agar Orang China Mau Beli iPhone 16

Read Entire Article
Kabar Sehat | Legenda | Hari Raya | Pemilu |