Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Sudah hampir dua bulan penerapan aplikasi coretax yang juga dikenal dengan PSIAP (Pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan) telah berjalan, dari sejak awal penerapannya aplikasi coretax ini menimbulkan banyak dinamika.
Bukan hanya dari sisi wajib pajak dan konsultan pajak, tetapi juga berimbas ke pihak DJP termasuk mendapat perhatian dari DPR, kita juga dapat melihat hampir di setiap Kantor Pelayanan Pajak dipenuhi oleh Wajib Pajak yang ingin berkonsultasi terkait dengan aplikasi tersebut.
Penerapan coretax per 1 Januari 2025 ini didasari dengan terbitnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81 Tahun 2024 tentang Ketentuan Perpajakan Dalam Rangka Pelaksanaan Sistem Inti Administrasi Perpajakan.
Hal yang menarik dan sangat berbeda dari coretax dengan dari aplikasi yang lama (e-faktur), jika aplikasi e-faktur menggunakan sertifikat elektronik WP Badan (perusahaan) sehingga nama yang muncul sebagai penandatangan adalah nama pic/direktur, sedangkan dalam aplikasi coretax menggunakan sertifikat elektronik orang pribadi.
Sebagai informasi sertifikat elektronik ini mempunyai fungsi menggantikan tanda tangan manual yang bisa dipakai dalam menyampaikan kewajiban perpajakan perusahaan, artinya jika seorang kuasa yang berperan sebagai signer meng-upload atau melaporkan kewajiban perpajakan seorang wajib pajak, maka nama yang tertera adalah nama kuasa tersebut.
Perlu diketahui juga, peran kuasa dalam aplikasi coretax dibagi menjadi dua (dua), peran sebagai drafter (pembuat), dan peran sebagai signer (penandatangan). Personal In Charge (PIC) yang merupakan wakil sekaligus penanggung jawab kewajiban perpajakan dimungkinkan untuk mendelegasikan pelaksanaan kewajibannya tersebut kepada pihak lain atau dengan kata lain memberikan kuasa kepada pihak lain.
Hal ini diatur dalam Pasal 7 ayat (2) PMK 81 yang lengkapnya berbunyi sebagai berikut: "Dalam hal pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dilakukan oleh Kuasa Wajib Pajak, dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilampiri surat kuasa khusus sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan."
Terkait dengan kuasa wajib pajak hal ini diatur dalam Pasal 32 UU 28 Tahun 2007 Tentang KUP sebagaimana diubah terakhir kali dengan UU Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yaitu di ayat (3) yang berbunyi : "Orang pribadi atau badan dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan".
Selain itu dalam ayat (3a) disebutkan juga : "Seorang kuasa yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus mempunyai kompetensi tertentu dalam aspek perpajakan, kecuali kuasa yang ditunjuk merupakan suami, istri, atau keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua."
Aturan pelaksanaan dari Pasal 32 tersebut ialah Peraturan Menteri Keuangan No. 229/PMK.03/2014 Tentang Persyaratan Serta Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Seorang Kuasa Pajak.
Dalam Pasal 2 PMK No 229/PMK.03/2014 dijelaskan lebih lanjut :
Ayat (1) :
"Wajib Pajak dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan."
Ayat (4) :
"Seorang kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
* a. Konsultan pajak; dan
* b. Karyawan wajib pajak.
Dalam Pasal 3 ayat (2) dijelaskan sebagai berikut:
"Karyawan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) huruf b dapat menerima kuasa dari Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan sepanjang merupakan karyawan tetap dan masih aktif yang menerima penghasilan dari Wajib Pajak yang dibuktikan dengan daftar karyawan tetap yang dilakukan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 yang telah dilaporkan."
Pasal 5, mengatur syarat lanjutan dari seorang kuasa yaitu :
(1) Konsultan pajak sebagai seorang kuasa dianggap menguasai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, apabila memiliki izin praktik konsultan pajak yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak atau pejabat yang ditunjuk, dan harus menyerahkan Surat Pernyataan sebagai konsultan pajak.
(2) Karyawan Wajib Pajak sebagai seorang kuasa dianggap menguasai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, apabila memiliki:
* a. sertifikat brevet di bidang perpajakan yang diterbitkan oleh lembaga pendidikan kursus brevetpajak;
* b. ijazah pendidikan formal di bidang perpajakan, sekurang-kurangnya tingkat Diploma III, yang diterbitkan oleh Perguruan Tinggi Negeri atau Swasta dengan status terakreditasi A; atau
* c. sertifikat konsultan pajak yang diterbitkan oleh Panitia Penyelenggara Sertifikasi Konsultan Pajak.
Pasal 8
Seseorang yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 7 dianggap bukan sebagai seorang kuasa dan tidak dapat melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban perpajakan Wajib Pajak yang memberikan kuasa.
Berdasarkan penjelasan dari Pasal 32 UU KUP dan PMK No 229/PMK.03/2014, dijelaskan secara tegas mengenai persyaratan-persyaratan yang wajib dipenuhi seorang kuasa wajib pajak.
Lalu apa konsekuensi hukum jika seorang wakil/PIC/direktur menunjuk karyawan sebagai kuasa namun karyawan tersebut tidak memenuhi persyaratan sebagaimana disebutkan di atas, maka karyawan yang bersangkutan dianggap bukan seorang kuasa dengan demikian tidak dapat mewakili pic di dalam melaksanakan kewajiban perpajakan.
Jika kita hubungkan dengan faktur pajak, dalam UU PPN Nomor 42 Tahun 2009, dalam pasal 9 berbunyi : "Pengkreditan PPN Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat diberlakukan bagi pengeluaran untuk :
* f. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) atau ayat (9) atau tidak mencantumkan nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak;
Kemudian jika kita telaah lebih detail lagi apa yang dimaksud dengan Pasal 13 ayat (5) UU PPN maka dijelaskan sebagai berikut :
* (5) Dalam Faktur Pajak harus dicantumkan keterangan tentang penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang paling sedikit memuat:
* a. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak;
* b. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak;
* c. jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga;
* d. Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;
* e. Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut;
* f. kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan
* g. nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat diringkas sebagai berikut :
* 1. Seorang PIC/wakil/direktur dapat menunjuk seseorang atau lebih karyawannya untuk mewakili yang bersangkutan dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya (dalam kasus memberikan kuasa sebagai signer).
* 2. Untuk dapat ditunjuk sebagai kuasa, maka karyawan tersebut harus mendapatkan surat kuasa khusus dari PIC, dan karyawan tersebut harus memenuhi persyaratan seorang kuasa sebagaimana diatur dalam PMK No. 229/PMK.03/2014.
* 3. Jika karyawan yang ditunjuk (sebagai signer) tidak memenuhi persyaratan yang ditentukan, maka karyawan tersebut dianggap bukan kuasa, sehingga tidak dapat melaksanakan kewajiban perpajakan yang dikuasakannya.
* 4. Jika demikian, maka faktur pajak yang ditanda tangani oleh karyawan tersebut, dianggap tidak memenuhi syarat formal penerbitan faktur pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (5) UU PPN.
* 5. Dengan demikian bagi Pengusaha Kena Pajak Penerbit Faktur Pajak, jika faktur pajak keluaran nya tidak memenuhi syarat formal, maka penerbit faktur pajak bisa dikenakan sanksi Pasal 14 ayat (4) UU KUP, dengan sanksi sebesar 1% dari nilai DPP.
* 6. Kemudian bagi PKP Penerima Faktur Pajak (PKP Pembeli), maka faktur pajak masukan yang diperolehnya, bisa dianggap sebagai faktur pajak cacat formal, sehingga faktur pajak masukannya tidak dapat dikreditkan.
Kesimpulannya pemberian kuasa dari seorang PIC kepada karyawannya (yang berperan sebagai signer) harus dilakukan secara hati-hati dan memperhatikan aturan-aturan yang sah.
Bukan hanya terkait dengan faktur pajak sebagaimana contoh di atas, bisa juga dokumen perpajakan lainnya, seperti bukti potong maupun bukti pungut yang di tanda tangani oleh mereka yang tidak memenuhi persyaratan sebagai seorang kuasa maka dokumen perpajakan tersebut bisa dianggap cacat, dan akan sangat merugikan wajib pajak baik penerbit maupun pengguna di kemudian hari untuk itu harus dilakukan mitigasi sejak dini.
(miq/miq)