Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Dalam beberapa tahun terakhir, fenomena ledakan jumlah pelamar Aparatur Sipil Negara (ASN) di Indonesia menjadi perhatian publik. Setiap kali pemerintah membuka lowongan ASN, jutaan pelamar dari berbagai latar belakang pendidikan berbondong-bondong untuk mendaftar.
Tidak hanya sebatas lulusan baru atau 'fresh graduate' yang mengincar formasi tersebut, bahkan yang hampir menyentuh batasan umur tertinggi juga masih tetap mencoba keberuntungan menjadi ASN.
Kita harus akui bahwa stigma menjadi ASN masih dianggap memberikan rasa aman secara finansial. Tidak sedikit orangtua yang menyuruh anaknya mendaftar ASN karena menjadi seorang aparatur negara dianggap dapat meningkatkan citra positif dari keluarga.
Meski demikian, tidak dapat dipungkiri ASN hingga saat ini tidak lepas dari stigma positif maupun negatif. Mulai dari 'menantu idaman', 'kesayangan mertua', 'kerja ga kerja tetap digaji', 'pemalas', 'tidak berkembang' dan lain sebagainya.
Menjadi ASN sebenarnya bukanlah hal yang buruk, justru baik jika memang benar-benar ingin mengabdi untuk negara, melayani masyarakat, serta menuangkan kompetensi dan keilmuan yang dimiliki untuk kemajuan bangsa.
Yang menjadi masalah adalah jika motivasi ASN hanyalah sekadar mengamankan diri dibiayai negara, tidak punya kompetensi, tidak benar-benar memberikan pelayanan sepenuh hati. Tentu motivasi yang buruk seperti inilah yang sebenarnya semakin merusak kondisi birokrasi di Indonesia yang berimbang kepada meningkatkan permasalahan sosial.
Di tengah semakin kompetitifnya persaingan kerja, minimnya lapangan kerja, hingga fenomena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) besar-besaran di Indonesia, menjadi ASN akhirnya menjadi sasaran pelamar kerja, mulai dari lulusan SMA, lulusan baru perguruan tinggi, karyawan swasta, pegawai tidak tetap, dan lain sebagainya.
Hal tersebut terbukti dari data yang dirilis oleh BKN terkait pelamar CPNS Tahun 2024 dimana total pelamar sebanyak 3.963.832 orang dan yang memenuhi syarat sebanyak 2.855.597 orang, dengan formasi CPNS yang tersedia sebanyak 250.407 formasi.
Memang jumlah pelamar tahun 2024 lebih sedikit dibanding lima tahun yang lalu yaitu 2019, formasi yang tersedia pada tahun 2024 jauh lebih banyak. Jumlah ini belum termasuk pelamar Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) yang juga dibuka pada tahun 2024.
Berdasarkan data Badan Kepegawaian Negara (BKN), hingga saat ini, jumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Indonesia pada Semester I-2023 adalah 3.795.302 orang, dan 487.127 orang adalah PPPK. Sehingga jumlah total Aparatur Sipil Negara (ASN) yang ada mencapai 4.282.429 orang.
Memang jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia saat ini sebanyak 277,5 juta jiwa (berdasarkan data tahun 2023), keberadaan ASN di Indonesia persentasenya adalah 1,54 persen, artinya nilai ini masih ideal jika dibandingkan dengan negara-negara lainnya.
Memang secara kuantitatif angka ini masih ideal, namun secara kualitatif apakah ideal juga? Apakah jumlah ASN yang ada saat ini secara kualitatif keberadaannya benar-benar dibutuhkan atau justru mengalami ketimpangan?
Di saat formasi tenaga kesehatan, tenaga pendidikan, dan tenaga layanan dasar lainnya sangat minim, beberapa formasi lainnya justru membludak. Belum lagi, eksistensi teknologi informasi yang sebenarnya telah menggantikan beberapa posisi.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Ajib Rakhmawanto di Badan Kepegawaian Negara, membludaknya jumlah formasi ASN di antaranya disebabkan oleh tidak adanya perencanaan strategis PNS secara nasional, validitas kebutuhan PNS per instansi berdasarkan beban kerja, dan instansi pemerintah tidak memiliki standar kompetensi PNS.
Manajemen PNS tidak mendesain proyeksi kebutuhan PNS yang didasarkan pada jumlah penduduk dan kondisi objektif kekuatan PNS yang ada, sehingga trend antara pertumbuhan penduduk dan PNS tidak menjadi dasar dalam pemenuhan kebutuhan PNS.
Penelitian lainnya dilakukan oleh Abhijit Banerjee dan Esther Duflo dalam buku Poor Economics (2011), mereka menjelaskan tentang bagaimana ketergantungan pada pekerjaan sektor publik dapat menghambat inovasi dan pertumbuhan sektor swasta, yang pada akhirnya berdampak negatif terhadap pembangunan ekonomi secara multidimensional.
Mereka menjelaskan bahwa di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia, sektor publik seringkali menjadi pilihan utama bagi tenaga kerja terdidik karena dianggap lebih stabil dan memberikan jaminan sosial yang lebih baik. Namun, hal ini justru menciptakan 'brain drain' dari sektor swasta, dimana talenta-talenta terbaik lebih memilih bekerja di sektor publik daripada mengembangkan usaha atau berinovasi di sektor swasta.
Ketergantungan pada sektor publik tidak hanya menghambat inovasi di sektor swasta, tetapi juga menciptakan ketidakseimbangan dalam distribusi sumber daya. Di Indonesia, misalnya, anggaran pemerintah yang seharusnya dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur, pendidikan, atau kesehatan, justru banyak tersedot untuk membiayai gaji, tunjangan, hingga fasilitas aparatur negara.
Hal ini mengurangi kemampuan pemerintah untuk berinvestasi dalam bidang-bidang yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
Pemerintah tidak akan mungkin men-ASN-isasi seluruh pelamar kerja di Indonesia. Mustahil jika ingin menyelamatkan lapangan kerja di Indonesia dengan membuka formasi ASN sebesar-besarnya.
Tentu akan berdampak terhadap tidak sehatnya pengelolaan anggaran negara hingga gendutnya birokrasi yang justru memperlambat tujuan pemerintahan dalam menyelenggarakan pelayanan publik. Dari perspektif kebijakan publik, ada batas rasional antara jumlah penduduk dan jumlah ASN yang harus dipenuhi. Artinya, saat ini pemerintah perlu mendesain kembali ketenagakerjaan di Indonesia.
Dengan berubahnya kebutuhan akan tenaga kerja akibat disrupsi teknologi, kegamangan pun melanda para pemberi kerja atau pemilik perusahaan. Hal itu terkait dengan berubahnya keterampilan yang dibutuhkan seiring dengan digitalisasi. Kesenjangan keterampilan dan ketidakmampuan mendapatkan tenaga kerja atau talenta yang sesuai menjadi hambatan dalam transformasi industri.
Pemutusan Hubungan Kerja
Banyak perusahaan di Indonesia menghadapi berbagai tantangan, mulai dari birokrasi yang berbelit hingga minimnya insentif untuk berkembang. Iklim usaha yang tidak kondusif ini mengakibatkan lambatnya pertumbuhan lapangan kerja. Pengusaha seringkali harus berhadapan dengan regulasi yang tidak konsisten, pajak yang tinggi, dan pungutan liar yang merajalela. Akibatnya, banyak perusahaan memilih untuk menekan jumlah karyawan atau bahkan gulung tikar.
Sebagai contoh, yang saat ini menjadi perbincangan publik yaitu pailitnya PT Sritex. Sederhananya, Sritex tidak mampu membayar kewajiban hutangnya, terutama kepada PT Indo Bharat Rayon sebagai kreditor atau pemberi pinjaman.
Berdasarkan informasi yang beredar bahwa terjadi gangguan finansial di tubuh PT Sritex. Hal tersebut tercermin dari laporan keuangannya yang mencatatkan adanya kerugian sebesar 1,08 Miliar dollar AS atau kurang lebih Rp15 triliun.
Memang lagi dan lagi, dinamika kebijakan pemerintah juga mempengaruhi semakin tidak berdayanya PT Sritex. Contoh ini sebenarnya ingin menegaskan bahwa kehadiran pemerintah untuk melindungi pengusaha dan tenaga kerja belum sepenuhnya maksimal.
Belum lagi, berdasarkan satu data Kementerian Ketenagakerjaan, pada periode Januari-Desember 2023 terdapat 64.855 orang tenaga kerja yang ter-PHK. Sedangkan, berdasarkan data sementara Kementerian Ketenagakerjaan pada periode Januari hingga awal Desember 2024, sudah ada sekitar 80.000 orang tenaga kerja yang ter-PHK.
Membludak fenomena PHK ini terjadi karena regulasi yang saat ini telah berlaku yaitu adanya Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 202 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), alih daya, waktu kerja dan waktu istirahat, dan pemutusan hubungan kerja.
Peraturan Pemerintah (PP) tersebut memberikan amanat bahwa PHK yang dilakukan oleh pengusaha atau perusahaan dapat dilakukan dengan 26 alasan yang diatur, di mana salah satu alasannya adalah dapat melakukan efisiensi. Tentu menjadi pertanyaan, apakah efisiensi dalam konteks PP tersebut mutlak atas keputusan dari pengusaha/perusahaan? Atau sebenarnya negara juga ikut memberikan perlindungan sehingga hak-hak tenaga kerja tetap terjaga?
Buruknya Bursa Ketenagakerjaan
Kita tidak perlu malu mengakui bahwa bursa tenaga kerja di Indonesia sedang tidak baik baik saja, atau bahkan bisa dikatakan ada pada level darurat. Fenomena ini akhirnya berdampak pada semakin bergantungnya pelamar kerja menjadi ASN sebagai pekerjaan satu satunya yang dianggap memberikan rasa aman.
Formasi ASN akhirnya menjadi rebutan untuk sekadar mengamankan diri secara finansial, bukan lagi 'mengabdikan diri pada negara'. Tidak sedikit juga fresh graduate (lulusan baru) saat ini mencari jalan pragmatis dengan menjadi ASN demi menghindari fenomena PHK yang kerap kali terjadi di sektor swasta.
Ledakan pelamar ASN serta keinginan pemerintah membuka formasi ASN sebanyak-banyaknya bukanlah solusi jangka panjang untuk krisis pengangguran terdidik di Indonesia. Fenomena ini justru mencerminkan masalah mendasar yang lebih besar, buruknya sistem dunia usaha dan ketenagakerjaan, birokrasi yang korup, dan besarnya hambatan investasi.
Reformasi menyeluruh diperlukan agar Indonesia dapat menciptakan ekosistem kerja yang sehat dan berkelanjutan, sehingga generasi muda tidak hanya bergantung pada profesi ASN, tetapi juga mampu bersaing di berbagai sektor industri.
(miq/miq)