Mengelola Narasi dan Mengawal Stabilitas dengan Komunikasi Kebijakan

12 hours ago 3

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Pergerakan Ekonomi Global dan Domestik
Mengutip dari Global Economic Prospects Januari 2025 yang diterbitkan oleh World Bank, pertumbuhan global diperkirakan akan bertahan stabil pada 2,7 persen di tahun 2025-2026. Namun demikian, World Bank melihat pertumbuhan ekonomi global akan berada pada "tingkat pertumbuhan yang rendah" yang tidak akan mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Potensi hambatan lebih lanjut berasal dari ketidakpastian kebijakan yang meningkat seperti kebijakan perdagangan internasional, ketegangan geopolitik, dan lainnya. Sebagai contoh, kebijakan perdagangan dari Presiden AS Donald Trump untuk memberlakukan tarif baru kepada barang-barang impor (baja dan alumunium) sebesar 25% yang berasal dari Meksiko dan Kanada serta 20% barang impor dari China.

Adapun pada 2 April 2025, Presiden Trump memberlakukan tarif impor baru ke 180 negara dan wilayah, termasuk Indonesia dengan tarif sebesar 32%. Tarif ini lebih tinggi dibandingkan dengan Malaysia sebesar 24% dan Singapura sebesar 10%.

Ketidakpastian kebijakan global yang berimplikasi pada peningkatan ketidakpastian ekonomi cenderung membuat perilaku investor wait and see, menunda investasinya akibat ketidakpastian ekonomi, atau bahkan beralih kepada instrumen investasi yang dianggap safe haven seperti logam mulia. Mengutip Reuters, Wall Street telah kehilangan lebih dari US$5 triliun atau setara kurang lebih Rp82 ribu triliun dalam waktu singkat sejak pengumuman tarif diberlakukan.

Tekanan tidak hanya terdapat di ranah internasional seperti pemberlakuan tarif ataupun ketegangan geopolitik, di dalam negeri sendiri, Indonesia membunyikan alarm indikator ekonomi yang perlu diperhatikan lebih serius. Secara makroekonomi, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat deflasi mencapai 0,76% pada Januari 2025 di mana komoditas tarif Listrik menjadi penyumbang utama deflasi Januari 2025.

Sedangkan pada Februari 2025, terjadi deflasi yoy sebesar 0,09% dan 0,48% mom dengan IHK sebesar 105,48. Adapun kejadian di ranah pasar modal yaitu Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang merosot tajam sebesar 6.12% atau ke level 6.076 pada perdagangan sesi pertama Selasa 18 Maret 2025 yang direspon oleh Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan membekukan perdagangan saham atau trading halt setelah IHSG turun 5%.

Catatan fiskal Indonesia juga menjadi sorotan setelah Menteri Keuangan mengumumkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sampai Februari 2025 mengalami defisit Rp31,2 triliun atau sebesar 0,13 terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Adapun Kemenkeu mencatat bahwa realisasi penerimaan pajak hingga akhir Februari 2025 mencapai Rp187 triliun atau menurun sekitar 30,1% yoy.

Perlunya Komunikasi Kebijakan di Tengah Gempuran Ekonomi
Berbagai kondisi yang bergejolak baik secara ekonomi atau politik Internasional maupun nasional menuntut agar pemangku kepentingan tidak hanya adaptif dan solutif namun juga komunikatif. Respons yang dibentuk oleh pemangku kepentingan perlu secara tegas mempertimbangkan juga dampak dari narasi yang telah dibentuk agar persepsi publik dapat tercermin positif sehingga stabilitas politik dan ekonomi terjaga.

Namun, perlu diingat juga bahwa komunikasi bukan hanya sebatas pada bagaimana merespons situasi atau sosialisasi suatu kebijakan melainkan terdapat, antara lain, "komunikasi kebijakan" yang meliputi partisipasi publik.

Mengutip dari Riant dalam diskusi yang diselenggarakan Knowledge Sector Initiative (KSI) bekerja sama dengan BRIN dan CIPG 2021 tempo lalu, komunikasi kebijakan berarti melibatkan sektor publik dari sejak penyusunan kebijakan itu sendiri yang berbeda dengan sekedar sosialisasi kebijakan yang hanya fokus pada pemberitahuan kepada publik tanpa adanya keterlibatan.

Lebih dalam, dalam konteks pemangku kepentingan seperti yang dikutip McQuail dalam tulisan Eddy Cahyono, Kepala Biro Humas Kemensetneg, manajemen strategi komunikasi yang kurang terorkestrasi dengan baik melalui narasi tunggal memiliki implikasi pada menurunnya keterlibatan publik dalam menyukseskan kebijakan yang bermuara pada citra pemerintahan secara keseluruhan, bahkan dapat menyebabkan kesalahpahaman, ketidakpercayaan, hingga penolakan terhadap kebijakan yang telah dirancang dengan baik.

Sebagai contoh, memang dalam kenyataannya belakangan ini kerap terjadi perbedaan pandangan yang tidak sederhana ketika pembuat kebijakan menetapkan dan mengesahkan suatu ketentuan Undang-Undang atau kebijakan lainnya yang secara tidak langsung dapat saja mempengaruhi stigma investor baik investor lokal maupun internasional.

Februari lalu, reaksi pasar pada saat peresmian BPI Danantara cukup masif di mana outflow asing sebesar Rp3,47 triliun diikuti IHSG yang anjlok 2,34% ke level 6.591. Adapun beberapa ketentuan lainnya yang disahkan pada 2025 ini dapat saja berpengaruh baik secara langsung ataupun tidak langsung terhadap stabilitas politik atau ekonomi Indonesia yang ditandai dari outflow asing dan/atau IHSG yang semakin loyo.

Memang jika melihat contoh yaitu pada saat peresmian BPI Danantara, Danantara memiliki tujuan pembentukan yang ideal beserta landasan filosofis untuk Pembangunan dan kemakmuran rakyat. Dapat saja kurangnya sentimen positif berasal dari minimnya komunikasi kebijakan yang melibatkan publik atau asumsi terdahulu di mana kepengurusan Danantara hanya melibatkan tokoh politik.

Meskipun pada saat peresmian kita disajikan tokoh-tokoh profesional di dalam pengurusannya, komunikasi kebijakan tentu menjadi tantangan bagi pemangku kepentingan terutama di era saat ini yaitu era post truth. Era ini kerap disangkutpautkan dengan dinamika di mana faktor objektif sering kali disingkirkan dan informasi lebih menonjolkan emosi serta memperkuat keyakinan yang sudah ada sehingga stigma publik lebih kepada mencari pembenaran dibandingkan sesuatu yang benar.

Hal ini tentu berlaku pada beberapa ketentuan yang sudah ditetapkan dan disahkan atau kebijakan yang akan diambil oleh pemangku kepentingan ke depannya dalam menghadapi gejala ekonomi dan politik yang akan berdampak baik langsung maupun tidak langsung pada stabilitas ekonomi. Komunikasi kebijakan publik menjadi senjata yang perlu diperkuat agar kebijakan yang disampaikan dapat diterima atau setidaknya dipahami dengan baik mengingat terdapat partisipasi publik di dalamnya.

Adapun selain elemen pemangku kepentingan yang perlu menekankan pada pentingnya penerapan komunikasi publik, masyarakat juga diharapkan dapat berpartisipasi aktif serta menghindari penerimaan berita tanpa adanya analisa objektif terlebih dahulu. End state dari kolaborasi negara dengan masyarakat diharapkan mampu menciptakan stabilitas politik yang tentunya bisa saja berpengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung pada stabilitas ekonomi.


(miq/miq)

Read Entire Article
Kabar Sehat | Legenda | Hari Raya | Pemilu |