Negara Maritim Tapi Industri Kapal RI Malah Merana

8 hours ago 2

Jakarta, CNBC Indonesia - Industri galangan kapal terus menjadi permasalahan di Indonesia karena belum mendapatkan dukungan yang maksimal dan masih banyak kendala yang menyulitkan lainnya.

Indonesia sebagai negara kepulauan pada dasarnya memiliki potensi besar karena negara ini adalah kepulauan dengan kebutuhan tinggi terhadap transportasi laut. Namun, industri ini masih menghadapi berbagai tantangan yang menghambat pertumbuhannya.

Berbagai hambatan seperti tingginya biaya produksi, keterbatasan teknologi, rendahnya daya saing, regulasi yang kurang mendukung, serta sulitnya akses pembiayaan masih menjadi kendala utama. Untuk meningkatkan daya saing, diperlukan kebijakan pemerintah yang lebih mendukung, peningkatan SDM, serta investasi dalam teknologi dan infrastruktur.

1. Harga Tergolong Mahal & Produksi yang Lama

Wakil Ketua Umum II Indonesian National Shipowners' Association (INSA) Darmadi GO dalam Indonesia Maritime Talks 2025, Selasa (25/2/2025) mengatakan bahwa industri galangan kapal lokal kurang berdaya saing. Bukan cuma soal harga tetapi waktu produksi juga cukup lama. Hal ini yang harus dibenahi oleh pemerintah galangan kapal Indonesia harus sesuai dengan standar baku internasional.

Biaya produksi yang tinggi diakibatkan karena harga bahan baku yang mahal akibat mayoritas bahan baku merupakan barang impor sehingga biaya produksi meningkat.

Impor komponen kapal dikenakan pajak yang cukup besar, membuat galangan dalam negeri kalah bersaing dengan galangan luar negeri.

Sebagai contoh, baja yang merupakan salah satu komponen penting kapal, merupakan barang yang mahal dan sulit diperoleh.

Baja merupakan bahan utama dalam pembuatan kapal. Namun, kapasitas produksi baja dalam negeri masih terbatas, sehingga banyak galangan harus mengimpor baja dari China, Jepang, atau Korea Selatan.

Go Darmadi dalam acara Indonesia Maritime Talk 2025 di Ritz Carlton, Jakarta, Selasa (25/2/2025). (CNBC Indonesia/Tri Susilo)Foto: Go Darmadi dalam acara Indonesia Maritime Talk 2025 di Ritz Carlton, Jakarta, Selasa (25/2/2025). (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Go Darmadi dalam acara Indonesia Maritime Talk 2025 di Ritz Carlton, Jakarta, Selasa (25/2/2025). (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Harga baja impor sangat fluktuatif tergantung pada kondisi pasar global, sehingga biaya produksi sulit diprediksi.

Peneliti INDEF, Ahmad Heri Firdaus mengharapkan dengan adanya hilirisasi logam dasar, maka fokus tidak hanya terhadap smelter melainkan juga galangan kapal yang memegang peran penting pada kelangsungan industri maritim.

Ahmad mengatakan saat ini industri galangan kapal membutuhkan logam dasar yang selama ini justru diekspor. Sementara untuk kebutuhan galangan kapal, industri masih harus impor bahan baku. Padahal menurutnya, Indonesia mampu memproduksi logam di Sulawesi.

Untuk melancarkan hilirisasi, industri manufaktur membutuhkan tambahan investasi yang besar hingga bisa tumbuh di atas 9% setiap tahunnya. Dengan begitu industri manufaktur bisa berkontribusi signifikan pada target pertumbuhan ekonomi 8%.

"Industri pengolahan non migas harus tumbuh lebih tinggi. Ini bisa disokong oleh logam dasar," kata Ahmad.

Lebih lanjut, peralatan seperti mesin kapal, sistem navigasi, baling-baling, hingga perlengkapan keselamatan masih banyak didatangkan dari luar negeri karena industri dalam negeri belum mampu memproduksi dalam jumlah dan kualitas yang memadai.

Penyebaran Industri Galangan Kapal NasionalFoto: Kemenko Marves
Penyebaran Industri Galangan Kapal Nasional

Proses impor memerlukan waktu dan biaya tambahan, termasuk bea masuk dan pajak, yang akhirnya meningkatkan harga kapal.

Selain itu, impor bahan baku dan komponen kapal dikenakan bea masuk dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang cukup tinggi, membuat harga komponen semakin mahal.

Sementara itu, kapal impor justru sering mendapat fasilitas bebas pajak, sehingga kapal buatan luar negeri lebih murah dibanding kapal buatan dalam negeri.

Galangan kapal di negara lain seperti China dan Korea Selatan mendapat subsidi dan insentif dari pemerintahnya, sehingga mereka bisa menawarkan harga kapal yang lebih kompetitif.

Darmadi mengungkapkan bahwa para pengusaha pelayaran kini lebih memilih untuk membeli kapal dalam kondisi baru maupun bekas dari luar negeri, seperti Jepang, Korea, maupun China. Bahkan kapal China sekarang lebih menarik karena harganya yang sangat murah dengan kualitas sangat baik.

Tidak hanya berbicara soal harga, waktu produksi galangan kapal di Tanah Air juga tergolong lama.

Upah tenaga kerja di Indonesia memang relatif lebih rendah dibandingkan negara maju, tetapi produktivitas pekerja galangan masih belum optimal.

Jam kerja efektif dan efisiensi produksi masih rendah, sehingga waktu pengerjaan kapal menjadi lebih lama dan berakibat pada tingginya biaya tenaga kerja secara keseluruhan.

Kementerian Perhubungan RIFoto: Tantangan Galangan Kapal di Indonesia
Sumber: Kementerian Perhubungan RI

2. ICOR yang Tinggi

ICOR (Incremental Capital Output Ratio) atau besaran yang menunjukkan besarnya tambahan kapital (investasi) baru yang dibutuhkan untuk menaikkan/menambah satu unit output di Indonesia sendiri relatif cukup tinggi bahkan di kisaran angka enam.

ICOR juga bisa diartikan sebagai dampak penambahan kapital terhadap penambahan sejumlah output (keluaran). ICOR mampu menjelaskan perbandingan antara penambahan kapital terhadap output.Setiap pertambahan satu unit nilai output (keluaran) akan membutuhkan penambahan kapital sebanyak "K" unit.

Dalam tiga tahun terakhir ICOR di Indonesia masih fluktuatif. Nilai ICOR 2021 sebesar 8,6, tahun 2022 sebesar 6,02, dan tahun 2023 sebesar 6,33. Angka ini menunjukkan bahwa tingkat efisiensi investasi di Indonesia masih rendah atau belum efisien. Angka ini juga lebih tinggi dibandingkan negara ASEAN yang berada di angka 4-5%. Nilai ICOR yang ideal berada pada kisaran 3-4%.

Dengan tingkat efisiensi yang rendah, tentunya ini akan berdampak terhadap minat investor untuk menanamkan investasinya di Indonesia.

Prosedur birokrasi perizinan yang panjang, regulasi daerah dan korupsi yang masih menjadi momok di Indonesia merupakan beberapa penyebab mahalnya biaya investasi di Indonesia. Ditambah dengan akses transportasi dan logistik sulit menjadikan biaya tambahan yang menjadi pertimbangan para investor.

Ahmad mengatakan bahwa industri galangan kapal Tanah Air menurutnya masih menghadapi beberapa tantangan, salah satunya produktivitas, baik dari sisi tenaga kerja maupun sisi capital. Akibatnya industri galangan kapal Indonesia pun bisa dibilang kalah produktif dengan negara lain.

"Kemudian juga kalau kita pernah dengar kata-kata ICOR (Incremental capital output ratio),yang masih tinggi, jadi masih sekitar 6,2%. Artinya apa ICOR ini, artinya untuk memproduksi satu jenis barang diperlukan lebih banyak modal, dibanding barang yang sama diproduksi di negara lain," ujarnya.

Dengan begitu, jika Indonesia mau membuat satu kapal, maka biayanya lebih besar daripada kapal yang sama dibuat di Korea Selatan. ICOR Indonesia menurut Ahmad masih mencerminkan, ekonomi biaya tinggi.

"Nah ini masih sulit turun dari 6%, jadi ICOR semakin besar itu semakin tidak baik," kata dia.

Untuk itu, pekerjaan rumah besar bagi industri dan pemerintah adalah mengurangi ICOR. Adapun ICOR terdiri dari biaya tenaga kerja, biaya transportasi, fiskal, suku bunga yang tinggi, dan beberapa komponen lain.

Untuk diketahui, ICOR negara tetangga seperti Malaysia berada di angka 4,5. Bahkan Filipina punya ICOR yang cukup rendah yakni di angka 3,7.

3. Tidak Ada Insentif Galangan Kapal

Agar industri galangan kapal di Indonesia dapat berkembang dan bersaing dengan negara lain seperti China, Korea Selatan, dan Jepang, diperlukan berbagai insentif dari pemerintah. Insentif ini bertujuan untuk menekan biaya produksi, meningkatkan daya saing, serta mempercepat pertumbuhan industri maritim nasional.

Dirjen Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan Capt. Antoni Arif Priadi menegaskan bahwa para pelaku usaha akhirnya lebih memilih untuk membeli kapal dari luar negeri karena lebih efisien, cepat dan tentunya murah.

Pemerintah kata Antoni tidak tinggal diam, pihaknya segera turun tangan mengatasi ancaman tersebut. Industri galangan kapal yang ada sekarang ini adalah aset sebagai upaya mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia.

"Perusahaan itu bangun kapal harus diberikan insentif. Mobil listrik aja dikasih insentif. Motor listrik Rp7 juta per unit. Kapal juga begitu harusnya," ujarnya.

Selain itu, dukungan dalam hal skema pembiayaan yang kompetitif diperlukan bagi industri ini mengingat industri ini dikategorikan "High Risk Business Loan" sehingga lembaga pembiayaan cenderung menerapkan persyaratan yang sangat ketat seperti suku bunga yang tinggi, tenor jangka pendek, serta asset dan personal guarantee.

Berikut ini beberapa insentif yang dapat diberikan kepada industri galangan kapal.

4. Regulasi & Kepastian Hukum yang Kurang Jelas

Antoni mengatakan masalah kepastian hukum dan tingginya biaya menjadi alasan pengusaha Indonesia lebih memilih membangun kapal di luar negeri.

Untuk membangun sektor maritim, dibutuhkan dukungan regulasi yang jelas, kepastian hukum, hingga kemudahan usaha. Dengan begitu, industri galangan kapal bisa lebih efisien saat membangun kapal di dalam negeri. Harapannya sektor maritim bisa mendukung pemerintahan menjelang Indonesia emas 2045.

Antoni menambahkan saat ini pelaku usaha memilih untuk membeli kapal di luar negeri karena kurangnya kepastian hukum dan berusaha. Akibatnya, industri galangan kapal tanah air pun meredup, dia mencontohkan, ada 8 usaha galangan kapal di Batam yang gulung tikar karena tidak mampu bersaing.

Berikut ini beberapa dukungan regulasi untuk pemberdayaan industri kapal nasional.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(rev/rev)

Read Entire Article
Kabar Sehat | Legenda | Hari Raya | Pemilu |