Jakarta, CNBC indonesia - Pemerintah Amerika Serikat (AS) menyoroti perihal kebijakan Quick Responese Indonesian Standard (QRIS) dan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) yang dikeluarkan Bank Indonesia (BI). Hal ini terungkap dalam laporan Perkiraan Perdagangan Nasional 2025 yang dirilis Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR) pada akhir Februari lalu.
Dalam dokumen laporan ini, AS menyoroti Peraturan BI No. 19/08/2017 tentang Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) mewajibkan seluruh debit ritel domestik dan transaksi kredit yang akan diproses melalui lembaga switching NPG yang berlokasi di Indonesia dan memiliki izin oleh BI.
"Peraturan ini memberlakukan pembatasan kepemilikan asing sebesar 20% pada perusahaan yang ingin memperoleh pengalihan lisensi untuk berpartisipasi dalam NPG, melarang penyediaan layanan pembayaran elektronik lintas batas untuk transaksi debit dan kartu kredit ritel domestik," tulis USTR, Senin (21/4/2025).
Peraturan BI No. 19/10/PADG/2017 mengamanatkan bahwa perusahaan asing menjalin kerja sama dengan switch GPN Indonesia yang berlisensi untuk melakukan pemrosesan transaksi ritel domestik melalui GPN.
Menurut USTR, BI harus menyetujui perjanjian tersebut, dan peraturan tersebut membuat persetujuan bergantung pada perusahaan mitra asing yang mendukung pengembangan industri dalam negeri, termasuk melalui transfer teknologi.
Kemudian, AS juga menekankan perihal Peraturan BI No. 21/2019, Indonesia menetapkan standar nasional QR Code, disebut QRIS, atau Quick Response Indonesia Standard untuk semua pembayaran yang menggunakan kode QR di Indonesia.
"Perusahaan-perusahaan AS, termasuk penyedia pembayaran dan bank-bank, mencatat kekhawatiran bahwa selama proses pembuatan kebijakan kode QR BI, para pemangku kepentingan internasional tidak diberitahu tentang sifat perubahan potensial tersebut maupun diberi kesempatan untuk menjelaskan pandangan mereka mengenai sistem tersebut, termasuk bagaimana sistem tersebut dapat dirancang untuk berinteraksi paling lancar dengan sistem pembayaran yang ada," papar AS dalam dokumen USTR.
Selain GPN dan QRIS, USTR juga menyoroti Peraturan BI No. 22/23/PBI/2020, yang berlaku efektif Juli 2021, untuk mengimplementasikan Cetak Biru Sistem Pembayaran BI 2025. Peraturan ini menetapkan kategorisasi sistem pembayaran berdasarkan risiko, kegiatan dan sistem perizinan.
Peraturan tersebut menerapkan batasan kepemilikan asing sebesar 85% untuk operator layanan pembayaran nonbank, yang juga dikenal sebagai perusahaan pembayaran front-end, tetapi investor asing hanya boleh memegang 49% saham dengan hak suara.
Batasan kepemilikan asing untuk operator infrastruktur sistem pembayaran, atau perusahaan back-end, tetap sebesar 20%. Para pemangku kepentingan telah menyatakan kekhawatiran mengenai kurangnya konsultasi BI sebelum mengeluarkan peraturan.
"Pada bulan Mei 2023, BI mengamanatkan agar kartu kredit pemerintah diproses melalui GPN dan mewajibkan penggunaan dan penerbitan kartu kredit pemerintah daerah. Perusahaan pembayaran AS khawatir kebijakan baru ini akan membatasi akses terhadap penggunaan opsi pembayaran elektronik AS," ungkap dokumen USTR.
Tim Negosiasi AS telah buka suara perihal QRIS dan GPN ini. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto menegaskan pemerintah telah berkoordinasi dengan Bank Indonesia (BI) dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkait masukan dari pihak AS.
"Kami sudah berkoordinasi dengan OJK dan BI, terutama terkait dengan payment yang diminta oleh pihak Amerika," ujar Airlangga dalam konferensi pers secara daring, dikutip Senin (21/4/2025).
Sayangnya, Airlangga tidak menjelaskan lebih lanjut hal-hal apa saja yang akan dilakukan pemerintah Indonesia bersama BI dan OJK dalam menghadapi tarif AS. BI pun belum buka suara mengenai hal ini.
Pada 2019 silam, setahun diluncurkannya GPN, Mastercard dan Visa menjadi perusahaan yang mempertanyakan kebijakan ini. Saat diterbitkannya GPN disebutkan pemrosesan transaksi dalam negeri harus melalui perusahaan switching yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh investor dalam negeri.
Dengan adanya aturan ini, Visa dan Mastercard tidak bisa lagi langsung memproses transaksi pembayaran. Mereka harus menggandeng partner lokal. Sebelumnya Visa dan Mastercard bisa langsung memproses transaksi nasabah Indonesia tetapi di Singapura.
GPN diprediksi akan menekan laba Mastercard dan Visa. Terutama dari fee kartu kredit yang keuntungannya besar Indonesia.
(haa/haa)
Saksikan video di bawah ini:
Video: China Batasi Visa Diplomat, Jurnalis, Hingga Pemantau Asal AS
Next Article Video: Al-Assad Digulingkan-Warga RI Bisa ke 4 Negara Eropa Tanpa Visa