Jakarta, CNBC Indonesia - Momentum ketidakpastian global menjadi daya tarik tersendiri bagi mata uang yen Jepang dan pound sterling Inggris.
Prospek ekonomi Amerika Serikat (AS) yang memburuk dan ekspektasi volatilitas pasar yang lebih tinggi mendorong pergeseran valuasi mata uang dengan para pengamat pasar terbagi dalam pandangan mereka mengenai mata uang mana yang dianggap sebagai safe haven yang kuat.
Ketidakpastian ekonomi meningkat karena perang tarif antara Amerika Serikat (AS) dengan negara mitra dagangnya.
Perkembangan geopolitik juga memanas setelah Donald Trump menunda bantuan militer ke Ukraina, data ekonomi AS yang lebih lemah, serta komitmen para pemimpin Eropa untuk meningkatkan belanja pertahanan.
Dikutip dari CNBC International, kepala strategi FX di Rabobank London, Jane Foley mengatakan bahwa ia memperkirakan pound sterling Inggris dan yen Jepang akan menjadi pemenang dalam situasi saat ini.
"Fakta bahwa data AS menunjukkan adanya surplus perdagangan yang moderat dengan Inggris mengindikasikan bahwa negara tersebut kemungkinan tidak akan menjadi target tarif Trump, dan GBP (poundsterling) kemungkinan akan terus menguat terhadap euro. Namun demikian, sulit untuk menyebut pound sebagai mata uang safe haven." katanya.
Dilansir dari Refinitiv, nilai tukar pound sterling mengalami penguatan terhadap dolar AS yakni US$1,28/GBP pada penutupan perdagangan 4 Maret 2025.
GBP tampak mengalami apresiasi sejak pertengahan Januari atau sekitar 1,5 bulan terakhir dari yang saat itu berada di posisi US$1,22/GBP.
"Jepang juga memiliki posisi kuat dalam bernegosiasi dengan AS," kata Foley kepada CNBC.
Jepang memiliki surplus perdagangan dengan AS, negara ini adalah pemegang terbesar surat utang pemerintah AS di luar AS dan merupakan penyedia investasi asing langsung (FDI) terbesar ke AS.
"[Perdana Menteri Shigeru] Ishiba telah berjanji untuk meningkatkan aliran investasi ke AS, dan hampir seluruh anggaran pertahanan Jepang yang terus meningkat dibelanjakan di AS." ujar Foley.
Foley juga mencatat bahwa lingkungan kebijakan Jepang mendukung penguatan yen, yang telah naik hampir 5% terhadap dolar AS sejak awal tahun.
Lebih lanjut, Bank of Japan (BoJ) juga belakangan ini terus menaikkan suku bunganya. Pada Januari 2025, BoJ menaikkan suku bunga acuannya sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 0,5% (menjadi level tertinggi selama 17 tahun).
Langkah ini mencerminkan momentum kenaikan upah dan kemajuan inflasi yang stabil. Kenaikan ini juga menandai kenaikan suku bunga ketiga sejak bank sentral mengakhiri suku bunga negatif pada Maret 2024.
BoJ juga mengindikasikan rencana kenaikan suku bunga lebih lanjut serta pengurangan dukungan moneter jika data ekonomi dan harga sesuai dengan perkiraannya.
Dalam prospek kuartalannya, BoJ menaikkan perkiraan inflasi inti menjadi 2,7% untuk tahun fiskal 2024 dari estimasi Oktober sebesar 2,5%, dengan alasan meningkatnya kekurangan tenaga kerja. Inflasi inti diproyeksikan moderat ke 2,4% pada tahun fiskal 2025 dan 2,0% pada tahun fiskal 2026.
Sementara itu, BoJ sedikit menurunkan perkiraan pertumbuhan PDB 2024 menjadi 0,5% dari angka sebelumnya 0,6%. Prospek pertumbuhan tetap di 1,1% untuk tahun fiskal 2025 dan 1,0% untuk tahun fiskal 2026.
"Sejauh fundamental Jepang telah membaik dan mengingat Bank of Japan adalah satu-satunya bank sentral G10 dengan kecenderungan pengetatan, saya memperkirakan yen akan berkinerja baik tahun ini, yang kemungkinan akan semakin memperkuat reputasinya sebagai mata uang safe haven," katanya.
David Roche, seorang strategis di Quantum Strategy, setuju bahwa kondisi saat ini memperkuat status lama yen sebagai lindung nilai terhadap volatilitas, dan menyarankan bahwa ketidakstabilan geopolitik di Barat dapat menjadikannya sebagai "safe haven yang baru."
Selain yen dan pound sterling, franc Swiss tampaknya akan cenderung mengalami penguatan juga karena punya dampak yang relatif kecil dari kondisi yang ada saat ini. Hal ini berbeda jauh dengan Uni Eropa dan negara-negara lainnya.
Kepala penelitian alokasi aset di Goldman Sachs, Christian Mueller-Glissmann mengungkapkan bahwa mata uang safe haven yang dapat dipertimbangkan dan belum banyak bergerak dalam sembilan bulan terakhir adalah franc Swiss.
"Tim kami telah menganalisis dampak tarif terhadap Swiss, dan dampaknya mungkin lebih kecil dibandingkan yang dialami Uni Eropa atau banyak negara lainnya," ungkap Mueller.
Hingga saat ini, secara year to date/ytd, swiss Franc telah menguat hampir 2%.
Mata uang Swiss menjadi salah satu safe haven mengingat stabilitas pemerintahan Swiss dan sistem keuangan negara tersebut, meningkatnya permintaan asing terhadap mata uang ini biasanya mendorong nilai franc Swiss naik.
Swiss selalu berhasil mempertahankan stabilitas meskipun banyak krisis yang melanda pasar keuangan global. Dengan tetap berada di luar Uni Eropa, negara ini berfungsi sebagai penghalang terhadap pengaruh politik dan ekonomi dari kawasan tersebut. Tingkat utang nasional yang relatif rendah juga menjadi faktor penting. Sebagian besar dari 10 ekonomi terbesar dunia memiliki rasio utang sekitar 100% (atau bahkan lebih), sedangkan rasio utang Swiss jauh di bawah angka tersebut.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(rev/rev)