Jakarta, CNBC Indonesia - Akhir pekan ini bursa saham Amerika Serikat (AS) atau Wall Street berakhir hijau, tetapi masih belum bisa menahan koreksi dalam basis mingguan akibat banyak ketidakpastian.
Untuk perdagangan harian yang berakhir pada Jumat kemarin (7/3/2025), Dow Jones Industrial Average (DJI) naik 222,64 poin, atau 0,52%, menjadi 42.801,72, S&P 500 (SPX) menguat 31,68 poin, atau 0,55%, ke posisi 5.770,20 dan Nasdaq Composite (IXIC) merangkak 126,97 poin, atau 0,70%, menuju 18.196,22.
Penguatan harian bursa saham AS itu terjadi setelah keluar data pasar tenaga kerja AS yang mendingin dan pidato Jerome Powell memicu laju cut rate bertambah tahun ini.
Sayangnya, penguatan harian itu belum mampu menutup pelemahan yang terjadi sepanjang pekan.
Dalam basis mingguan, S&P mencatat depresiasi 3,1%, ini paling parah sejak September 2024 dan menandai zona merah tiga pekan beruntun.
Nasdaq juga begitu dengan penurunan 3,45% secara mingguan, menandai penurunan terpanjang sejak pertengahan Juli dan awal Agustus tahun lalu. Sementara DJI kontraksi 2,37% sepanjang pekan.
Selama seminggu ini, pasar saham AS banyak digoyang ketidakpastian. Mulai dari perubahan arah fiskal Jerman yang bersejarah, ketidakpastian seputar tarif AS, peringatan resesi, sampai aksi jual besar-besaran.
1. Efek Perubahan Ekstrem Kebijakan Fiskal Jerman
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, Jerman mengalami perubahan historis yang mengguncang pasar keuangan global. Ini terpicu pengumuman bahwa Kanselir terpilih Jerman, Friedrich Merz, telah mencapai kesepakatan dengan mitra koalisinya dari Partai Sosial Demokrat (SPD) untuk melewati batasan konstitusional terkait defisit anggaran.
Merz berencana mengeluarkan dana sebesar 500 miliar euro dalam 10 tahun ke depan untuk infrastruktur, serta mengecualikan anggaran pertahanan dari pembatasan utang yang selama ini diberlakukan.
Kebijakan ini masih harus disetujui oleh parlemen dalam beberapa minggu ke depan, dengan Partai Hijau yang diperkirakan akan memberikan dukungan. Keputusan ini juga dipandang sebagai pergeseran besar dari tradisi Jerman yang selama ini dikenal ketat dalam pengelolaan anggaran.
2. Ketidakpastian Tarif AS Picu Peringatan Resesi
Mengutip hasil survey oleh Reuters, ketidakpastian akibat tarif trump dan inflasi AS yang terus mengetat membuat risiko resesi meningkat.
70 ekonom dari 74 yang mengisi polling pekan ini di Kanada, AS, dan Meksiko menjawab pertanyaan terpisah mengatakan risiko resesi dalam ekonomi masing-masing telah meningkat, yang menunjukkan prospek telah memburuk secara signifikan di seluruh benua.
Dana Moneter Internasional (IMF) juga mengatakan pada hari Kamis bahwa tarif AS, jika dipertahankan, akan berdampak buruk yang signifikan pada Meksiko dan Kanada.
Hasil lainnya menunjukkan hampir 70% ekonom telah menaik-kan prospek inflasi 2025 mereka untuk ekonomi terbesar di dunia dalam survei terbaru dari bulan lalu.
Dan hampir 85% responden pada pertanyaan terpisah, 42 dari 50, mengatakan risiko inflasi jangka pendek di AS telah bergeser ke arah harga yang lebih tinggi.
Pemerintahan Presiden AS, Donald Trump dalam enam minggu kepemimpinan-nya telah banyak membuat ketidakpastian soal tarif.
Untuk tarif impor dari dua mitra dagang terbesarnya Kanada dan Meksiko pada pekan ini sempat diberlakukan lagi sebesar 25%, tetapi pada Kamis dicabut lagi.
Para ekonom di bank-bank terkemuka dan lembaga-lembaga penelitian yang secara rutin berpartisipasi dalam survei Reuters berbicara mengenai kekacauan ketika dimintai perkiraan, banyak yang menyatakan kekesalan atas pendekatan Trump yang kadang-kadang tidak konsisten terhadap kebijakan perdagangan.
"Mengingat situasi yang sangat tidak pasti dan adanya pengumuman baru setiap jam atau lebih, tidak jelas seperti apa lingkungannya nanti. Sulit untuk menyangkal bahwa risiko resesi telah meningkat," kata Jonathan Millar, ekonom senior AS di Barclays di New York.
3. Pasar Tenaga Kerja Mendingin, Prospek Laju Cut Rata Meningkat
Di sisi lain, di tengah banyak ketidakpastian soal tarif yang memicu inflasi mengetat. Data terbaru dari pasar tenaga kerja malah cukup mengecewakan dengan peningkatan angka pengangguran dan penambahan jumlah pekerjaan di luar pertanian yang lebih kecil dari perkiraan.
Data pada Jumat malam menunjukkan pertumbuhan lapangan kerja AS hanya bertambah 151.000 pada Februari 2025, lebih rendah dari perkiraan ekonom sebanyak 160.000. Sementara tingkat pengangguran naik jadi 4,1%.
Namun, ribuan pemecatan pegawai federal baru-baru ini belum tercermin dalam data tersebut. Hal ini menambah kekhawatiran tentang ketahanan ekonomi. Morgan Stanley dan Goldman Sachs telah menurunkan perkiraan pertumbuhan ekonomi mereka.
"Ini adalah ketakutan akan pertumbuhan," kata Adam Hetts, manajer portofolio di Janus Henderson Investors.
Meski begitu, kondisi pasar tenaga kerja yang bisa dibilang mendingin ini menjadi satu kabar positif bagi prospek laju pemangkasan suku bunga the Fed.
CME FedWatch Tool memperkirakan adanya potensi pemangkasan sebanyak tiga kali pada tahun ini, bertambah dari prospek cut rate dua kali.
Ketua Federal Reserve Jerome Powell pada Jumat juga berpidato bahwa ekonomi AS "dalam posisi baik", meskipun ketidakpastian tentang kebijakan perdagangan menyebabkan penurunan mingguan terbesar di Wall Street dalam beberapa bulan.
Powell mengatakan bank sentral tidak akan terburu-buru memangkas suku bunga dan menyuarakan kekhawatiran tentang kebijakan Presiden Donald Trump.
Powell mengatakan bahwa Fed akan mengambil pendekatan yang hati-hati terhadap pelonggaran kebijakan moneter, seraya menambahkan bahwa perekonomian saat ini "terus berada dalam kondisi yang baik".
"Powell menyuarakan apa yang kita semua rasakan: kegelisahan bahwa meskipun penyesuaian yang dilakukan oleh pemerintah mungkin berhasil dan menempatkan negara pada posisi keuangan yang lebih baik, kecepatan dan sifat perubahan yang tidak menentu membuat sulit untuk memprediksi dan membuat rencana," kata Jamie Cox, mitra pengelola di Harris Financial Group di Richmond, Virginia.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(tsn/tsn)