Jakarta -
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI mewajibkan air minum dalam galon kemasan plastik polikarbonat untuk mencantumkan peringatan tentang adanya risiko kontaminasi BPA (Bisphenol A).
Ketua Asosiasi Pemasok dan Distributor Depot Air Minum Indonesia (Apdamindo) Budi Darmawan menyebut 34 persen atau sekitar 50 hingga 60 juta rumah tangga Indonesia menggunakan air galon isi ulang untuk kebutuhan minum sehari-hari. Dari pantauan selama ini, galon guna ulang yang digunakan kerap kali dalam kondisi buruk.
"Kondisinya bukan sudah kuning lagi, bahkan cokelat. Itu kita kan bisa lihat umur galonnya dari keterangan produksi kemasan di bagian bawah, terlihat di situ," jelas Budi saat ditemui di sela diskusi detikcom Leaders Forum di Jakarta Selatan, Kamis (30/10/2024).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lazimnya, kode produksi setiap galon bermerek tertera jelas di badan galon, seringkali tercetak di bagian dasar. Kode produksi tersebut biasanya berupa barisan angka yang melingkari dua digit angka lainnya ditambah marka sebuah anak panah.
Metode pembacaannya sebagai berikut: angka 1 hingga 12 yang tersusun melingkar menunjukkan bulan dalam kalender dari Januari sampai Desember. Sementara dua digit angka di tengah lingkaran merujuk pada tahun pembuatan galon. Bila misalnya pada dasar galon tertera angka 18 di tengah lingkaran dan anak panah menunjuk angka 5, ini berarti galon tersebut diproduksi pada bulan 5 (Mei) tahun 2018. Yang berarti galon tersebut usianya telah mencapai enam tahun per 2024.
Budi memperkirakan, banyak di antara galon guna ulang yang digunakan masyarakat sudah berusia 10-15 tahun. Ia menyadari adanya risiko leaching atau luruhnya partikel BPA ke dalam air minum, sehingga dapat memahami urgensi adanya aturan tentang pelabelan.
"Intinya Apdamindo mendukung itu," katanya.
Ketua Asosiasi Pemasok dan Distributor Depot Air Minum Indonesia (Apdamindo) Budi Darmawan. Foto: Rifkianto Nugroho/detikHealth
BPA merupakan salah satu bahan yang digunakan dalam pembuatan plastik polikarbonat. Bersama bahan lainnya, BPA digunakan untuk mendapatkan karakteristik tertentu sehingga plastik yang dihasilkan dapat dipakai ulang berkali-kali.
Dalam praktiknya, proses distribusi dan pemakaian oleh masyarakat sulit dikontrol. Akibatnya, potensi kerusakan polimer menyebabkan partikel BPA luruh dan mengkontaminasi air minum yang dikemasnya lalu berdampak pada tubuh manusia.
"Ibaratnya, polimer seperti untaian kalung. Satu mata rantai dari kalung tersebut di antaranya adalah BPA. Pada saat digunakan, akan sangat mungkin tali tersebut ada yang copot, sehingga menimbulkan permasalahan," jelas pakar polimer Universitas Indonesia Prof Dr Mochamad Chalid, SSi, MScEng.
Hal ini sejalan dengan hasil pemeriksaan BPOM pada fasilitas produksi air minum berkemasan polikarbonat periode 2021-2022 yang menunjukkan, kadar BPA yang bermigrasi pada air minum lebih dari 0,6 ppm (standar BPOM) meningkat berturut-turut hingga 4,58 persen. Begitu pula dengan hasil pengujian migrasi BPA di ambang 0,05-0,6 ppm, meningkat berturut-turut hingga 41,56 persen.
Di dalam tubuh, BPA dikategorikan sebagai endocrine disrupting chemicals. Paparan senyawa ini dapat menyebabkan gangguan kesehatan yang berhubungan dengan keseimbangan hormonal, termasuk dalam kaitannya dengan fertilitas atau kesuburan.
"Salah satunya yang paling terasa yang bisa dianggap adalah gangguan kesehatan reproduksi. Apa puncaknya? Gangguan kesuburan," kata praktisi kesehatan reproduksi dari Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, dr I Made Oka Negara, M Biomed, FIAS.
(suc/up)