Jakarta,CNBCIndonesia- Kebijakan tarif tinggi yang diterapkan Amerika Serikat di bawah pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah mengguncang tatanan perdagangan global.
Kebijakan proteksionis itu, yang menaikkan bea masuk untuk berbagai produk asing hingga ke level tertinggi sejak era 1930-an, awalnya dimaksudkan untuk melindungi industri dalam negeri AS dari tekanan impor dan mempersempit defisit perdagangan.
Namun, alih-alih menekan mitra dagangnya, kebijakan tersebut justru menimbulkan efek sebaliknya. Banyak negara mulai mencari pasar alternatif dan membangun aliansi ekonomi baru guna mengurangi ketergantungan pada pasar AS.
Langkah ini menandai pergeseran besar dalam pola arus perdagangan dunia, dari yang sebelumnya berpusat di Amerika, menjadi jaringan perdagangan yang lebih terdiversifikasi.
Perubahan arah ini mulai tampak jelas. Melansir Bloomberg, Kanada kini mengimpor lebih banyak mobil dari Meksiko dibanding dari AS, sementara China menolak membeli kedelai dari petani AS pada musim panen dan beralih ke pemasok dari Amerika Selatan, terutama Brasil dan Argentina.
Berikut ini beberapa contoh nyata perubahan kebijakan dagang yang telah terjadi di sejumlah negara:
Setelah serangkaian perubahan ini, terlihat bahwa dinamika perdagangan dunia tidak lagi berpusat pada satu negara. Pola baru perdagangan global mulai terbentuk, seiring upaya berbagai pemerintah menggambar ulang kemitraan dagang dan perusahaan mencari pasar alternatif guna menghindari dampak tarif tinggi AS.
Fenomena ini juga menandai munculnya tatanan ekonomi multipolar, di mana kekuatan dagang kini tersebar lebih merata di kawasan Asia, Eropa, dan negara-negara berkembang.
Ketika Peta Logistik Global Berubah
Perubahan arah perdagangan global mulai terlihat dari data pengiriman kontainer internasional. Berdasarkan proyeksi Clarksons Research yang dikutip Bloomberg, volume pengiriman barang di jalur utama trans-Pasifik yang merupakan rute utama perdagangan antara Amerika Serikat dan China, diperkirakan mengalami kontraksi 2,8% pada 2025.
Penurunan ini menjadi yang pertama dalam beberapa tahun terakhir dan menandai melemahnya aktivitas ekspor-impor antara dua kekuatan ekonomi terbesar dunia tersebut.
Sebaliknya, sejumlah rute lain justru menunjukkan ekspansi yang cukup kuat.
Secara mencolok, volume pengiriman di kawasan Afrika diproyeksikan melonjak hingga 6,7% pada 2025, jauh lebih tinggi dari realisasi tahun sebelumnya sebesar 3,2%. Pertumbuhan juga tetap kuat di Amerika Latin sebesar 5,3%, meski melambat dari 7,9% pada 2024, serta di Intra-Asia sebesar 3,78%, turun dari 4,8% pada tahun sebelumnya.
Sementara itu, jalur Asia-Eropa diprediksi melambat tajam menjadi 0,6% dari 5,3% pada 2024, dan Transatlantik hanya tumbuh 0,9%, turun dari 5,2% pada tahun sebelumnya.
Secara keseluruhan, pertumbuhan perdagangan dunia pada 2025 diperkirakan hanya mencapai 2,6%, jauh lebih rendah dibanding realisasi 6,2% pada 2024.
Kondisi ini menunjukkan bahwa meskipun kebijakan tarif tinggi AS menekan arus perdagangan di jalur tradisionalnya, aktivitas global tidak berhenti melainkan bergeser ke kawasan yang dinilai lebih menguntungkan, terutama Asia dan Afrika.
Perdagangan China dan Uni Eropa Mulai Bergeser
Pergeseran arus perdagangan dunia semakin nyata terlihat dari nilai ekspor China ke Amerika Serikat yang anjlok hingga 33,1% pada Agustus 2025 menjadi US$31,6 miliar. Turun dibandingkan US$47,25 miliar pada periode yang sama tahun lalu.
Ini merupakan pelemahan paling tajam dalam enam bulan terakhir dan mencerminkan dampak nyata dari kebijakan tarif tinggi AS terhadap arus perdagangan lintas Pasifik.
Namun, penurunan tajam ekspor ke AS itu diimbangi oleh lonjakan kuat ke sejumlah kawasan lain. Pengiriman China ke negara-negara ASEAN melonjak 22,6% menjadi US$57,12 miliar, ke Uni Eropa naik 10,4% menjadi US$51,68 miliar, dan ke Afrika melesat 25,9% menjadi US$18,59 miliar. Sementara ekspor ke Kanada masih tumbuh tipis 0,9%, dan ke Amerika Latin sedikit terkoreksi 2,3%.
Data ini menunjukkan bahwa ekonomi terbesar kedua dunia tersebut berhasil mengalihkan sebagian besar arus dagangnya ke pasar non-AS, sekaligus memperkuat posisinya dalam rantai pasok global yang semakin terdiversifikasi.
Dengan tren ini, China bahkan berpotensi membukukan surplus perdagangan rekor sebesar US$1,2 triliun pada tahun ini.
Sementara itu, Uni Eropa juga mempercepat langkah memperluas jaringan perdagangan globalnya. Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen menegaskan bahwa Brussel kini benar-benar fokus untuk memperluas daftar 76 kemitraan dagang, termasuk mempercepat sejumlah perjanjian yang telah lama tertunda.
Dalam beberapa bulan terakhir, Uni Eropa telah meratifikasi pakta dagang dengan Mercosur, blok ekonomi Amerika Selatan dengan 780 juta konsumen. Serta menandatangani perjanjian perdagangan bebas (FTA) dengan Indonesia setelah hampir satu dekade negosiasi.
"Kebijakan tarif AS justru menjadi katalis bagi negara-negara lain untuk mempercepat kerja sama dagang," ujar Simon Evenett, ekonom dari IMD Business School Lausanne.
Langkah China dan Uni Eropa ini menjadi sinyal kuat bahwa pusat gravitasi perdagangan dunia tengah bergeser, dari Amerika Serikat menuju kawasan Asia dan Eropa yang lebih adaptif terhadap perubahan struktur ekonomi global.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(evw/evw)