Filantropi Indonesia dan Kesadaran Membuat ESG Menjadi Lebih Penting

1 hour ago 1

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Berbagai akademisi (Laksono, 2024; Shofa, 2024) akhir-akhir ini berpendapat target pertumbuhan ekonomi 8% yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto untuk masa jabatan pertamanya tidaklah memungkinkan. Namun, pertumbuhan ekonomi 8% sebenarnya bukan target yang sepenuhnya asing dari sejarah Indonesia.

Secara historis, Indonesia pernah mencapai pertumbuhan ekonomi 8% pada masa Orde Baru ketika sektor manufaktur tanah air mengalami ekspansi dua digit (Laksono, 2024). Kesulitan mencapai angka yang sama setelah Krisis Keuangan Asia, Indonesia baru-baru ini hanya mencatat pertumbuhan 5,03 persen yoy pada tahun 2024.

Laksono (2024) dan ekonom lainnya telah menekankan pentingnya menarik Penanaman Modal Asing (PMA) untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8% sehingga kita dapat mengubah status pembangunan kita menjadi negara berpendapatan tinggi pada tahun 2045.

Namun, Indonesia saat ini memiliki tingkat investasi yang rendah, dengan stok PMA yang masuk pada tahun 2023 hanya mewakili sekitar 21% dari PDB (turun 3% dari tahun 2014). Angka ini tertinggal dari negara-negara ASEAN lainnya seperti Malaysia, Thailand, dan Vietnam di mana pangsa PMA masuk kira-kira setengah dari PDB mereka.

Para ekonom telah menawarkan solusi seperti merevisi peraturan agar lebih ramah terhadap PMA. Esai ini bukan bertujuan untuk memperdebatkan apakah solusi PMA adalah solusi final.

Namun, esai ini ingin mempertimbangkan pertanyaan: setelah pertumbuhan besar yang diperoleh dari PMA dan perusahaan yang berkembang, bagaimana negara dapat memastikan kekayaan yang terakumulasi teredistribusi secara adil dan merata? Bagaimana negara dapat mendukung tidak hanya pertumbuhan ekonomi 8%, tetapi pertumbuhan ekonomi 8% yang inklusif?

Kebijakan sosial yang efektif oleh pemerintah, filantropi, dan metrik keberlanjutan dalam tata kelola perusahaan telah menjadi jawaban andalan untuk redistribusi kekayaan dalam beberapa dekade terakhir. Namun, Indonesia memiliki tren yang menunjukkan semakin banyaknya organisasi filantropi dalam 10 tahun terakhir (Abidin & Cahyadi, 2023).

Mengandalkan filantropi untuk mendistribusikan surplus ekonomi kepada yang masyarakat marjinal mungkin terdengar altruistik secara sekilas, tetapi pada dasarnya, meningkatnya tingkat filantropi adalah tanda bahwa masyarakat (society) tidak berfungsi dengan optimal (Robeyns, 2024).

Robeyns (2024) menjelaskan bahwa masyarakat yang berfungsi dengan baik akan bergantung pada kebijakan sosial dari pemerintah dan mekanisme tata kelola perusahaan yang baik dalam redistribusi kekayaan, bukan gerakan filantropi yang mendistribusikan donasi kepada masyarakat marjinal akibat kekayaan terlalu terkonsentrasi pada satu titik.

Menjamurnya organisasi filantropi berarti sama dengan adanya kecenderungan kekayaan untuk terkonsentrasi pada satu titik dalam masyarakat. Dengan demikian, kerangka filantropi dikritik oleh Robeyns sebagai solusi yang neoliberal.

Sayangnya, Indonesia merupakan negara dengan pertumbuhan kedermawanan (generosity) tercepat di dunia berdasarkan The World Giving Index (Abidin & Cahyadi, 2023). Pada tahun 2010, skor Indonesia hanya 36, tetapi meningkat drastis menjadi 60 pada tahun 2017.

Situasi itu menempatkan Indonesia pada posisi yang tinggi, di puncak daftar negara yang paling meningkat pesat bersama Kenya, Singapura, Malaysia, Irak, Afrika Selatan, Haiti, Rwanda, Bosnia dan Herzegovina, dan Uni Emirat Arab.

Doing Good Index (DGI) pada tahun 2020 juga melakukan studi di 18 negara Asia untuk mengkaji faktor-faktor yang memungkinkan individu atau lembaga untuk berbuat baik melalui filantropi dan investasi berdampak sosial (social impact investment) dan selanjutnya menjelaskan bagaimana sumbangan swasta dan perusahaan digunakan untuk memenuhi kebutuhan banyak orang dan bagaimana, di sisi lain, pemerintah Indonesia dapat berbuat lebih banyak (Abidin & Cahyadi, 2023).

Sitorus dan Abidin (2022) juga menemukan bahwa indeks kemudahan berorganisasi (ease of operating) lembaga filantropi di Indonesia meningkat dari tahun 2018 ke tahun 2022, yaitu dari 3,33 menjadi 4,00.

Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) menempatkan lembaga filantropi sebagai salah satu sektor unggulan yang memberikan dukungan dan sumber daya kepada sesama manusia secara sukarela untuk mengatasi masalah sosial dan kemanusiaan. Alhasil, banyak lembaga filantropi di Indonesia yang telah menjadi lembaga yang profesional dan modern.

Padahal, seperti yang telah dijelaskan di atas, tingginya pertumbuhan organisasi filantropi bukan tanda yang baik untuk sebuah masyarakat. Melainkan, pertumbuhan itu menandakan bahwa hak dasar seorang warga negara gagal dipenuhi oleh pemerintah sebagai lembaga yang secara historis diciptakan untuk membagi surplus ekonomi serata-ratanya dan memenuhi kebutuhan rakyat.

Berdasarkan penelitian Robeyns (2024), dari 100 lembaga filantropi terbesar di dunia, 90 berbasis di AS, negara maju dengan tingkat ketimpangan tertinggi di dunia. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan filantropi terkonsentrasi di masyarakat dengan tingkat ketimpangan tinggi dan tidak memiliki sistem redistribusi kekayaan yang berfungsi dengan baik.

Membuat kebijakan nasional tentang penggabungan Environmental, Social & Governance (ESG) ke dalam tata kelola perusahaan merupakan alternatif yang perlu didorong dibandingkan filantropi dalam hal meredistribusi kekayaan. Namun, masih ada berbagai pihak yang sulit membedakan konsep ESG dengan filantropi (King, 2020) dan berpikir bahwa kedua konsep ini sama atau satu kesatuan.

ESG adalah serangkaian standar yang digunakan untuk mengukur keberlanjutan bisnis. ESG digunakan sebagai metrik utama dalam membuat keputusan investasi dan sebagai pedoman bagi perusahaan untuk melaporkan dampak bisnis mereka di bidang lingkungan (misalnya degradasi lingkungan, perubahan & adaptasi iklim), sosial (misalnya hubungan dengan pemangku kepentingan, masyarakat lokal, pelanggan dan karyawan), dan tata kelola (misalnya memastikan prinsip tata kelola yang baik seperti kesetaraan gender) (IDX, 2025).

Sederhananya, ESG adalah tentang bagaimana perusahaan beroperasi-rantai pasokannya, emisi karbon, praktik ketenagakerjaan, representasi dan keberagaman, serta transparansi. Di sisi lain, filantropi biasanya berupa pemberian eksternal-sumbangan untuk suatu tujuan, yang seringkali terpisah dari operasi harian perusahaan.

Memang, ESG hadir bukannya tanpa kritik. ESG telah banyak disebut, seperti metrik lain yang lahir dari peradaban Barat, sebagai produk supremasi Barat, kolonialisme, dan alat untuk memaksakan energi hijau pada Afrika dan negara-negara Global Selatan lainnya yang memiliki tahap pembangunan yang tertinggal dari dunia Barat-yang cenderung masih bergantung pada bahan bakar fosil hingga hari ini (Sule, 2025).

Sejarah kompleks di balik kesenjangan global (global inequality) adalah penyebab ESG belum dijadikan konvensi global yang mengikat di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa. Hingga saat ini, juga belum ada satu pun badan regulasi global yang mengatur ESG. Regulasi tentang ESG hanya dapat bersifat wajib di tingkat regional atau nasional tergantung pada keinginan organisasi atau negara yang mengawasi wilayah yang berkaitan.

"Greenwashing" dan "impact washing" memang eksis. Kedua istilah ini merujuk pada pemasaran yang menyesatkan yang dengan sengaja membesar-besarkan praktik keberlanjutan sebuah bisnis di masa kini atau masa lalu demi tampil lebih lebih ramah lingkungan sehingga mereka dapat meraup keuntungan yang lebih banyak lagi dari pemasaran tersebut.

Namun, kita harus ingat esensi dasar ESG dan bagaimana ESG tetap menjadi pilihan yang lebih baik daripada filantropi. Pertanyaan Robert Monks-bapak pendiri aktivisme tata kelola perusahaan-dalam bukunya Power and Accountability tahun 1991 "Pada tahun 60-an, perusahaan tumbuh jauh lebih kuat, tetapi 'kepada siapa mereka bertanggung jawab?'" terjawab secara perlahan melalui pembentukan Corporate Social Responsibility (CSR) yang kemudian menjadi ESG pada tahun 2004.

Kita perlu ingat, tahun 1960-an adalah masa yang penuh dengan perubahan sosial, gerakan hak-hak sipil, protes antiperang, dan kesadaran lingkungan (Monks & Minow, 1991). Pada tahun 1960-an ini, keputusan perusahaan yang terus memprioritaskan keuntungan pemegang saham di atas segalanya telah mendorong ketidakpuasan aktivis dan akademisi yang pada akhirnya berevolusi menjadi sebuah gerakan, konsep akademis CSR, dan kemudian ESG.

Jika dianalogikan, ESG membenahi mesin. Filantropi hanya memberi donasi untuk pembenahan itu. Pertanyaan berikutnya yang perlu kita renungkan adalah: Di mana Indonesia ingin berdiri? Sebagai sebuah negara, apakah kita ingin bergantung pada filantropi yang beraliran neoliberal dan tidak berkelanjutan atau apakah kita ingin mendorong lebih banyak orang untuk sadar akan isu ini dan mendorong perusahaan untuk lebih tanggap ESG?


(miq/miq)

Read Entire Article
Kabar Sehat | Legenda | Hari Raya | Pemilu |