Jakarta, CNBC Indonesia - Jepang kehilangan posisi sebagai negara kreditur terbesar dunia untuk pertama kalinya dalam 34 tahun. Di Indonesia, posisi Jepang sudah lama diambilalih China.
Menurut data yang dirilis oleh Kementerian Keuangan Jepang, aset eksternal bruto Jepang pada akhir 2024 naik 12,9% menjadi JPY 1.659,02 triliun (sekitar US$10,51 triliun).
Kenaikan ini terutama didorong oleh investasi langsung luar negeri, terutama oleh lembaga keuangan dan perusahaan dagang Jepang yang memperluas portofolionya di Amerika Serikat (AS) dan Inggris.
Sementara itu, kewajiban eksternal Jepang juga meningkat sebesar 10,7% menjadi JPY 1.125,97 triliun (sekitar US$ 7,13 triliun), menghasilkan aset eksternal bersih sekitar US$ 3,38 triliun.
Meskipun angka tersebut merupakan rekor tertinggi sepanjang masa, Jerman berhasil menyalip Jepang dengan total aset eksternal bersih US$ 3,61 triliun dan kini menempati posisi teratas sebagai negara kreditur terbesar dunia.
China tetap berada di peringkat ketiga dengan aset eksternal bersih sekitar US$ 3,27 triliun. Jepang mulai menduduki posisi teratas sejak menyalip Jerman pada 1991.
Foto: ReutersBloomberg
Perbandingan aset eksternal China, Jerman dan Jepang
Kenaikan peringkat Jerman mencerminkan surplus transaksi berjalan mereka yang besar, yang mencapai €248,7 miliar ($283 miliar) pada 2024, terutama berkat kinerja ekspor yang kuat.
Surplus transaksi berjalan Jepang, menurut kementerian, sebesar JPY 29,4 triliun (sekitar €180 miliar). Selain itu, apresiasi nilai tukar euro terhadap yen sekitar 5% tahun lalu turut memperbesar nilai aset Jerman dalam denominasi yen.
Aset luar negeri bersih suatu negara dihitung dari nilai total aset luar negerinya dikurangi nilai aset domestik yang dimiliki oleh asing, disesuaikan dengan perubahan nilai tukar. Angka ini pada dasarnya mencerminkan akumulasi perubahan dalam transaksi berjalan negara tersebut.
Menteri Keuangan Jepang Katsunobu Kato pada Selasa menyatakan bahwa ia tidak terlalu khawatir dengan perubahan ini.
"Karena aset eksternal bersih Jepang juga terus meningkat, peringkat semata tidak seharusnya dianggap sebagai indikasi bahwa posisi Jepang telah berubah secara signifikan," kata Kato, dikutip dari The Japan Times.
Mengapa Jepang Tergeser?
Dengan menjadi "negara kreditur utama", Jepang memiliki lebih banyak aset eksternal bersih dibandingkan kewajiban eksternal, menjadikan negara tersebut sebagai pemberi pinjaman terbesar di dunia.
Aset-aset ini mencakup investasi langsung luar negeri, kepemilikan perusahaan, obligasi, serta kepemilikan keuangan lainnya di luar negeri.
Data Kementerian Keuangan juga mencerminkan tren yang lebih luas dalam investasi langsung luar negeri.
Pada 2024, perusahaan Jepang tetap menunjukkan minat besar terhadap investasi langsung luar negeri.
Sebagai contoh, Jepang terus berinvestasi besar-besaran di luar negeri, khususnya dalam sektor jasa keuangan, asuransi, dan ritel di Amerika Serikat dan Inggris. Jepang juga tetap menjadi pemegang obligasi pemerintah AS terbesar, dengan nilai kepemilikan mencapai US$ 1,3 triliun.
Namun, depresiasi yen membuat nilai aset luar negeri Jepang tampak lebih besar dalam denominasi yen, tetapi tidak cukup untuk mempertahankan posisi puncak.
Kenaikan aset eksternal bersih Jepang sebagian besar disebabkan oleh melemahnya yen, yang meningkatkan nilai aset luar negeri saat dikonversi kembali ke dalam yen.
Menurut Daisuke Karakama, kepala ekonom pasar di Mizuho Bank, pergeseran Jepang dari investasi di sekuritas asing ke investasi langsung membuat dana lebih sulit dipulangkan dalam jangka pendek.
"Mudah membayangkan investor domestik menjual obligasi dan sekuritas asing ketika risiko muncul, tapi mereka tidak akan begitu saja melepas kepemilikan atas perusahaan luar negeri yang telah mereka akuisisi," katanya.
Ke depan, arah investasi keluar Jepang mungkin bergantung pada apakah perusahaan Jepang terus memperluas belanja luar negeri mereka, khususnya di AS.
Dengan kebijakan tarif Presiden AS Donald Trump yang sedang berlaku, beberapa perusahaan mungkin terdorong untuk memindahkan produksi atau mentransfer aset ke AS guna mengurangi risiko terkait perdagang
Dalam kasus Jepang, pelemahan yen berkontribusi terhadap peningkatan baik pada aset maupun kewajiban luar negeri, namun pertumbuhan aset lebih cepat sebagian didorong oleh peningkatan investasi bisnis di luar negeri.
Nilai aset Jepang dalam yen meningkat karena depresiasi yen sebesar 11,7% terhadap dolar AS sepanjang tahun 2024.
Walaupun hal ini meningkatkan nilai aset dalam denominasi asing, itu juga membuat kewajiban luar negeri Jepang bertambah.
Menurut Daisuke Karakama, Kepala Ekonom Pasar di Mizuho Bank, kecenderungan perusahaan Jepang untuk memilih investasi langsung dibandingkan sekuritas asing membuat aset mereka lebih sulit dilikuidasi saat krisis.
"Jika risiko muncul, obligasi asing bisa segera dijual. Tapi kalau sudah mengakuisisi perusahaan luar negeri, tidak mudah untuk langsung melepasnya," jelas Karakama.
Arah investasi luar Jepang ke depan sangat tergantung pada strategi ekspansi perusahaan, khususnya di Amerika Serikat.
Sementara itu, Amerika Serikat tetap menjadi negara paling berutang di dunia, dengan kewajiban eksternal bersih sebesar US$ 26 triliun, menunjukkan bahwa kewajiban AS terhadap pihak asing jauh melampaui aset luar negeri yang dimilikinya.
Bagaimana di Indonesia?
Jepang merupakan salah satu pemberi pinjaman terbesar di Indonesia. Namun, jumlah dan porsinya terus berkurang.
Sebelum 2012, Jepang adalah kreditur terbesar untuk Indonesia. Namun, posisinya disalip dengan Singapura. Posisi Jepang bahkan terus turun dan disalip Amerika Serikat dan China.
Angka pinjaman Jepang turun drastis dari US4 40,03 miliar pada 2012 menjadi US$ 21,11 miliar pada 2024.
Jepang kini berada di urutan ke empat dalam daftar kreditur terbesar di Indonesia setelah Singapura, AS, dan China.
Sementara itu, Jerman menjadi kreditur terbesar kedua asal Eropa di bawah Inggris.
Data Bank Indonesia (BI) menunjukkan Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia per Maret 2025. Besarannya naik sekitar 0,63% dibanding bulan sebelumnya, dari US$ 427,63 miliar menjadi US$ 430,35 miliar.
Dari nilai ULN yang senilai US$ 430,35 miliar itu atau bila dikonversi ke rupiah sebesar Rp 7.100,77 triliun (kurs Rp 16.500), mayoritas bersumber dari negara-negara pemberi pinjaman senilai US$ 205,60 miliar, atau naik dari catatan per Februari 2025 US$ 203,98 miliar.
Dalam sepuluh tahun terakhir, AS dan China agresif memberikan utang kepada Indonesia karena berbagai alasan strategis dan ekonomi.
Salah satu alasan utama adalah untuk memperkuat hubungan bilateral dan meningkatkan pengaruh mereka di kawasan Asia Tenggara. Dengan memberikan pinjaman, kedua negara ini dapat mendorong kerja sama ekonomi dan investasi dengan Indonesia, yang merupakan salah satu ekonomi terbesar di kawasan.
Selain itu, utang dari AS dan China sering digunakan untuk mendukung proyek infrastruktur dan pembangunan di Indonesia. China, misalnya, banyak memberikan pinjaman untuk proyek-proyek besar seperti pembangunan jalan tol, pelabuhan, dan kereta cepat. Sementara itu, AS lebih banyak berkontribusi dalam bentuk investasi dan bantuan keuangan untuk sektor teknologi dan energi.
CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]
(mae/mae)