Jakarta, CNBC Indonesia - Sejumlah ketidakpastian dari tekanan eksternal gara-gara tarif, suku bunga tinggi, sampai daya beli domestik belum pulih membuat penyaluran kredit per Maret 2025 melambat.
Bank Indonesia melaporkan pertumbuhan kredit per Maret 2025 mencapai 9,16% secara tahunan (yoy), turun signifikan dari catatan bulan Februari 2025 yang mencapai 10,3% yoy. Posisi ini menjadi yang terendah sejak Oktober 2023.
BI pun memperkirakan pertumbuhan kredit perbankan menuju ke batas bawah dengan kisaran 11%-13% yoy. Hal itu disebabkan dari faktor permintaan dan penawaran.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan bahwa dari sisi permintaan ada sejumlah sektor yang terdampak dari dinamika kebijakan tarif Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Kendati demikian ada sejumlah sektor yang berpeluang meningkatkan ekspor.
"Ada Sektor-sektor yang pertumbuhannya masih bagus, ada sektor-sektor yang memang pertumbuhannya terbatas," kata Perry dalam konferensi pers hasil Rapat Dewan Gubernur Bulanan Maret 2025, Rabu (23/4/2025).
Dari sisi penawaran, Perry mengatakan bahwa lending appetite atau minat bank dalam menyalurkan kredit masih bagus. "Index lending standard itu blm ada tanda2 pengetatan. blm terlalu selektif," katanya.
Pun hal itu didukung oleh kondisi likuiditas yang cukup secara keseluruhan. Akan tetapi, Perry melanjutkan bahwa sejumlah bank perlu didorong untuk meningkatkan pendanaan. "Itu kenapa BI akan memperkuat implementasi RPLN [rasio pendanaan luar negeri], sehingga manajemen likuiditas semakin baik dan bisa mendorong penyaluran kredit," katanya.
BI juga menyebut industri perbankan di Indonesia tengah mengalami kendala pendanaan bari dari sisi dana pihak ketiga (DPK) maupun surat berharga.
"Minat [kredit masih memadai], meskipun sejumlah bank terkendala pendanaan," katanya dalam konferensi pers Rapat Dewan Gubernur Bulanan Bulan April 2025, Rabu (23/4/2025).
Ke depan, kata Perry, berbagai risiko dari ketidakpastian global yang berdampak kepada perekonomian nasional perlu menjadi perhatian karena dapat memengaruhi prospek pertumbuhan kredit.
Sehubungan dengan itu BI akan terus memperkuat kebijakan makroprudensial yang akomodatif atau longgar dengan mengoptimalkan Kebijakan Likuiditas Makroprudensial (KLM) dan memperkuat implementasi ketentuan rasio pendanaan luar negeri untuk mendorong pendanaan perbankan untuk manajemen likuiditas dan penyaluran kredit ke sektor riil.
Kendati demikian, permintaan kredit masih ada. Bank pun mencari alternatif pendanaan dari luar negeri, karena mengalami pengurangan sumber dana dari domestik.
Deputi Gubernur BI Juda Agung mengatakan bahwa beberapa sektor utama masih mencatat pertumbuhan kredit yang tinggi, seperti industri pengolahan, pertambangan, pengangkutan, dan jasa sosial. Sementara itu, sektor perdagangan dan konstruksi sebaliknya.
Adapun berdasarkan kelompok penggunaan, kredit investasi melesat paling tinggi, yakni 13,36% yoy (vs Februari 14,6% yoy). Lalu kredit modal kerja dan konsumsi, masing-masing-masing 9,23% yoy (vs Februari 7,66% yoy) dan 6,51% yoy (vs Februari 10,31% yoy).
Perry juga menambahkan bahwa ketahanan likuiditas bank terbilang baik. Rasio alat likuid terhadap dana pihak ketiga (AL/DPK) per Februari 2025 sebesar 26,3% dengan rasio kecukupan modal Januari 2025 sebesar 27,01%.
Sementara itu rasio kredit bermasalah atau nonperforming loan (NPL) gross Januari 2025 sebesar 2,18% dan rasio NPL nett 0,79%.
DPK Melambat
Sejak November 2024 hingga Februari 2025, secara tahunan DPK Perorangan jatuh atau terkontraksi. DPK perorangan selama ini menjadi sumber dana murah bagi bank karena bunganya yang relatif kecil.
Per Februari 2025, DPK Perorangan secara total turun dari Rp4.012,3 triliun (Januari 2025) menjadi Rp3.998,7 triliun (Februari 2025) atau terkontraksi 1,8% yoy.
Dilihat dari jenisnya, kontraksi terjadi pada giro dan simpanan berjangka atau deposito.
Simpanan berjangka adalah jenis simpanan di bank yang memiliki jangka waktu tertentu sebelum dapat dicairkan, biasanya dengan tingkat bunga yang lebih tinggi dibandingkan tabungan biasa. Simpanan ini sering disebut juga sebagai deposito berjangka.
Per Februari 2025, DPK Simpanan Berjangka atau Deposito untuk nasabah perorangan mengalami kontraksi 5,8% yoy dan telah turun sejak Agustus 2024 atau selama tujuh bulan beruntun.
Dengan aksi tidak melakukan re-invest pasca jatuh tempo, hal ini menandakan bahwa masyarakat cenderung menggunakan uangnya untuk konsumsi apalagi mendekati momen Ramadhan daripada ditabung di bank.
CNBC INDONESIA RESEARCH
Sanggahan : Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investor terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.(tsn/tsn)