Bahaya Ketinggian dan Hipoksia pada Pendakian Gunung Tinggi

5 days ago 15

Jakarta - Berita duka mengenai meninggalnya Lilie Wijayati dan drg Elsa Laksono, dua wanita berusia 60 tahun, akibat kedinginan di Puncak Cartenz (Carstensz Pyramid) di Papua menjadi pengingat bagi kita semua tentang bahaya yang mengintai para pendaki gunung tinggi (diatas 10000 kaki / 3048 m). Puncak Cartenz dengan ketinggian 4.884 meter di atas permukaan laut merupakan puncak tertinggi di Indonesia dan salah satu dari Seven Summits (tujuh puncak tertinggi di tujuh benua). Pada ketinggian seperti itu, tubuh manusia menghadapi berbagai tantangan fisiologis yang dapat berakibat fatal jika tidak dipersiapkan dan ditangani dengan baik.

Memahami Perubahan Fisiologis di Ketinggian

Makin tinggi posisi dari permukaan laut yang dianggap sebagai O meter, tekanan barometrik udara akan menurun, yang berarti tekanan parsial oksigen (PO₂) juga menurun. Meskipun persentase oksigen di udara tetap sama (sekitar 21%), jumlah molekul oksigen yang tersedia per kali napas kita akan berkurang. Hal ini menyebabkan penurunan saturasi oksigen (SpO2) dalam darah (hipoksemia), yang dapat menyebabkan tubuh akan kekurangan oksigen (hipoksia).

Ada beberapa perubahan fisiologis yang terjadi pada tubuh saat berada di ketinggian, dalam hal ini lebih dari 3048 m / 10.000 kaki :

Pertama, terjadi peningkatan ventilasi / frekuensi napas. Tubuh akan berusaha mengompensasi rendahnya kadar oksigen dengan bernapas lebih cepat dan dalam.
Yang kedua, terjadi peningkatan denyut jantung. Jantung bekerja lebih keras untuk memompa lebih banyak darah ke seluruh tubuh

Ketiga, terjadi peningkatan produksi sel darah merah. Dalam jangka waktu yang lebih panjang, tubuh memproduksi lebih banyak sel darah merah untuk meningkatkan kapasitas pengangkutan oksigen.

Yang terakhir, akan ada perubahan keseimbangan asam-basa. Peningkatan frekuensi napas menyebabkan penurunan kadar karbondioksida / CO₂ dalam darah, yang dapat menyebabkan alkalosis respiratorik, suatu keadaan yang sangat berbahaya untuk jaringan tubuh kita, yang jika berlanjut dan berat akan bisa menyebabkan kematian.

Beberapa Bahaya Utama di Ketinggian

Ada beberapa bahaya utama akibat paparan kondisi ekstrim di ketinggian. Di antaranya:

1. Penyakit Akut Gunung (Acute Mountain Sickness - AMS)

AMS adalah kondisi paling umum yang dialami pendaki pada ketinggian. Biasanya gejala ringan sudah bisa terjadi di atas ketinggian 2.500 meter, yang akan terus memberat seiring bertambahnya ketinggian. Gejala AMS biasanya muncul dalam 6-12 jam setelah mencapai ketinggian dan meliputi: sakit kepala,mual dan muntah, kehilangan nafsu makan, kelelahan dan merasa lemah, pusing, sampai terajdinya gangguan tidur. Jika tidak ditangani, AMS dapat berkembang menjadi kondisi yang lebih serius dan mengancam jiwa.

2. Pembengkakan Paru-paru di Ketinggian (High Altitude Pulmonary Edema - HAPE)

HAPE adalah penumpukan cairan di paru-paru yang dapat terjadi pada ketinggian di atas 3.048 meter / 10000 kaki. Kondisi ini berpotensi fatal dan memerlukan evakuasi medis segera. Gejala HAPE meliputi: sesak napas bahkan saat istirahat, batuk kering yang kemudian menjadi batuk dengan dahak berbuih atau berdarah, demam, bibir atau kuku membiru (sianosis), denyut jantung cepat, kelelahan ekstrem dan tubuh menjadi sangat lemah.

3. Pembengkakan Otak di Ketinggian (High Altitude Cerebral Edema - HACE)

HACE adalah penumpukan cairan di otak dan merupakan komplikasi paling berbahaya dari penyakit ketinggian. Seperti HAPE, HACE juga berpotensi fatal dan memerlukan evakuasi medis segera. Gejala HACE meliputi: nyeri kepala parah yang tidak respons terhadap obat nyeri kepala, ataksia (gangguan koordinasi, berjalan sempoyongan), kebingungan dan perubahan status mental, halusinasi, sampai terjadinya penurunan kesadaran / pingsan hingga koma, dan berakhir dengan kematian.

4. Kelainan Retina Mata di Ketinggian Tinggi (High Altitude Retinopathy - HAR)

HAR adalah kondisi yang memengaruhi retina mata akibat hipoksia dan perubahan tekanan pada pembuluh darah. Gejalanya meliputi: gangguan penglihatan dan perdarahan retina. Dalam kasus yang parah, dapat menyebabkan kebutaan sementara bahkan permanen.

5. Kelainan akibat Suhu Dingin di Ketinggian

Suhu di gunung tinggi dapat sangat rendah, terutama di malam hari. Selain itu, angin kencang dapat meningkatkan efek pendinginan (wind chill factor). Hipotermia (penurunan suhu tubuh di bawah 35°C), dapat menyebabkan gangguan fungsi otak dan jantung, bahkan kematian jika tidak ditangani. Juga dapat terjadi Frostbite (radang dingin), yaitu kerusakan jaringan akibat pembekuan, terutama pada jari tangan, jari kaki, telinga, dan hidung. Juga akibat suhu dingin dapat terjadi Chilblains dan Trench Foot, suatu kerusakan jaringan akibat paparan dingin yang berkepanjangan tanpa ada pembekuan. Dalam kasus almarhumah Lilie dan Elsa, hipotermia kemungkinan menjadi penyebab utama kematian mereka di Puncak Cartenz.

6. Dehidrasi dan Malnutrisi

Di ketinggian, tubuh kehilangan lebih banyak cairan melalui pernapasan dan keringat, sementara udara kering dapat mempercepat penguapan. Dehidrasi dapat memperburuk gejala penyakit ketinggian dan mengurangi kinerja fisik secara keseluruhan. Selain itu, pendakian yang melelahkan membutuhkan energi / kalori tinggi, sementara secaraa paradoks nafsu makan sering menurun di ketinggian.

7. Kelelahan dan Gangguan Tidur

Hipoksia dan kondisi lingkungan yang ekstrim dapat menyebabkan kelelahan kronis dan gangguan tidur, yang mengganggu kemampuan penilaian dan pengambilan keputusan, sehinggan meningkatkan risiko kecelakaan di medan yang berbahaya tersebut.

Strategi Pencegahan dan Penanganan

1. Aklimatisasi yang Tepat

Aklimatisasi adalah proses penyesuaian tubuh terhadap ketinggian secara bertahap. Beberapa prinsip aklimatisasi yang baik: naik secara bertahap, dengan peningkatan ketinggian tidur tidak lebih dari 300-500 meter per hari setelah mencapai 3.048 /10.000 meter. Juga penting mengikuti prinsip "climb high, sleep low" (mendaki tinggi, tidur rendah). Juga diperlukan untuk menyisipkan hari istirahat untuk setiap kenaikan 1.000 meter. Jadi prinsip utama aklimatisasi yang paling penting adalah tidak langsung menuju ketinggian ekstrim (umumnya di atas 3.500 meter) tanpa aklimatisasi yang memadai.

2. Latihan Pre-Aklimatisasi dengan Hypoxic Chamber

Hypobaric chamber (ruang hipobarik) atau bisa juga disebut ruang latihan hipoksia, adalah fasilitas yang dapat mensimulasikan kondisi ketinggian dengan mengurangi kadar oksigen atau tekanan udara. Alat ini terdapat di Indonesia, yaitu di Lembaga Kesehatan Penerbangan dan Ruang Angkasa (LAKESPRA) TNI-AU. Metode pre-aklimatisasi ini semakin populer di kalangan pendaki profesional dan atlet ketinggian. Ada beberapa manfaat hypobaric chamber ini untuk pendaki gunung. Pertama, memungkinkan tubuh pendaki beradaptasi dengan kondisi hipoksia sebelum benar-benar berada di ketinggian. Kedua, latihan ini dapat dapat mengurangi risiko penyakit ketinggian karena rendahnya tekanan udara. Ketiga, latihan di ruangan hipobarik ini juga dapat meningkatkan performa (physical fitnes dan endurance) di ketinggian. Tentu saja bagi mereka yang memiliki waktu terbatas untuk aklimatisasi, latihan di ruangan khusus ini akan lebih bermanfaat. Protokol pelatihan biasanya berdurasi 60-90 menit setiap sesinya dalam chamber, dengan ketinggian simulasi yang ditingkatkan secara progresif selama beberapa minggu.

3. Obat-obatan dan Suplemen

Apakah ada obat yang bermanfaat untuk disiapkan untuk pendakian gunung tinggi? Ada beberapa obat dapat membantu mencegah atau mengatasi penyakit ketinggian. Misalnya, Acetazolamide (Diamox) dapat membantu mempercepat aklimatisasi dengan meningkatkan ventilasi dan mengurangi alkalosis. Ada juga obat Dexamethasone, sejenis obat steroid yang efektif untuk mencegah dan mengobati HACE, tetapi obat ini tidak ditujukan untuk mempercepat aklimatisasi. Juga ada obat Nifedipine, yang dapat membantu mencegah dan mengobati HAPE. Juga ada obat anti inflamasi non steroid (AINDS) seperti Ibuprofen, yang dapat membantu mengurangi sakit kepala terkait AMS. Suplemen seperti Fe (zat besi) mungkin dapat membantu pembentukan sel darah merah. Namun demikian, obat-obat diatas sebelum dibawa ke ekspedisi, harus dikonsultasikan dengan dokter, karena memiliki efek samping juga dan umumnya perlu resep dokter.

Hal yang perlu diingat adalah bahwa obat-obatan apa pun tidak dapat menggantikan aklimatisasi yang tepat dan, sekali lagi diingatkan, harus digunakan di bawah pengawasan medis.

4. Hidrasi dan Nutrisi yang Adekuat

Perlu disadari ada bebeapa kebiasaan terkait hidarsi dan nutrisi yang perlu dilakukan. Misalnya minum setidaknya 3-4 liter cairan per hari, lebih banyak dari kebiasaan 2 liter pe menit. Juga mengkonsumsi makanan tinggi karbohidrat (60-70% dari total kalori) dan yang mudah dicerna sangat dibutuhkan, karena tenaga akan sangat terkuras. Juga agar dihindari alkohol atau merokok.

5. Peralatan dan Pakaian yang Sesuai

Untuk mencegah hipotermia / suhu dingindan kondisi ekstrim di ketinggian dibutuhkan peralatan dan pakaian yang sesuai. Pakaian berlapis dengan prinsip tiga lapis: base layer (wicking), middle layer (insulating), outer layer (waterproof/windproof). Juga memakai Sarung tangan, kaus kaki, dan penutup kepala yang memadai. Juga Sleeping bag dengan rating suhu yang sesuai. Disiapkan juga alas tidur yang tebal untuk isolasi dari tanah dingin. Prinsipnya bawalah peralatan pendakian yang tepat untuk medan yang akan dihadapi.

Pertimbangan Khusus untuk Pendaki Lansia

Mengingat kasus almarhumah Lilie dan Elsa yang berusia 60 tahun, ada beberapa pertimbangan tambahan untuk pendaki lansia. Harus dilakukan pemeriksaan kesehatan menyeluruh 1-4 minggu pra pendakian, seperti fungsi jantung, paru-paru, dan analisis risiko kardiovaskular. Medical check up lengkap juga sebaiknya dilakukan 3-6 bulan sebelum pendakian. Pada lansia, juga disarankan aklimatisasi lebih lama. Ini disebabkan tubuh yang lebih tua mungkin membutuhkan waktu lebih lama untuk beradaptasi.Juga harus memperhatikan obat-obatan yang rutin diminum. Harus disadari, bahwa ada beberapa obat yang dapat berefek berbeda di ketinggian atau mungkin mempengaruhi respons fisiologis terhadap ketinggian. Pada lansia juga perlu membatasi beban fisik dan jangan malu untuk lebih banyak menggunakan peran porter untuk membawa peralatan. Dan yang terakhir, perlu dibuat jadual yang lebih konservatif, dimana direncanakan perjalanan dengan waktu lebih panjang, cuaca musim yang lebih bersahabat da pilihlah jalur yang kurang menantang.

Kesimpulan

Pendakian gunung tinggi seperti Puncak Cartenz, Everest, atau puncak tinggi lainnya, menghadirkan tantangan fisiologis yang signifikan bagi tubuh manusia. Hipoksia, penyakit ketinggian, dan kondisi lingkungan ekstrim dapat berakibat fatal jika tidak diantisipasi dan ditangani dengan tepat. Kasus meninggalnya Lilie Wijayati dan Elsa Laksono di Puncak Cartenz mengingatkan kita tentang pentingnya persiapan, aklimatisasi yang tepat, dan respons cepat terhadap tanda-tanda bahaya, seperti suhu dingin dan lainnya.

Bagaimanapun, pendakian gunung tinggi tetap menjadi aktivitas yang memungkinkan bagi banyak orang, termasuk mereka yang berusia lanjut, asalkan dilakukan dengan persiapan yang tepat, pemahaman tentang risiko, dan batas kemampuan pribadi serta kondisi gunung. Penggunaan teknologi modern seperti hypobaric chamber yang ada Lakespra Saryanto -Jakarta untuk pre-aklimatisasi dapat menjadi strategi berharga untuk meningkatkan keamanan dan keberhasilan pendakian. Pada akhirnya, kembali dengan selamat adalah prioritas utama dari setiap pendakian.

Catatan: Penulis merupakan seorang dokter spesialis kedokteran penerbangan/pemerhati kedokteran di ketinggian/high altitude medicine. Artikel ini disusun sebagai penghormatan kepada almarhumah Lilie Wijayati dan drg. Elsa Laksono, serta sebagai sumber informasi untuk meningkatkan kesadaran tentang bahaya ketinggian gunung tinggi dan cara penanganannya.


(up/up)

Read Entire Article
Kabar Sehat | Legenda | Hari Raya | Pemilu |