Mohamed Attiya, pria 54 tahun di Gaza, dua kali seminggu harus menggunakan kursi roda melewati jalanan rusak demi menjalani cuci darah di Rumah Sakit Shifa. Ia sudah 15 tahun hidup dengan gagal ginjal, namun kini perawatan yang diterimanya sangat terbatas akibat perang dan kekurangan pasokan medis.
Menurut Kementerian Kesehatan Gaza, lebih dari 400 pasien gagal ginjal telah meninggal selama 18 bulan perang karena tidak mendapat perawatan memadai. Sejak Maret, Israel menutup penuh akses impor, termasuk makanan dan alat medis, membuat kondisi pasien semakin kritis.
Attiya seharusnya menjalani tiga kali cuci darah seminggu, masing-masing empat jam. Kini ia hanya mendapat dua sesi, masing-masing dua atau tiga jam. Blokade dan perintah evakuasi dari Israel mempersulit akses pasien ke rumah sakit.
Attiya sudah enam kali mengungsi sejak perang dimulai, mulai dari Beit Hanoun hingga Rafah, Deir al-Balah, lalu ke sekolah di Gaza barat. Kondisi tubuhnya memburuk, ia kini harus memakai kursi roda karena kurangnya perawatan dan mahalnya harga air minum.
Kota Gaza yang dilalui Attiya kini hancur. Jalanan rusak, transportasi lumpuh, dan harga kebutuhan melambung tinggi. Attiya mengaku mulai mengalami halusinasi akibat tingginya kadar racun dalam darahnya.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan enam dari tujuh pusat cuci darah di Gaza hancur. Dari 182 mesin dialisis sebelum perang, kini tersisa 102, dan banyak pasien terpaksa bertahan dengan sesi cuci darah yang lebih sedikit.
WHO juga melaporkan stok obat-obatan ginjal di Gaza sudah habis. Sementara itu, Israel beberapa kali menyerbu rumah sakit, menuding Hamas menggunakan fasilitas medis untuk kepentingan militer, tuduhan yang dibantah staf rumah sakit.
Kementerian Kesehatan Gaza menyatakan lebih dari 51.000 warga Palestina, sebagian besar perempuan dan anak-anak, tewas dalam serangan Israel. Sementara itu, serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 menewaskan sekitar 1.200 orang di Israel.
Di Rumah Sakit Shifa, Kepala Departemen Nefrologi Dr. Ghazi al-Yazigi menyebut 417 pasien gagal ginjal telah meninggal selama perang. Kondisi memburuk karena sesi cuci darah yang lebih jarang dan lebih pendek meningkatkan risiko kematian.
Pasien baru seperti Mohamed Kamel mengaku merasa tak ada perbaikan meski sudah menjalani cuci darah. Selain perawatan minim, ia juga kekurangan air minum bersih karena listrik dan pasokan air di Gaza terputus.