Jakarta - Mayoritas konsumen di lima kota besar, termasuk Jakarta, Medan dan Bali, menginginkan pemerintah mempercepat implementasi pelabelan risiko senyawa kimia berbahaya Bisfenol A (BPA) pada galon guna ulang sebagai bentuk transparansi. Hal ini berdasarkan hasil survei dan investigasi lapangan yang dilakukan Komunitas Konsumen Indonesia (KKI), lembaga advokasi hak-hak konsumen berbasis di Jakarta.
"Survei KKI mendapati hampir separuh (43,4%) dari responden survei ternyata tidak mengetahui adanya peraturan pelabelan peringatan BPA yang telah ditetapkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Namun setelah mendapatkan informasi terkait hal tersebut, mayoritas responden (96%) mendesak pelabelan segera diterapkan tanpa menunggu masa tenggang (grace period) 4 tahun," kata Ketua KKI David M.L. Tobing dalam keterangan tertulis, Kamis (23/1/2025).
Menurut David, temuan tersebut perlu disikapi serius oleh berbagai pihak, terutama pemerintah dan pelaku usaha industri Air Minum Dalam Kemasan (AMDK). Apalagi mempertimbangkan dampak paparan BPA bagi kesehatan masyarakat.
"Mewakili suara konsumen, KKI mendesak pemerintah mempercepat implementasi pelabelan BPA. Menurut kami, tak perlu menunggu sampai 2028. Toh BPA adalah ancaman nyata bagi kesehatan publik dan pelabelan merupakan bentuk transparansi sekaligus pendidikan terbaik untuk konsumen," ujarnya.
Seperti diketahui pada April 2024 BPOM resmi mengharuskan industri AMDK memasang label peringatan risiko BPA pada semua galon polikarbonat, galon dari jenis plastik keras yang paling jamak di pasaran, selambat-lambatnya April 2028.
Regulasi itu menyusul temuan lapangan BPOM selama dua tahun berturut-turut yang menunjukkan kontaminasi BPA pada galon bermerek di sejumlah provinsi, termasuk Jakarta, Bandung dan Medan, telah melewati ambang batas berbahaya.
David menjelaskan riset KKI awalnya dipicu oleh fenomena maraknya perdebatan di media massa dan media sosial terkait risiko BPA pada kesehatan publik.
"Kami di KKI sampai terheran-heran bagaimana bisa muncul banjir opini yang seolah ingin mengesankan tak ada yang perlu dicemaskan dari paparan BPA yang bersumber dari plastik kemasan pangan, termasuk galon air minum bermerek," kata David.
Padahal, kata dia, terdapat ratusan penelitian ilmiah kredibel yang menunjukkan risiko kesehatan dari paparan BPA terhadap tubuh manusia. Riset di berbagai negara menunjukkan paparan BPA pada tubuh berkorelasi dengan gangguan sistem reproduksi, penyakit kadiovaskular, kanker, penyakit ginjal, hingga memicu gangguan tumbuh kembang pada anak.
Sementara itu, otoritas keamanan pangan di berbagai negara juga telah mengeluarkan beragam kebijakan untuk mencegah risiko paparan BPA pada kesehatan konsumen.
"Bukti terbarunya bisa dilihat dari kebijakan Uni Eropa yang melarang total penggunaan BPA sebagai zat kontak pangan per 1 Januari 2025," kata David.
Dia pun mendesak pemerintah agar menggencarkan edukasi publik terkait risiko BPA pada galon polikarbonat. Hal ini dilakukan demi meningkatkan transparansi dan perlindungan konsumen.
"KKI sendiri berharap hasil survei dan investigasi ini dapat memberikan pandangan yang lebih jelas kepada publik mengenai urgensi penanganan persoalan BPA dalam kemasan galon guna ulang," kata David.
Sebagai informasi, survei KKI dilakukan selama kurun waktu Oktober-Desember 2024, dengan melibatkan 495 responden dari lima kota besar, yakni Jakarta, Medan, Bali, Banjarmasin, dan Manado. Survei dibarengi dengan investigasi lapangan atas 31 objek usaha, termasuk agen distributor, truk pengangkutan, rumah tangga dan depot isi ulang.
(anl/ega)