Kementerian Kesehatan RI (Kemenkes) melalui Rumah Sakit Pusat Otak Nasional Prof Dr dr Mahar Mardjono, Rumah Sakit Soeharto Heerdjan, dan Rumah Sakit Otak Dr Drs M Hatta Bukittinggi menggelar acara tabur bunga di taman pemakaman umum (TPU) Tanah Kusir, Jakarta Selatan pada Selasa (5/11/2024). Acara tabur bunga ini dilakukan di pusara makam Bung Hatta, dr Soeharto Heerdjan SpKJ, dan Prof dr H Mahar Mardjono. Foto: Devandra Abi Prasetyo/detikHealth
Putri ke-2 Proklamator RI Drs Mohammad Hatta, Gemala Rabi'ah Hatta, berterima kasih kepada Kemenkes karena melalui tabur bunga ini dianggapnya sebagai pengingat perjuangan sang Ayah dalam kemerdekaan Indonesia. "Saya bersyukur bahwa pemerintah memberikan nama rumah sakit otak dengan nama Mohammad Hatta," ujar Gemala kepada detikcom di komplek TPU Tanah Kusir, Jakarta Selatan, Selasa (5/11/2024). Foto: Devandra Abi Prasetyo/detikHealth
Gemala bercerita bahwa semasa hidupnya, Bung Hatta sangat menjaga kesehatan tubuhnya. Menurut Gemala, banyak masyarakat yang belum tahu bahwa Bung Hatta sangat menyukai makanan-makanan yang dikukus, seperti orang Sunda. Selain itu, meskipun Bung Hatta merupakan sosok asli Minang, Gemala bercerita bahwa sang Ayah sangat jarang sekali makan rendang. "Makan tempe bacem, iya. Makan tahu (kukus) dia ok. Selain itu banyak makan sayur, setiap hari itu harus ada itu sayur pare. Ayah saya sangat menjaga (kesehatan), preventif, pencegahan itu lebih baik daripada membenahi atau mengobati," kata Gemala. Foto: Devandra Abi Prasetyo/detikHealth
Sementara itu, Prof dr H Mahar Mardjono merupakan mantan Rektor Universitas Indonesia dan Guru Besar Neurologi pertama di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI). Nama besar dr Mahar Mardjono bahkan menjadi nama dari salah satu gedung di Kementerian Kesehatan RI, serta dijadikan sebagai nama jalan di Universitas Indonesia, dan sebagai nama di Rumah Sakit Pusat Otak Nasional (RS PON) di Cawang, Jakarta Timur. Foto: Devandra Abi Prasetyo/detikHealth
Putra ketiga dr Mahar Mardjono, Satria mengatakan semasa hidupnya sang ayah dikenal sebagai sosok yang hangat dan dermawan. Sebagai seorang dokter, sang Ayah tidak membeda-bedakan pasien yang datang padanya. "Kalau menolong itu tidak boleh pilih-pilih. Itu yang dikenalkan pada kami itu, kalau mau menolong harus ikhlas, nggak boleh pamrih. Zaman ayah saya dulu, bahkan orang yang nggak punya uang juga ditolong. Nilai-nilai itu yang masih membekas di kami (anak-anaknya)," kata Satria. Foto: Devandra Abi Prasetyo/detikHealth
Tokoh lainnya, dr Soeharto Heerdjan SpKJ, diabadikan menjadi nama dari salah satu rumah sakit jiwa di bilangan Grogol, Jakarta Barat. Putra kelima dr Soeharto Heerdjan, Satria Budi bercerita bahwa sebelum menjadi tenaga medis, sang ayah merupakan anggota TNI Angkatan Darat. "Pada saat agresi Belanda kedua, bapak saya ditangkap sama Belanda. Dipenjara selama 3 tahun, lalu pada tahun 1950 Belanda hengkang dari Indonesia, bapak saya mengajukan ke atasannya untuk mundur dari TNI," kata Satria. "Ditanya sama bosnya 'kenapa kamu mau keluar dari TNI?', karena orang tua saya mengharapkan saya jadi dokter. Setelah itu bapak saya masuk ke Universitas Indonesia untuk kuliah di sana dan jadi psikiater seperti sekarang," lanjut dia. Foto: Devandra Abi Prasetyo/detikHealth
Semasa hidupnya, dr Soeharto Heerdjan SpKJ dikenal sebagai sosok yang sangat mencintai profesinya sebagai dokter. Satria bercerita bahkan ayahnya dulu sering sekali membantu pasien yang datang tanpa membawa uang. "Itu dulu banyak yang cuma membayar pakai nasi padang, pakai buah, pakai pisang. Tapi tetap dilayani dengan baik oleh bapak saya. Saya sampai sekarang belum ketemu dokter yang mau dibayar pakai pisang atau nasi padang," kata Satria. Foto: Devandra Abi Prasetyo/detikHealth