Jakarta, CNBC Indonesia - Perang dagang lewat penetapan tarif resiprokal ala Amerika Serikat (AS) terhadap banyak negara, termasuk China, memasuki babak baru. Kali ini Presiden AS Donald Trump mengeluarkan gebrakan baru dengan mulai bersikap 'lunak' terhadap Beijing.
Berikut update terbaru perang dagang AS, seperti dihimpun CNBC Indonesia dari berbagai sumber pada Jumat (25/4/2025).
Jilat Ludah Sendiri, Trump Bakal Turunkan Tarif China 50%
Setelah saling melempar tarif dengan China, kini Trump tengah mempertimbangkan penurunan tarif pada barang-barang impor Beijing sambil menunggu pembicaraan dengan negara yang dipimpin oleh Presiden Xi Jinping tersebut.
Mengutip Reuters, seorang sumber yang mengetahui masalah tersebut mengatakan bahwa tindakan apa pun tidak akan dilakukan secara sepihak. Ini juga menyusul laporan Wall Street Journal (WSJ) bahwa Gedung Putih sedang mempertimbangkan pemotongan tarifnya pada impor China dalam upaya untuk meredakan ketegangan.
"Tarif China dapat turun dari level saat ini sebesar 145% menjadi antara 50% dan 65%," tulis seorang sumber yang pejabat Gedung Putih itu, dikutip Kamis (24/4/2025).
Sebenarnya Trump juga menegaskan hal yang sama. Ia sempat berujar pihaknya akan mencapai kesepakatan yang adil dengan China, saat berbicara kepada wartawan pada hari Rabu meski tak membahas spesifik tulisan WSJ.
Pernyataannya mengikuti komentar optimis yang dibuatnya pada Selasa bahwa kesepakatan untuk menurunkan tarif adalah mungkin. Juru bicara Gedung Putih Kush Desai mengatakan laporan apa pun tentang tarif adalah "spekulasi murni" kecuali jika datang langsung dari Trump.
Sementara Menteri Keuangan Scott Bessent mengatakan kedua negara melihat tarif saat ini tidak berkelanjutan, tetapi mengatakan dia tidak tahu kapan negosiasi akan dimulai.
Sebelumnya, China telah membalas Trump dengan tarif 125% atas impor AS. Sejumlah tindakan lain juga dilakukan China, termasuk dengan melarang ekspor sejumlah mineral pentingnya ke AS.
China Bantah Nego Tarif dengan AS
Di tengah spekulasi pelonggaran perang dagang oleh pemerintahan Trump, China memberikan klarifikasi tegas bahwa tidak pernah ada negosiasi tarif dengan Washington, meskipun klaim sebaliknya berkali-kali disampaikan oleh pihak AS
"Jika Amerika Serikat benar-benar ingin menyelesaikan persoalan perdagangan ini, maka mereka harus mencabut seluruh tindakan tarif sepihak terhadap China," ujar juru bicara Kementerian Perdagangan China, He Yadong, dilansir Reuters.
Ia menambahkan dengan peribahasa klasik, "Orang yang mengikat lonceng, haruslah pula yang melepasnya."
Pernyataan dari He Yadong ini merupakan penegasan ulang dari sikap China yang membantah adanya perundingan apa pun dengan pihak AS. Hal ini kontras dengan pernyataan berulang dari Presiden Trump yang mengatakan bahwa telah terjadi "kontak langsung" antara kedua negara.
Dalam konferensi pers terpisah pada Kamis, juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Guo Jiakun, juga memberikan respon serupa.
"China dan Amerika Serikat belum pernah melakukan konsultasi atau negosiasi soal tarif, apalagi mencapai kesepakatan," tegas Guo. Ia bahkan menyebut klaim tentang adanya pembicaraan sebagai "berita palsu".
Tesla Babak Belur Akibat Perang Dagang China-AS
Perang dagang antara AS dan China berdampak pada bisnis raksasa teknologi yang bergantung pada fasilitas produksi dan komponen dari negara kekuasaan Xi Jinping. Salah satu yang kena hantaman keras adalah Tesla.
Sepanjang 2025, saham Tesla sudah anjlok 33,89%. Bukan cuma perang dagang yang menampar Tesla, tetapi juga aksi boikot yang meluas di mana-mana usai CEO Elon Musk bergabung ke pemerintahan Presiden Donald Trump untuk mengepalai Lembaga Efisiensi Pemerintah (DOGE).
Pada perdagangan yang ditutup Rabu (23/4) waktu setempat, saham Tesla menanjak 5,37% pasca Musk melaporkan kinerja kuartal pertama (Q1).
Kendati demikian, Musk tak menampik tantangan yang dialami perusahaan karena perang dagang AS-China. Salah satunya terkait produksi robot mirip manusia (humanoid) Optimus yang dikatakan terdampak pembatasan ekspor magnet tanah jarang dari China.
Musk mengatakan China ingin memastikan magnet bumi jarang miliknya tak digunakan untuk kepentingan militer AS. Saat ini, Musk mengaku Tesla sedang dalam proses untuk berdiskusi dengan Beijing agar bisa mendapat lisensi ekspor penggunaan magnet tanah jarang.
"China mau ada jaminan bahwa magnet tanah jarang tidak digunakan untuk tujuan militer. Tentu saja kami tidak akan menggunakannya untuk militer. Kami menggunakannya untuk robot humanoid," kata Musk dalam laporan kinerjanya, dikutip dari Reuters, Kamis.
Musk menegaskan bahwa robot humanoid Optimus bukan senjata.
Bulan ini, China telah mengumumkan pembatasan ekspor magnet tanah jarang sebagai balasan atas tarif resiprokal yang ditetapkan Trump.
Pesawat Boeing Ditolak China-Dikirim Balik ke AS
Pabrikan pesawat terkemuka AS, Boeing, menghadapi pukulan berat setelah sejumlah pelanggan di China menolak menerima pengiriman pesawat baru karena beban tarif yang tinggi.
Situasi ini memaksa Boeing untuk menarik kembali pesawat-pesawat yang sebelumnya sudah dikirim ke China, dan mempertimbangkan untuk mengalihkan pengiriman ke pasar lain.
"Karena tarif, banyak pelanggan kami di China telah menyatakan bahwa mereka tidak akan menerima pengiriman," ujar CEO Boeing Kelly Ortberg dalam panggilan laporan keuangan kuartal pertama pada Rabu, dikutip dari Reuters.
Ortberg menegaskan bahwa permasalahan ini hanya terjadi di China, dan Boeing berencana untuk mengalihkan pesawat-pesawat yang tidak diterima tersebut kepada pelanggan lain yang justru sangat membutuhkan pengiriman lebih cepat karena kelangkaan pesawat komersial global.
Kondisi ini menandai perubahan besar dalam perdagangan pesawat komersial internasional, yang sebelumnya bebas tarif berdasarkan perjanjian penerbangan sipil tahun 1979.
Namun, sejak Presiden Donald Trump meluncurkan ofensif dagangnya terhadap berbagai negara termasuk China, Beijing merespons dengan menerapkan tarif balasan terhadap berbagai produk AS, termasuk pesawat terbang.
Kini, maskapai China yang menerima pengiriman pesawat Boeing harus menanggung beban tarif yang signifikan. Sebuah pesawat 737 MAX baru memiliki nilai pasar sekitar US$55 juta, menurut firma konsultan penerbangan IBA.
Bukti nyata dari dampak ketegangan dagang ini terlihat dalam beberapa hari terakhir. Dua unit Boeing 737 MAX 8 yang semula dikirim ke China pada Maret untuk Xiamen Airlines telah kembali ke pusat produksi Boeing di Seattle.
Pada Kamis lalu, sebuah 737 MAX 8 lainnya meninggalkan pusat penyelesaian Boeing di Zhoushan, dekat Shanghai, menuju wilayah AS di Guam, menurut data pelacakan penerbangan dari AirNav Radar dan Flightradar24.
Trump Bakal Berikan Kelonggaran Tarif Sektor Otomotif
Trump dilaporkan akan memberikan kelonggaran tarif terhadap sektor otomotif, khususnya untuk suku cadang mobil. Langkah ini dipandang sebagai kemunduran strategis dalam kebijakan perangnya terhadap perdagangan, sekaligus sinyal bahwa Gedung Putih mulai mempertimbangkan dampak ekonomi dari kebijakan tarif yang agresif.
Berdasarkan laporan dari Financial Times pada Kamis, mengutip dua sumber yang mengetahui langsung proses negosiasi, Trump berencana mengecualikan suku cadang mobil dari tarif tinggi yang dikenakan atas impor dari China, yang semula dimaksudkan sebagai bentuk hukuman terhadap peran negara tersebut dalam produksi bahan kimia fentanil.
Suku cadang tersebut juga akan dibebaskan dari tarif atas baja dan aluminium, dalam sebuah skema yang disebut "destacking" atau pelonggaran berlapis dari beban tarif.
Meski demikian, pengecualian ini tidak mencakup seluruh sektor otomotif. Tarif sebesar 25% atas semua mobil yang diproduksi di luar negeri tetap diberlakukan. Selain itu, bea serupa sebesar 25% atas suku cadang mobil juga masih akan diterapkan mulai 3 Mei mendatang.
Keputusan ini muncul setelah para eksekutif otomotif AS meningkatkan tekanan kepada pemerintahan Trump untuk tidak membebani industri secara berlebihan.
Xi Jinping Keluarkan Jurus Baru Lawan Perang Dagang Trump
Pemerintah Xi Jinping telah mengeluarkan jurus baru untuk melawan perang dagang Trump. Regulator negara dan dewan perencanaan China kini resmi menerbitkan versi baru "daftar negatif" yang melonggarkan hambatan untuk memasuki ekonomi terbesar kedua di dunia tersebut.
Beijing mengurangi jumlah industri yang dibatasi, dari dari 117 menjadi 106. Daftar negatif tersebut sudah ada sejak 2018 dan menetapkan industri-industri yang aktivitasnya investor asingnya dibatasi atau dilarang.
Mengutip Reuters pada Kamis, pelonggaran ini dilakukan karena tarif AS mengancam tekanan lebih besar pada ekonomi China, yang sudah terpuruk akibat konsumsi domestik yang lemah dan krisis utang di sektor properti.
Komisi Reformasi dan Pembangunan Nasional China (NDRC) mengatakan dalam sebuah pernyataan pada bahwa versi daftar 2025 menurunkan "ambang batas masuk dan merangsang vitalitas pasar".
"Sejumlah bidang telah diliberalisasi sebagian," kata NDRC.
Secara rinci, hal ini termasuk produksi televisi, layanan telekomunikasi, layanan informasi daring untuk farmasi, perangkat medis, penggunaan obat radioaktif oleh lembaga medis serta impor benih hutan.
Pemerintah daerah juga didorong untuk memberikan akses yang lebih besar di bidang-bidang seperti transportasi dan logistik, pengiriman barang, dan layanan penyewaan kendaraan.
"Akses pasar untuk berinvestasi pada kendaraan udara tak berawak dan produk tembakau baru seperti rokok elektrik dimasukkan dalam daftar negatif untuk memastikan keuntungan bersih", kata regulator, tanpa memberikan rincian lebih lanjut.
Korsel Jadi Korban Baru Perang Dagang Trump
Ekonomi Korea Selatan (Korsel) berkontraksi secara tak terduga. PDB kuartal pertama (Q1) 2025, negatif (-) 0,1%. Bank sentral, Bank of Korea, mengatakan negara itu terhuyung-huyung akibat kekacauan politik selama berbulan-bulan. Krisis politik dipicu oleh upaya mantan presiden Yoon Suk Yeol pada bulan Desember untuk menangguhkan pemerintahan sipil, yang berpuncak pada pemakzulan dan pemecatannya dari jabatan bulan ini.
Namun bukan hanya itu. Ekonomi Korsel juga menjadi korban kebijakan perang dagang melalui kenaikan tarif impor Trump.
Sebagai informasi, Korsel adalah ekonomi terbesar keempat di Asia, yang sangat bergantung pada ekspor. Ancaman tarif timbal balik (respirokal) sebesar 25% Trump terhadap Korsel, menyebabkan saham yang terdaftar di Seoul jatuh dan mendorong mata uang tersebut ke level terlemahnya sejak 2009.
"PDB riil turun 0,1% dibandingkan periode yang sama tahun lalu," kata bank sentral dalam siaran pers seraya menambahkan bahwa PDB turun 0,2% dari kuartal sebelumnya, dikutip dari AFP, Kamis.
Ekonomi negara itu tumbuh 1,3% pada Q1 tahun lalu tetapi tumbuh lebih rendah dari yang diharapkan pada Q4, karena dampak dari deklarasi darurat militer Yoon berdampak pada kepercayaan konsumen dan permintaan domestik.
Menurut Layanan Bea Cukai Korea, hingga pertengahan April, ekspor negara itu telah turun lebih dari 5% dibandingkan tahun sebelumnya, dengan penurunan dilaporkan dalam sembilan dari sepuluh kategori ekspor utama negara itu, tidak termasuk semikonduktor.
Penurunan paling tajam terjadi pada ekspor ke AS yang turun lebih dari 14%. Minggu ini, Dana Moneter Internasional (IMF) merevisi tajam perkiraan pertumbuhannya untuk Korsel tahun ini, memangkasnya dari 2,0% menjadi 1,0%.
(tfa/tfa)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Laba Tesla Elon Musk Anjlok 71%
Next Article Dunia Makin Kacau, China Respons Perang Dagang Jilid II Trump