CKG dan Upaya Meningkatkan Kesadaran Kesehatan yang Tak Sesuai Ekspektasi

1 day ago 3

Jakarta -

Al, pria berusia 27 tahun itu sebenarnya tidak niat-niat amat ikut serta di program pemeriksaan kesehatan gratis besutan Presiden Prabowo Subianto lewat Kementerian Kesehatan ini. Jika bukan karena permintaan dari tempatnya bekerja, dia mengaku tak terlalu antusias menjalani cek kesehatan cuma-cuma ini.

"Aku kalo nggak diminta, nggak akan berangkat," kata pria yang berdomisili di Selatan Jakarta itu.

Sejak diluncurkan pertama kali pada 10 Februari 2025, cek kesehatan gratis masih sepi peminat. Per tanggal 12 Mei, baru sekitar 5,3 juta warga yang memeriksakan kesehatannya lewat program ini dari target 50 juta orang tahun ini.

Dari data Kementerian Kesehatan RI, provinsi Jawa Tengah menjadi daerah dengan tingkat partisipasi pemeriksaan kesehatan gratis tertinggi dengan 1,9 juta kehadiran. Disusul Jawa Timur dengan kurang lebih 1 juta yang mengikuti pemeriksaan kesehatan gratis.

Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin mengatakan partisipasi masyarakat mengikuti cek kesehatan gratis ini sangat bergantung dari komitmen pemimpin daerah. Seperti Jawa Barat, dengan jumlah penduduk terbanyak di Indonesia yakni 50,7 juta namun partisipasi pemeriksan kesehatan gratis masih di angka 369 ribu orang.

Minat pemeriksaan kesehatan gratis juga tidak selalu tinggi di kota besar. DKI Jakarta, contohnya, baru mencapai angka 33 ribu sejak program tersebut dimulai.

Pemeriksaan tak sesuai ekspektasi

Hana (28), ibu rumah tangga di Makassar ini sebetulnya antusias dengan cek kesehatan gratis. Namun dia mengaku sedikit kecewa karena pemeriksaan yang menurutnya jauh dari ekspektasi.

Dia mengira akan mendapatkan pemeriksaan lengkap sesuai dengan daftar yang dibagikan di laman media sosial Kemenkes. Di usianya, jika sesuai dengan daftar tersebut, Hana mengira akan mendapat pemeriksaan mulai cek tensi, gula darah, kolesterol hingga deteksi dini risiko kanker.

"Disuruh isi kuisioner, cuma dicek tensi dan gula darah. Kayak gini di apotek mana-mana juga gratis," ungkapnya.

Belum lagi dia juga mengalami kendala mengakses aplikasi Satu Sehat. Beberapa kali tak bisa mendaftar.

"Kesannya 'b' aja (biasa saja) karena mungkin ekspektasiku yang ketinggian atau faskesnya yang kurang. Hal yang berkesan cuma dokternya saat itu ramah sekali," sebut ibu satu anak ini.

Kurang Tertarik

Archie (29), seorang pekerja swasta di Tangerang Selatan mengaku kurang tertarik dengan 'medical check up' besutan pemerintah itu. Sampai saat ini pun dia tidak mengetahui secara pasti alur dan layanan pemeriksaan dari cek kesehatan gratis.

Di lingkungannya juga masih bisa dihitung jari kerabat atau keluarganya yang ikut program tersebut. Dia lebih memilih mengikuti pemeriksaan kesehatan berbayar yang lebih lengkap karena menganggap lebih komperhensif dibandingkan cuma-cuma.

"Males disuruh isi ini itu. Belum lagi harus download aplikasinya. Ribet," ungkap dia.

Hal ini sedikit berbeda dengan pernyataan Menkes Budi yang menyebut antusiasme CKG sudah baik dan sesuai target tahun ini yakni 50 juta orang menjadi penerima.

CKG dan 'kecemasan kesehatan'

Epidemiolog Dicky Budiman menanggapi terkait program CKG yang sepi peminat bahkan di kota besar seperti Jakarta. Meski Menkes mengatakan animo masyarakat cukup baik, data menunjukkan distribusi capaian yang timpang antar provinsi.

Ada beberapa faktor yang kemungkinan melatarbelakangi mulai dari kurangnya literasi dan kesedaran tentang pentingnya deteksi dini. Akses informasi tinggi, kata Dicky, tidak selalu berbanding lurus dengan literasi kesehatan.

"Mayoritas masyarakat tampaknya belum memahami bahwa deteksi dini penyakit seperti diabetes, hipertensi, penyakit ginjal kronis sebelum ada gejala itu dapat menyelamatkan nyawa dan mengurangi biaya pengobatan jangka panjang," beber Dicky.

Selain itu komunikasi publik pemerintah masih kurang baik dan berkontribusi dengan animo masyarakat yang relatif rendah di kota besar. Dia juga menyoroti terkait 'health anxiety' sehingga masyarakat enggan mengikuti program ini.

"Seringkali anggapan ini diperparah dengan anggapan bahwa mengetahui hasil tadi, hasil cek screening tadi dan buruk, itu akan membuat hidupnya lebih terbebani, penyakit lebih terasa. Nah ini yang artinya kembali ke literasi, kembali ke komunikasi risiko tadi yang harus jadi juga andalan dalam setiap program pemerintah."

Skeptis dengan yang gratis

Penyebab rendahnya partisipasi lainnya adalah karena persepsi terhadap program layanan publik cenderung buruk. Dicky menyebut sebagian masyarakat kota besar bisa cenderung skeptis terhadap layanan yang bersifat massal dan gratis karena meragukan kualitasnya, privasi datanya.

"Apalagi kalau untuk kota besar yang well educated itu ya akan concernnya seperti itu. Nah bahkan artinya mungkin yang lebih ekonomi ke atas ya, dia akan memilih memeriksa diri di fasilitas kesehatan swasta gitu," ucapnya.

Program CKG bertujuan untuk meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat Indonesia dan mengurangi beban penyakit yang bisa dicegah. CKG akan dilaksanakan berdasarkan siklus hidup masyarakat, dengan fokus utama pada tiga momentum pelaksanaan: CKG ulang tahun, CKG sekolah, dan CKG khusus untuk ibu hamil dan balita.

Program yang baik ini menurut Dicky akan lebih diminati masyarakat jika pemerintah mulai serius untuk memperbaiki pola komunikasi risiko. Bisa dengan pendekatan berbasis komunitas atau community based screening dengan melibatkan tokoh masyarakat, kader, relawan, kesehatan sehingga bisa menjangkau warga secara langsung.

"Selain itu harus ada integrasi dengan program pelayanan primer yang ada dan mobile clinic. Misalnya program vaksinasi dibarengin, atau screening ibu hamil. sehingga ini memudahkan masyarakat," pungkasnya.


(kna/up)

Read Entire Article
Kabar Sehat | Legenda | Hari Raya | Pemilu |