Jakarta -
Gaduh kolegium kesehatan belakangan dinilai tak lagi independen, disebut-sebut diambil alih Kementerian Kesehatan RI. Tidak sedikit masyarakat yang menilai cekcok tersebut hanya berkaitan dengan kepentingan elit dan politis kalangan tertentu.
Menurut Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK UI) Prof Ari Fahrial Syam, dampaknya dalam jangka panjang bisa lebih luas. Bahkan berujung bagi pelayanan masyarakat.
Ia mengingatkan intervensi kebijakan bisa jadi tidak lagi berbasis akademik bila kolegium kehilangan 'independensi-nya'. Sebagai catatan, fungsi kolegium adalah merumuskan kurikulum Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) hingga mengevaluasi pendidikan.
"Jika peran kolegium dilemahkan, maka akan terjadi degradasi kualitas tenaga medis dan hilangnya kepercayaan publik terhadap profesi kedokteran di negeri sendiri," beber Prof Ari dalam konferensi pers Jumat (16/5/2025).
Prof Ari menyoroti beberapa kolegium yang kini dibentuk pemerintah tidak seluruhnya melibatkan Guru Besar. Padahal, keterlibatan Guru Besar penting untuk memastikan kompetensi PPDS, sesuai kepakaran.
"Kolegium ini sekumpulan para pakar. Yang sebelumnya ngumpul di kolegium itu adalah ketua program studi, misalnya kolegium penyakit dalam, itu para ketua program studi duduk bersama untuk membahas kurikulum dan segala macamnya, nah memang UU baru dan peraturan pemerintah ini sebenarnya poinnya tetap sama bahwa kolegium itu terdiri dari para guru besar, kemudian para pakar di bidangnya," lanjutnya.
Namun, menurut dia, dalam praktiknya, tidak sesuai seperti yang diharapkan. Walau beberapa kolegium program studi ada yang tetap melibatkan Guru Besar, beberapa di antaranya sudah tidak lagi menganggap keterlibatan tersebut penting. Dia mencontohkan hal yang sama terjadi pada kolegium anak dan obgyn.
Proses voting atau pemilihan kolegium juga dinilai Prof Ari tidak transparan dan kurang lebih banyak 'dititipkan' oleh Kementerian Kesehatan RI.
"Sehingga wajar kalau kami menanyakan ini benar nggak nih kolegium yang sekarang?" lanjutnya.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Senat Akademik UI Prof Dr dr Budi Wiweko menggambarkan kolegium yang tidak melibatkan kepakaran, mengabaikan kompetensi, bak gagal membuat resep enak dalam makanan.
"Kalau ibarat masakan, pengen membuat masakan yang enak, masakan sangat bergantung dari koki. Resepnya harus bagus, dan rumah makannya harus cantik, jadilah masakan yang enak. Kalau ibaratnya seperti itu, kolegium itu resepnya dari yang paling enak, paling updated, paling terkini, itu kolegium," jelas dia.
Artinya, kolegium yang independen menentukan kualitas kurikulum PPDS agar nantinya bisa menjadi tenaga kesehatan yang berdampak baik bagi masyarakat.
NEXT: Kemenkes RI Buka Suara
Kementerian Kesehatan RI melihat keprihatinan lebih dari 100 Guru Besar FK UI sebagai bagian dari kekhawatiran adanya reformasi sistem kesehatan sejak terbitnya Undang-Undang Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023. Pihaknya menyadari hal semacam ini memang bisa memicu perdebatan maupun kesalahpahaman.
Terkait kolegium, Kemenkes RI mengklaim posisinya saat ini lebih independen, ketimbang sebelumnya berada di bawah organisasi profesi sebelum disahkan UU baru.
"Kini, kolegium menjadi alat kelengkapan Konsil Kesehatan Indonesia (KKI), yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Dengan demikian, kolegium tidak berada di bawah Kemenkes," tandas Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Aji Muhawarman dalam keterangannya, Jumat (16/5/2025).
"Proses pemilihan anggota kolegium yang ditetapkan pada Oktober 2024 dilakukan secara transparan melalui pemilihan langsung oleh tenaga medis/tenaga kesehatan. Kemenkes tidak pernah bermaksud menimbulkan kesan negatif terhadap profesi dokter maupun tenaga kesehatan lainnya," lanjut Aji.
Penjelasan yang disampaikan selama ini bertujuan untuk mengungkapkan fakta di lapangan, khususnya terkait proses pendidikan dokter spesialis, demi melindungi peserta didik dari praktik perundungan atau kekerasan yang tidak sejalan dengan semangat profesionalisme.
Seluruh langkah yang diambil Kemenkes merupakan bagian dari upaya mengatasi tantangan mendasar dalam sistem pelayanan kesehatan di Indonesia-mulai dari akses, kualitas layanan, hingga pemerataan sumber daya manusia kesehatan yang masih perlu ditingkatkan.