Jakarta -
Perkembangan kognitif pada anak merupakan salah satu faktor penting dalam kemampuan memahami, berpikir, dan belajar. Perkembangan ini biasanya mencakup berbagai keterampilan seperti memori, bahasa, logika, hingga ke kemampuan pemecahan masalah.
Salah satu faktor yang dapat memengaruhi adalah kecukupan asupan zat besi pada anak. Seorang anak yang mengalami kekurangan zat besi berisiko memicu anemia hingga gangguan perkembangan otak. Hal ini menjadi sorotan terlebih masalah defisiensi besi masih terbilang tinggi di Indonesia.
Siasat Ibu Jaga Pertumbuhan Kognitif Anak
Hal itu juga menjadi salah satu concern terbesar bagi Vega Karina Andira Putri, seorang working mom yang juga influencer di media sosial. Menurut Vega atau yang akrab dipanggil Veve ini, perkembangan kognitif tidak sekedar untuk kecerdasan anak dalam pelajaran, melainkan juga berpengaruh pada hal lain misalnya dalam kemampuan emosional dan sosialnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Nah, itu kalau memang perkembangan kognitifnya nggak baik, itu memang sosial emosionalnya ternyata ngaruh sekali. Kadang kita pikir, anak kecil suka ngambek, tapi ternyata kognitifnya rendah, mungkin berlebihan suka tantrumnya," kata Veve dalam acara Mom's Health Corner 'Peran Zat Besi Terhadap Perkembangan Kognitif Anak', di Jakarta Selatan, Kamis (19/12/2024).
Demi menjaga perkembangan kognitif kedua anaknya yang berusia 5 dan 8 tahun, Veve menerapkan beberapa metode, mulai dari menjaga waktu bermain bersama anak, menjaga asupan nutrisi, hingga pemberian suplemen zat besi.
Veve menceritakan bahwa dirinya akan mengusahakan untuk sesering mungkin bermain bersama anak. Tidak hanya baik untuk perkembangan kognitif, bermain bersama anak menurutnya juga dapat berdampak baik untuk perkembangan fisik.
Ketika bersama anak, Veve seringkali memainkan permainan yang membuat anak berpikir.
"Penting ya itu quality time, ada yang bilang, 'yang penting ada di samping anaknya.' Jangan gitu, jadi harus terlibat. Misalnya, meski masih kecil, ajak main yang mereka dengan permainan yang ada kemampuan untuk berpikirnya. Misalnya anakku suka main lego. Atau yang dari bayi, misalnya sudah main pasang-pasang warna, kayak gitu," kata Veve.
Selain rangsangan dari luar dengan bermain, Veve menyebut nutrisi dan suplementasi zat besi juga sangat penting dalam meningkatkan pertumbuhan kognitif anak. Setelah berkonsultasi dengan dokter, ia memutuskan untuk memberikan suplemen zat besi secara rutin pada anak-anaknyanya.
Hal ini dilakukan Veve mengingat dirinya juga memiliki riwayat anemia, yang biasanya disebabkan oleh defisiensi zat besi. Ia berharap pemberian suplemen zat besi ini bisa menjadi salah satu bentuk pencegahan berbagai risiko kesehatan lainnya.
"Ternyata zat besi kan penting sekali untuk kognitif anak dan itu berpengaruh jangka panjang sama pertumbuhan anak. Jadi, jangan sampai parah-parah ya. Daripada kita mengobati keburu anaknya misalnya pucat dan lain-lain. Terus ya udah lemas, terus juga perkembangan kognitif yang terganggu," ujar Veve.
"Karena tahu 'kayaknya anakku rawan anemia juga deh kayak mamanya, jadi akhirnya yaudah dikasih deh zat besi. Nggak pernah skip," tambahnya.
Pentingnya Zat Besi Terhadap Perkembangan Kognitif Anak
Perkembangan kognitif anak sangat berkaitan dengan kecukupan nutrisi makro dan mikro, termasuk zat besi. Zat besi berperan penting dalam banyak proses perkembangan otak.
Perkembangan otak dimulai saat setelah terjadinya konsepsi sampai masa dewasa muda. Seribu hari pertama kehidupan dimulai sejak dalam kandungan hingga anak mencapai usia 2 tahun. Masa ini merupakan periode emas pertumbuhan dan perkembangan anak, terutama otak dan sistem kekebalan. Tidak optimalnya perkembangan otak pada masa ini akan mempengaruhi kehidupan anak di masa depan.
Spesialis anak dr Wisvici Yosua Yasmin M Sc, SpA, mengatakan pembentukan otak anak sudah terjadi saat anak masih di dalam kandungan atau janin. Otak merupakan organ yang disusun oleh jaringan-jaringan saraf. Volume jaringan saraf tersebut terbentuk secara cepat di masa dalam rahim.
"Jadi kita bilang dalam trimester 1 ke trimester 2, itu organnya terbentuk, rumahnya, wadahnya. Dan pemadatan sel-sel saraf itu terjadi di trimester 2 ke trimester 3. Begitu pula dengan transfer dari zat besi," katanya dalam kesempatan yang sama.
dr Wisvici mengatakan transfer zat besi terjadi dari ibu ke janin, terutama pada trimester ke-3. Pada masa-masa tersebut, asupan zat besi pada ibu hamil sangat dibutuhkan. Terlebih, perkembangan otak pada bayi biasanya berkembang secara signifikan dalam 6 bulan pertama. Kemudian diikuti pada periode kedua yakni pada usia 6 hingga 18 bulan, dan dilanjutkan sampai 2 tahun.
"Mangkanya dibilang adalah 1.000 hari pertama adalah window period, waktu-waktu emasnya, golden period, itu perkembangan otak si kecil," sambungnya lagi.
"Pada masa-masa itu, penting sekali untuk kebutuhan-kebutuhan nutrisi, salah satunya zat besi," lanjutnya.
Kekurangan Zat Besi Berisiko Berdampak pada Perkembangan Anak
Kekurangan asupan zat besi bisa berdampak pada kesehatan anak. Anak yang kekurangan zat besi bisa memicu anemia. Anemia ditandai dengan hasil pemeriksaan kadar hemoglobin (Hb) dalam darah lebih rendah dari normal. Hemoglobin berfungsi untuk membawa oksigen dan mengantarkannya ke seluruh sel jaringan tubuh. Anak yang mengalami anemia bisa berdampak pada perkembangan kognitif anak.
Bahkan, perkembangan kognitif anak juga dapat terpengaruh jika ibu kekurangan zat besi selama trimester terakhir kehamilannya.
dr Wisvici mengatakan zat besi adalah salah satu mineral esensial yang sangat diperlukan tubuh. Zat tersebut memiliki banyak sekali fungsi di dalam tubuh manusia, seperti untuk pembelahan sel, perkembangan sel, terutama pada sel-sel saraf.
"Sel saraf dalam perkembangan jaringannya atau koneksi antar sel sarafnya itu memerlukan zat besi sebagai salah satu medianya. Nah zat besi sangat diperlukan ketika kandungan zat besi yang dicadangkan dalam tubuh bayi itu berkurang yaitu tepatnya pada kurang lebih usia 6 bulan," imbuhnya.
"Usia 6 bulan itu adalah titik potong di mana cadangan zat besi yang didapatkan dari ibu pada masa janin itu sudah mulai turun, sehingga kebutuhan yang harus didapatkan dari makanan itu meningkat dari 0,3 gram per hari dari usia sebelum 6 bulan menjadi 11-12 gram per hari," imbuhnya lagi.
Tak hanya itu, zat besi juga sangat penting untuk interkoneksi sel-sel saraf atau mengkoordinasi fungsi tubuh, seperti koordinasi gerak, otot-otot bicara, otot bahasa, dan lainnya. Oleh karena itu, 'masuk akal' jika seorang anak mengalami kekurangan zat besi bisa mengalami lambatnya perkembangan pada tubuh anak, termasuk pada otak.
Gejala Anak Mengalami Anemia Defisiensi Zat Besi
Adapun anak yang mengalami anemia defisiensi zat besi umumnya mengalami sejumlah gejala. dr Wisvici mengatakan gejala anemia yang bisa terlihat di antaranya adalah pucat. Gejala ini bisa terlihat dari lapisan permukaan lendir yang ada di bagian mata, mulut, bibir, kulit, telapak tangan, hingga telapak kaki.
Selain itu, anak yang mengalami anemia juga mengalami gejala yang disebut konstitusional. dr Wisvici mengatakan anak yang kurang bersemangat, lesu, dan mudah lelah bisa menjadi tanda ia mengalami anemia.
"Mungkin juga performa sekolah ini jadi berkurang. Kemudian juga kita bisa lihat dari kalau anak-anak yang lebih kecil mungkin bisa jadi tampak kenaikan berat badan atau pertumbuhannya kurang baik," sambungnya.
"Begitu pula dengan perkembangan, misalnya harusnya anak usia 15 bulan sudah mulai bisa banyak kosa katanya tapi anaknya masih belum bisa banyak kosa katanya yang dikuasai ditambah dengan gejala konstitusional tadi seperti pucat kemudian juga anaknya jadi kurang aktif biasanya," lanjutnya.
(/suc)